Selasa, 31 Januari 2012

DELAPAN BELAS

Lipatan kertas berisi alamat lengkap Ratri masih ada di tangannya. Santi terkantuk-kantuk di dalam taksi yang membawanya menuju alamat yang diberikan Ratri padanya melalui kotak pesan di facebook.
Rumah nomor 18. Santi mencoba mengurutkan rumah-rumah yang dilewatinya. Sederet rumah bernomor ganjil terletak di deretan sebelah kiri. Nomor genap di deretan sebelah kanan. Perumahan yang didatanginya
adalah kompleks perumahan pegawai pemerintah yang telah dijual kepada swasta. Suasana yang sejuk dan nyaman menandakan bahwa perumahan ini tentunya tidak dijual dengan harga yang rendah. Udara segar yang dibutuhkan oleh paru-paru manusia kini telah menjadi faktor penentu harga perumahan di Jakarta. Meski seolah-olah dapat dihirup begitu saja, tapi sesungguhnya ia memiliki nilai nominal tertentu yang belum jelas perumusannya.
Sopir taksi memperlambat laju kendaraannya. Nomor rumah yang dituju sekarang ada di hadapan Santi. Dalam keadaan seperti ini, keinginan untuk bertemu dan membatalkan pertemuan adalah sama besarnya. Santi memutuskan untuk bertahan pada pilihan awalnya, yaitu untuk bertemu dengan Ratri.
Rumah nomor 18 ini berwarna coklat. Pagarnya sebagian dari besi, sebagian lagi dari tanaman pagar yang dipangkas rapi. Santi menangkap kesan aman pada perumahan ini. tidak ada rumah dengan pagar tinggi. Termasuk rumah yang ada di hadapannya.
Seorang wanita separuh baya membuka pintu garasi dan menghampiri Santi.
“Cari siapa, Bu?”ujarnya.
“Bu Ratri ada?”
“Ohh…ada, Bu. Mari, silakan masuk. Maaf ibu siapa?”
“Nama saya Santi”
Seorang wanita cantik dan lembut menghampiri Santi.
“Maaf, ibu dari mana?”
“Saya Santi…”
“Santi…sia…”
Belum lagi ia sempat menanyakan lebih jauh, Santi segera menyahut,”Saya Santi, istri Anto…Anto Wirya Atmadja.”
Kalau bukan karena kalimat yang Santi lontarkan barusan benar-benar membuatnya shock, mungkin Santi tidak pernah tahu bahwa wanita di hadapannya kini sedang memegang sebuah majalah. Majalah itu jatuh di lantai dan menimbulkan bunyi.
“Mmm…maaf…maaf, tangan saya basah, jadi licin…cover majalah ini terbuat dari bahan yang juga sama licinnya,” jawabnya sambil berusaha menjaga senyum di wajahnya.
“Tidak apa,” kata Santi.
“Silakan duduk, Mbak. Aduh, maaf berantakan, belum sempat beberes,”ujarnya sopan. Wanita dengan kadar kelembutan seperti dirinya hampir selalu dianugerahi kemampuan berbasa-basi diatas rata-rata wanita pada umumnya.
Wanita lembut yang berhadapan dengannya kini sudah sering ia lihat wajahnya di layar laptop miliknya. Tak salah lagi. Kini ia hampir tiba di ujung penantiannya. Penantian akan sebuah jawaban dari teka-teki kehidupan berumah tangganya. Puzzle yang sibuk disusunnya kini akan menemukan kepingan-kepingannya sendiri. Ia yakin itu.
Santi dan Ratri berhadapan cukup lama dalam diam. Mata mereka tidak saling bertemu. Santi menanti sebuah kata sambutan baginya. Seorang tamu yang baru pertama kali bertandang tentunya layak mendapatkan kata sambutan. Ratri menunjukkan reaksi ramah dan berwibawa meskipun masih saja terlihat kebingungan mesti memulai percakapan dari mana.
“Mbak Santi tahu rumah ini dari mana? Tahu saya juga dari mana?”
“Dari facebook mbak,”ujar Santi dingin.
Keadaan kembali hening.
“Jadi…”
“Saya..”
Ratri dan Santi berbicara bersamaan. Kemudian Ratri mempersilakan Santi berbicara duluan.
“Saya hanya ingin berkenalan,” kata Santi.
“Emm…begitu…”
“Dan tentunya juga ingin mengenal mbak lebih dekat,”ujar Santi sedikit nekat.
Ratri berkali-kali membetulkan posisi duduknya kemudian bertanya.
“Apa kabar Anto? Mmm…maksud saya, Anto dan mbak Santi”
“Panggil saya Santi saja”
Berikutnya, pembicaraan antara Santi dan Ratri kecuali tentang kegemaran, kota asal, berapa jumlah anak, makanan kesukaan dan lain-lainnya yang tidak menyentuh tentang Anto sama sekali. Tidak, memang belum waktunya, Santi berkata dalam hati.
Kemudian, saat yang dinanti Santi akhirnya tiba.
“Mbak Santi berteman dengan saya ya di facebook? Saya pelupa orangnya. Dan lagi, jumlah teman di facebook saya sudah lebih dari 400 orang. Banyak yang saya tidak ingat”
Mestinya ia tahu kalau ia hanya memberikan alamat rumahnya pada Anto, gumam Santi dalam hati. Santi belum ingin berterusterang dengan pemalsuan identitas Anto oleh dirinya. Tapi dapatkah ia memperoleh apa yang ingin diketahuinya dari Ratri bila ia tidak jujur? Santi tak ingin lama berbasa-basi seputar kehidupan sehari-hari mereka. Yang dilakukan Ratri dalam kesehariannya adalah seperti yang dilakukan dirinya dan mungkin sebagian besar wanita penduduk kota ini. Tidak ada yang istimewa. Ia ingin segera memulai percakapa penting sebelum kemudian penciumannya menangkap aroma masakan yang pernah akrab dengannya. Aroma masakan khas Jawa Tengah kesukaan suaminya.
“Mbak sedang masak? Maaf kalau saya mengganggu,”ujar Santi kikuk.
“Iya, tadi. Tapi tidak apa, pembantu saya sudah membantu menyelesaikannya”
Santi makin jengah. Aroma masakan kesukaan Anto tak mungkin menguar begini di hadapannya. Hidupnya belakangan ini sudah cukup dipenuhi oleh kejutan demi kejutan. Dan sekarang? Ugh!
Santi tak ingin lagi banyak menimbang-nimbang dan merencanakan ucapannya pada wanita di hadapannya ini.  Dadanya benar-benar sesak.
“Saya yang menggunakan akun Anto di facebook”
“Saya yang selama ini membaca dan membuat status atas nama dirinya. Bahkan saya juga yang membuat akun tersebut”
“Anto tidak pernah ada di alam maya. Ia hanya ada di alam nyata. Suami saya, yang tinggal di rumah kami berdua”
Santi melihat ekspresi Ratri yang pucat pasi. Entah apa yang ada dipikirannya. Santi tidak mengira kata demi kata meluncur deras dari bibirnya dari awal hingga akhir pengakuannya.
“Tapi saya bukan seperti wanita lain yang menginginkan anda menyingkir dari kehidupan suami saya. Saya ingin tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan anda dan suami saya di masa lalu. Kalau anda ingin tahu untuk apa, saya melakukan ini agar tidak ada keraguan dalam diri saya untuk melanjutkan biduk rumah tangga kami. Saya dan Anto!” ucap Santi dengan tenang dan tegas.
Ratri menghela nafas panjang, menutup matanya dan mulai terisak.
*
Santi kini kembali berada di dalam taksi. Tapi ia tidak sendiri. Ada Ratri disebelahnya. Mereka berdua menuju satu tempat yang dimana Ratri akan mulai menceritakan masa lalunya dengan Anto. Santi tidak keberatan pergi bersama Ratri tanpa ia tahu kemana sebenarnya tujuan dari perjalanan ini. Pulang dengan tangan hampa ke rumah akan membuat kepalanya semakin sakit dari hari ke hari. Anto yang menjadi makin jarang berkomunikasi dengannya membuat jurang antara dirinya dan suaminya melebar. Ia harus segera menyudahi semua ini.
Ratri hanya diam sepanjang perjalanan. Sesekali ia mengusapkan sapu tangan ke bagian bawah mata dan hidungnya. Mungkin ia tidak membayangkan sama sekali kejadian ini akan menimpa hidupnya. Seorang istri memalsukan akun suaminya. Sang suami adalah mantan kekasihnya. Orang yang telah sekian lama dinanti kehadirannya olehnya. Orang yang ternyata tidak pernah dapat ia temui mungkin untuk selamanya. Karena kehadirannya palsu. Ia hanyalah sebuah nama yang terukir dengan manis di hati Ratri. Santi membayangkan, seperti itukah perasaan Ratri saat ini?
Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan…
“Berhenti disini, Pak!” Ratri meminta sopir taksi untuk menghentikan laju mobilnya.
Setelah melakukan pembayaran, Ratri mengajak Santi turun dan memasuki sebuah gang sempit dengan tembok tinggi di kanan kirinya. Gang itu bermuara pada sebuah lapangan bermain yang cukup luas. Sekitar 100 meter persegi. Di seberang lapangan itulah rumah yang ingin kami tuju.
Sebuah rumah sederhana dengan papan yang bertuliskan ‘Panti Asuhan Melati Putih’.
*
Santi melihat Anto disana. Berseragam sekolah lusuh. Ia sedang mengais-ngais tanah di halaman belakang panti asuhan tersebut. Santi sungguh tak mengira, inilah penutup kisah yang sedang dinantinya. Anak itu. Anak laki-laki dalam balutan seragam sekolah nan lusuh itu. Ia melihat sorot mata, rambut, hidung dan oval wajah suaminya. Kecuali alisnya. Anak laki-laki ini memiliki kombinasi wajah yang lebih lembut ketimbang suaminya. Alis yang menghias matanya melengkung rapi seperti alis wanita yang berdiri di sebelahnya kini.
Santi limbung berhadapan dengan anak laki-laki ini.
“Jadi, ini anak Anto, s-s-suami saya?” Santi gemetar menyebut nama seorang pria yang dinikahinya kurang lebih 2 tahun yang lalu. 2 tahun mungkin memang waktu yang teramat singkat. Terlalu singkat bahkan untuk sebuah kejujuran. Santi selama ini merasa dirinyalah yang harus berjuang mati-matian untuk dapat menjadi orang lain. Untuk dapat selalu tersenyum bahagia dalam gelimang duka. Untuk selalu berkata ‘ya’ dan menyetujui segala yang menjadi ‘keharusan’ dalam sebuah pernikahan. Untuk mempertahankan predikat menikah itu sendiri. Untuk menghapus gelisah akan masa lalunya.
Ia hadir didunia untuk mengganti kehilangan orang tuanya akan sosok kakaknya. Berjuang dan bertahan sendiri dalam kemelut pertikaian orang tuanya yang tak berkesudahan. Mencoba melawan segala dogma yang terus dipaksakan oleh kedua orang tuanya yang selalu berada di kubu yang berlawanan. Ia tak mampu melepaskan diri. Suara hatinya kadang memberinya sedikit kesejukan. Memberinya harap bahwa di suatu masa ia akan bertemu dengan seorang yang akan menaungi hidupnya. Memeluknya dalam gelap. Pertemuannya dengan Anto dirasa Santi sebagai jawaban. Meski dalam kenyataannya, sekian banyak pertanyaan justru bergaung ditelinganya kini. Menanti berjuta kalimat yang bukan hanya sekedar jawaban, tapi sebuah pengakuan tulus.
“Aku dan Anto menikah diam-diam,”katanya masih dengan mata berkaca-kaca. Santi hanya sanggup berdiri mematung di sebelah Ratri. Pandangannya tak bisa lepas dari kegiatan anak kecil pendiam yang sibuk bermain sendiri di hadapannya. Tapi telinganya mendengarkan tiap patah kata yang keluar dari mulut Ratri dengan seksama.
“Kami menikah setelah Anto tahu aku hamil”
Kalau bukan karena Santi bertemu langsung dengan anak Ratri saat ini, mungkin Santi masih mengira Ratri membual. Bisa saja anak Ratri itu adalah anak dari ayah tirinya yang diceritakan oleh Anto. Bukan dari suaminya. Tapi Santi lebih percaya pada Ratri kini. Wajah anak itu yang berbicara padanya. Jujur, tanpa selubung apapun.
“Pernikahan kami tidak dihadiri orang tuaku dan orang tuan Anto. Ayahku sudah meninggal waktu itu. ibu sedang sibuk dengan suami barunya yang ternyata berhidung belang itu. Kelakuan suami baru ibuku itu aku jadikan alasan untuk kabur dari rumah dan tinggal di rumah teman yang mau menampungku yang sedang hamil 2 bulan waktu itu di Surabaya.”
Hmm…Malaysia terlalu jauh, Anto, bisik Santi dalam hati.
“Aku melahirkan didampingi Anto waktu itu. Kami sangat berbahagia meski tidak tahu bagaimana akan menghidupi anak ini”
“Setelah hidup dua bulan dengan hanya mengandalkan tabungan kami berdua, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan percetakan dengan mengandalkan ijazah SMU. Kebetulan percetakan itu adalah milik temanku. Teman aku dan Anto sewaktu SMU. Ia banyak berjasa dalam hidup kami berdua waktu itu”
“Aku dan anakku tinggal di Surabaya. Menghilang dari keluargaku yang terus mencariku. Aku minta bantuan Anto untuk mengabarkan bahwa aku tinggal di Malaysia dan bekerja disana. Aku juga meminta ibuku untuk tidak mencariku. Aku yang akan memberinya kabar secara berkala. Saat itu ia sudah berpisah dari suami barunya.”
Ohh…ternyata Anto mendapat ide tentang kepergian Ratri ke Malaysia dari sini.
Santi merasakan kepingan puzzle kahidupan suaminya mulai menampakkan bentuknya perlahan.
“Anto awalnya masih sering mengirimkan uang untukku dan anakku di Surabaya. Tapi, selang setahun semenjak aku menitipkan pesan untuk keluargaku, ia tidak dapat lagi dihubungi. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Aku berusaha menanyakan keberadaannya kepada teman-teman kami dulu. Tapi tak satupun dapat memberi keterangan yang jelas. Aku tidak datang ke rumah orang tuanya. Aku tidak mau mengemis meminta belas kasihan dengan membawa cucu mereka ke rumahnya. Mereka pasti akan malu sekali. Aku mencintai Anto lebih dari apapun. Aku tidak ingin orang tuanya merasa punya menantu yang suka memeras mereka.”
Ratri mengambil jeda sejenak. Ia kemudian menenggak air putih di dalam botol yang dibawanya dari rumah.
“Terlebih kalau mereka mengetahui bahwa darah dagingnya sendiri ternyata bisu dan tuli”
Santi tidak lagi bisa terkejut. Kejutan dari sengatan listrik berapa volt yang mampu membuatnya melonjak, ia tak tau. Perasaannya kebas sekarang.
“Sejak Anto menghilang, aku tidak pernah tau lagi kabarnya. Kalau saja bukan karena akun palsunya di facebook”
“Wirendra untuk sementara waktu aku sekolahkan disini. Di panti asuhan ini, sampai aku mendapatkan sekolah yang lebih baik.”
“Oya, kalau kamu heran dari mana aku bisa dapat uang untuk membangun rumah yang aku tempati sekarang, itu rumah warisan ibuku. Beliau sudah meninggal sekarang.”
Baik Santi maupun Ratri kini sama-sama memandang anak yang bernama Wirendra itu dari kejauhan. Dari tempat mereka duduk di sebuah bangku yang menghadap taman kecil di bagian belakang panti asuhan itu. Mencoba untuk tidak hanya memandang dengan mata, tapi juga dengan hati. Karena itulah yang diperlukan anak laki-laki itu saat ini.
*
Santi memanfaatkan waktunya yang sempit sesampainya di rumah untuk mengepak sebagian pakaian dan barang-barang keperluannya yang lain. Ia membutuhkan udara segar. Sesak didadanya dapat meledak tidak karuan seandainya ia harus berhadapan dengan seorang yang telah menyematkan duri beracun dalam dirinya. Santi belum memutuskan tempat yang akan ia tuju sampai seluruh barang yang akan dibawanya masuk kopor.
Setelah ia merasa siap, ia memanggil Ipah dan mengatakan bahwa dirinya perlu membawa beberapa contoh barang ke rumah Irma. Ipah juga dimintanya memanggilkan taksi yang kebetulan lewat karena menunggu taksi pesanan memerlukan waktu lebih lama biasanya. Ia harus segera meninggalkan rumah ini. Rumah harapannya. Tempat dimana ia dengan segenap hatinya berusaha untuk terus mengisi segala kekosongan yang masih saja ada di tiap sudutnya. Tapi sekarang hatinya beku. Bila sesuatu yang dianggapnya kebahagiaan itu sudah dipenuhi dengan kepalsuan, untuk apa ia menghabiskan umurnya untuk menanti. Di saat seperti ini keinginannya hanyalah pulang ke sebuah rumah dimana ia dapat meringkuk di sebuah sudut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar