Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH

Santi memeluk teman setianya. Berusaha menenangkan luapan emosi yang tak kunjung padam. Ia sendiri belum dapat benar-benar memahami yang terjadi dalam hidupnya sebulan terakhir ini. Terlalu banyak. Terlalu bertubi-tubi. Kalau bukan karena harapan untuk merenda hidup yang lebih baik dari pada orang tuanya, mungkin Santi memilih untuk pergi meninggalkan semua kenangan yang menyisakan luka yang makin hari
makin dalam ini di hatinya. Mengadu nasib ke luar negeri dimana tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya sebagai wanita penuh trauma yang masih saja dihujani cobaan hidup. Atau menyendiri di hutan belantara dan menanti kehidupan menghisap setiap denyut nadinya hingga akhirnya ia menyatu dengan alam.
Wanita yang ada dipelukannya kini sesungguhnya menjalani roda kehidupan dengan cara yang berbeda dengan dirinya. Ia tak habis mengerti mengapa kehidupan rumah tangga temannya ini berakhir dengan cara yang menyedihkan.
Irma. Seorang wanita istimewa di mata Santi. Apa yang tidak dimiliki Irma adalah sesuatu yang memang tidak diinginkan oleh wanita manapun. Irma lahir dan besar di keluarga berada yang terpelajar. Lingkungan yang membesarkan Irma adalah lingkungan ciptaan orang tuanya yang besar perhatiannya pada tumbuh kembang seorang wanita di kota besar. Sebelum memilih sekolah misalnya, kedua orang tuanya sejak dulu selalu sibuk berkonsultasi dengan psikiater ternama untuk memberi mereka pertimbangan sekolah mana yang baik untuk anaknya. Kemudian, sang psikiater akan melakukan test ini itu untuk mengetahui minat dan bakat sang anak. Setelah itu, semacam rapat akan dilakukan antara orang tuanya, sang psikiater dan bagian humas sekolah yang dituju. Sungguh sebuah sikap yang tidak tanggung-tanggung dalam membesarkan buah hati. Santi tidak pernah bisa membayangkan seperti apa rasanya mendapat perlakuan seistimewa itu. Segala keperluan sekolah hingga kuliah, mulai alat transportasi hingga perlengkapan sekolah, dapat dijadikan tolok ukur untuk sebutan ideal. 
Kini, wanita ideal itu sedang meraung-raung menangisi hidupnya. Santi yakin, Irma mengerti bahwa hidup itu tak dapat selamanya sesuai dengan apa yang direncanakan. Tapi, tidak juga berarti seperti yang dialaminya sekarang.
“Kamu…kamu…ngga akan pernah mengerti apa yang aku rasakan, Santi…jangan, jangan pernah kamu mengalaminya,”ujarnya disela isak tangisnya.
Santi tidak berkata apa-apa. Ia mencoba memahami yang dirasakan temannya ini. irma sedang tidak membutuhkan petuah apa pun. Bahkan satu patah kata darinya pun mungkin juga tidak. Irma hanya ingin di dengar. Irma hanya perlu seseorang yang mau duduk disampingnya dan mendengar kisahnya. 
*
Cuaca kota Jakarta masih saja tidak menentu. Pagi itu Santi mendapati dirinya bangun di sebuah kamar yang sangat ia kenal. Kamar dengan sebuah memori yang tersimpan di alam bawah sadarnya. Tempat dimana ia dapat melukiskan perasaannya dengan satu warna, yaitu hitam.
Pohon mangga di pekarangan rumah itu sedang berbuah. Ia melihatnya dari jendela kamar. Dulu, ia kerap mencoba memanjat pohon itu. kadang sendirian, kadang bersama dua orang temannya. Pernah satu kali ia mencoba memanjat pohon mangga itu kala ia sendirian di rumah. Sesungguhnya tidak sulit memanjat pohon mangga. Ia bukanlah pohon dengan batang lurus tinggi sehingga memanjat memerlukan keahlian tertentu. Cabang yang terbentuk di pohon itu sangat memudahkan siapapun untuk bertengger diatasnya. Juga memudahkan pemanjatnya untuk berpegangan sehingga keseimbangan tubuhnya sewaktu memanjat lebih baik. Dan Santi berhasil waktu itu. Dengan bersemangat ia mengambil beberapa mangga yang sudah matang hingga ia kesulitan untuk membawanya turun. Melompat, tak mungkin. Membiarkan beberapa buah mangga yang ada di tangannya dijatuhkan terlebih dahulu, sayang. Akhirnya, ia memaksakan diri untuk turun sambil membawa semua buah mangga yang memenuhi kedua tangannya. Dan ya, ia terjatuh. Luka di kaki, tangan dan dahinya masih ada yang membekas hingga kini. Jangan ditanya betapa riuhnya perdebatan sengit antara kedua orang tuanya waktu itu. keduanya sama-sama mengkhawatirkan dirinya. dengan caranya sendiri-sendiri. Tanpa memikirkan betapa membosankannya mendengar adegan demi adegan penuh permusuhan yang selalu berhasil mereka ciptakan di hadapan Santi.
Perlahan tapi pasti, potongan-potongan kenangan itu kembali hadir di hadapannya. Ia memandang embun yang perlahan jatuh dari ujung-ujung daun yang ada di pekarangan itu. Seandainya ia dapat memindahkan sebagian tanaman yang ada di pekarangan itu ke dalam hatinya, tetesan embun yang dilihatnya barusan pastilah mampu menghapus sedikit demi sedikit perih yang dirasakannya kini. Meski harus diakui bahwa rumah dimana ia berdiam diri ini telah menorehkan pengalaman pahit baginya, tetap saja ada kehangatan abadi yang selalu ditawarkan. Ia membutuhkannya kini.
Segarnya udara pagi memaksa Santi untuk segera keluar dari kamar tempatnya menghabiskan tidur malamnya dan melangkahkan kakinya yang masih terasa kaku ke ruang tamu rumah tersebut. Memandang satu demi satu perabotan usang yang masih dipertahankan oleh sang pemilik rumah. Ibu memang tidak suka mengganti-ganti perabotan di rumah. Hanya beberapa foto, hiasan dinding dan perabotan yang dianggap milik ayahnya tidak ada jejaknya lagi.
“Santi, sarapan sudah ada di atas meja. Ibu masak mie kuah kesukaanmu”
Ibu masakkan mie kuah untukku?
“Baik, Bu. Sebentar lagi…”ujar Santi sambil meregangkan kaki tangannya.
Ibunya tersenyum melihat gerakan-gerakan senam yang dilakukan anaknya.
“Memang begitulah yang seharusnya dilakukan tiap pagi agar elastisitas otot-otot kita terjaga”
Ibu terlihat lebih menikmati hidupnya semenjak kepergian bapak dari rumah ini. bapak dan istri barunya tinggal di luar kota. Bukan di Jakarta. Mereka tidak dikaruniai anak. Kabar yang pernah sampai ke telinga Santi, istri baru bapak memang tidak menginginkan anak lagi. dua orang anak yang diperoleh dari suami pertamanya telah duduk di bangku kuliah. Istri baru bapak telah steril setelah melahirkan anak keduanya. Bersama bapak kini ia seperti pasangan muda yang baru saja menikah.
Santi berbincang tentang segala yang berhubungan dengan kegiatan ibu sekarang di rumah di ruang makan. Sarapan pagi ini terasa begitu lezat dilidahnya. Saat ini beberapa bidang usaha telah digeluti ibunya semenjak pensiun. Mulai dari membuka tempat les bahasa Inggris bersama beberapa koleganya, hingga menyewakan ruko yang dibelinya waktu ia masih bekerja dulu dengan tujuan investasi. Ia keasyikan bertukar cerita dengan ibunya. Rumah yang dianggapnya menorehkan luka sekarang memberikan kesejukan tersendiri bagi dirinya.
Ia ternyata memerlukan rumah ini. Seburuk apapun anggapan yang dibentuk oleh alam bawah sadarnya sendiri.
“Sedang ingin refreshing dari kehidupan berumah tanggamu? Ibu tidak mengira kamu akan memilih tempat ini sebagai tempat tetirah,”ucapan ibunya membuat Santi gelisah.
Ia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya berkata,”Aku rindu tempat ini. Rindu berada di dekat ibu.” Tanpa sadar, air mata membasahi pipi Santi. Mengalir deras bak mata air yang baru saja ditemukan oleh Ismail, putra Ibrahim. Tatapan ibunya dingin. Tanpa Santi sadari, wanita setegar gunung es dihadapannya ini telah membasahi penutup meja makan rumah itu dengan air mata yang tidak kalah derasnya dengan air mata yang tumpah dari matanya.
Dalam waktu singkat, seluruh perangkat makan dan perabotan yang ada di ruang makan itu menjadi saksi sebuah pelukan hangat antara ibu dan anak yang telah terpisah selama 2 tahun. Pelukan yang mencairkan kebekuan akibat rasa sangsi akan kasih sayang manusia yang selamanya mendamba dan terus mencoba untuk dikukuhkan.
Tidak ada kata-kata. Seluruhnya lebur dalam derai tangis sekaligus tawa.
Dering telepon genggam Santi yang menjerit-jerit meminta diperhatikan memecah kesunyian bahasa air mata ibu dan anak yang masih belum ingin melepas eratnya pelukan masing-masing.
“Halo…” Santi menjawab panggilan teleponnya.
Tidak ada jawaban.
“Halo, dengan siapa saya bicara?”
Sebuah isak tangis terdengar.
“Maaf, siapa ini? Saya rasa Anda salah sambung…”
Kemudian, sebuah jawaban terdengar,”Santi, ini Irma… Aku membutuhkanmu sekarang…”
Isak tangis kembali terdengar.
Santi segera meminta alamat Irma saat itu dan berjanji untuk menghampirinya.
*
“Tidak ada yang dapat dihindari, Santi. Aku cuma berharap ada seseorang yang masih mau mendengarkanku bercerita…”
“Pasti, Irma…pasti…bicaralah”
“Aku lama tidak bisa dihubungi…oleh siapapun…”Irma mengawali ceritanya.
 “Karena memang tidak mungkin. Diriku yang membuatnya tidak mungkin. Tidak ada hal yang lebih memalukan dari pada yang aku alami sebulan belakangan ini”
Siang itu matahari memang terik membakar kulit. Taman tempat Santi dan Irma bertemu terletak ditempat yang tidak ternaungi banyak pohon. Sesungguhnya, ada sebuah kursi yang terletak dibawah pohon yang cukup rindang. Tapi pasangan yang terlihat sedang dimabuk asmara rupanya telah memilihnya terlebih dahulu sebagai tempat bercengkerama. Akhirnya Santi dan Irma harus mengalah dengan menempati sebuah bangku kosong yang cukup bersih tidak jauh dari pohon rindang tadi. Sunglasses merk Louis Vitton bertengger di hidung Irma. Sesekali ia merapikan rambutnya yang telah diikat rapi tapi masih saja menyisakan helaian yang perlu dikibaskan karena dianggap mengganggu pandangannya. Sekali dua kali Irma mengibaskan rambutnya, Santi tidak melihat ada yang berbeda dengan bagian bawah matanya. Kali ketiga Irma melakukan hal yang sama, tanpa disengaja jarinya menyentuh bagian samping kaca mata gelapnya. Mengangkatnya sedemikian rupa sehingga sebagian kulit yang membalut tulang pipinya terlihat…biru! Santi menghentikan gerakan tangan Irma yang tanpa sengaja menyebab warna biru tadi terlihat.
“Irma, apa yang terjadi!” Santi setengah berteriak.
“Kamu melihatnya? Aku sudah berusaha untuk menutupinya,” suara Irma terdengar parau.
“Banyak kisah terjadi belakangan ini,” Irma melanjutkan.
Santi masih memandang takjub pada perubahan wajah temannya itu. Irma tak pernah membiarkan luka sedikit saja mengganggu wajah mulusnya. Tapi ini?
“Sorry for interrupting. But I think you need to go to the doctor,” Santi menyela pembicaraan Irma.
“Memar biasa. Aku tahu kapan aku mesti ke dokter,” sanggah Irma.
Santi tidak menjawab. Ini bukanlah saatnya berdebat dengan Irma.
“Facebook mempertemukan aku dengan seorang teman lama. Fiuhh…aku tahu bukan hanya aku yang mengalami hal semacam ini. Salah satu cinta pertamaku”
Salah satu? Santi menelan ludah. Dalam kamus hidup Santi, cinta pertama itu hanya satu. Ini pasti efek dari banyaknya pria yang mengantri cinta Irma sehingga dirinya menempatkan lebih dari satu pria untuk disebut sebagai ‘cinta pertama’ nya.
“Sebut saja Arman namanya. Aku tak ingin menyebut namanya lagi. Nama aslinya maksudku. Terlalu menyakitkan”
“Ia mendekatiku dan menyatakan bahwa hingga kini ia belum juga menikah karena menantiku untuk kembali padanya. Seperti biasa, sejenak euphoria masa lalu mengelabuiku. Membutakan mataku sejenak akan berbagai kisah manisku dengannya kala duduk di bangku kuliah”
“Hanya sebentar. Sebelum akhirnya ia memintaku untuk bertemu di sebuah kafe. Hanya bertukar cerita, katanya. Ia mengaku bekerja tidak jauh dari kafe tempat aku dan dia bertemu akhirnya.”
“Kamu tidak akan mengira, Santi. Sungguh ini seperti dongeng. Tidak, bukan dongeng, tapi mimpi buruk”
Dongeng, mimpi buruk atau apapun itu namanya begitu akrab di telinga Santi belakangan ini. Drama apa lagi yang akan hadir dihadapannya kini, ia tinggal menanti.
“Kami bertemu akhirnya dan mengobrol selama kurang lebih 2 jam. Beberapa kali Bima mencoba menghubungiku selama aku berada di kafe bersama Arman. Tidak ada yang terjadi kecuali mengobrol biasa. Andai aku tau dengan siapa sebenarnya aku tinggal selama ini…”
Belum ada yang terangkai di otak Santi hingga kini. Bima cemburu kah? Irma kehilangan kepercayaan Bima yang selalu tampak seperti malaikat bagi istrinya?
“Bima tiba-tiba datang di kafe itu. Entah angin apa yang membawanya kesana. Ia memaki-maki aku. Mengatakan kalau aku istri yang tidak tahu diuntung. Aku rasanya ingin menampar mukanya waktu itu. Kalau saja bukan Arman yang mencegahnya. Kau tahu, aku tidak bermaksud kasar sama sekali. Tapi aku tidak pernah menerima perlakuan semacam itu. Aku shock, Santi”
“Arman segera melakukan pembayaran di kasir agar ia dapat segera menyeretku keluar dari amukan Bima”
“Kamu tahu Bima kan Santi? Ia bukan pria yang kasar. Tapi semua berubah sejak ia sering pulang malam. Kegiatannya di kantor bertambah seiring dengan meningkatnya level tanggung jawab yang diembannya. Awalnya aku kira ia hanya kelelahan. Tapi ternyata tidak…”
“Waktu aku berlari menghindar dari Bima, kulihat Arman sempat bertengkar mulut dengan Bima. Seterusnya aku tak tahu. Aku hanya berusaha secepat mungkin menemukan taksi dan pergi dari tempat itu”
“Kamu pulang ke rumah orang tuamu?” Santi mencoba menebak.
“Ya”
“Tapi malamnya Bima menelponku, meminta maaf atas kelakuannya.
“Lalu?”
“Lalu, semuanya menjadi jelas bagiku. Hanya selisih sehari setelah kejadian di kafe itu”
 “Apa yang terjadi?” Santi makin gelisah.
Ketegaran Irma buyar tiba-tiba. Pertahanan dirinya runtuh. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke mukanya, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia ingin menolak semua kenyataan yang terjadi pada dirinya saat itu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Santi mengerti Irma membutuhkan ketenangan jiwa untuk dapat melanjutkan kisahnya. Ia membiarkan waktu memberikan kekuatan pada temannya untuk mengeluarkan kalimat demi kalimat nanti…bila ia telah sanggup untuk memulainya.
Pening di kepala Santi sejak 3 hari yang lalu belum juga sirna. Tiap pagi kepalanya terasa berat. Ia belum juga sempat untuk mengkonsultasikannya ke dokter. Santi berharap sore hari nanti dokter yang membuka praktek di dekat rumah ibunya dapat ditemui untuk menceritakan keluhan yang dirasakannya 3 hari terakhir ini.
Kotak tissue ditangan Irma hampir kosong. Isinya telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan kusut yang dipenuhi warna bedak campur foundation dan lipstik. Irma tak perduli dengan penampilannya lagi. Semua make up mahal yang dipulaskan ke wajahnya seolah turut merasakan kepedihan yang melukai sang empunya wajah. Mereka meluruh perlahan. Tak mampu lagi mempertahankan kebahagiaan semu yang selama ini telah dilakukannya dengan sempurna.
“Bima, Santi. Bima benar-benar berubah! Atau aku yang selama ini tidak mampu mencium gelagat buruk itu,” suara Irma makin parau.
“Hanya selisih sehari semenjak ia memohon-mohon padaku untuk kembali ke rumah dan melanjutkan kehidupan rumah tangga kami…ia mulai memukulku…”
Santi limbung mendengarnya. Tangannya berpegangan erat pada pinggiran bangku yang mereka duduki. Keringat dingin mulai menjalari tubuhnya.
“Santi are you ok?”
“I am ok. Just go on…” Santi yakin dirinya mampu bertahan mendengarkan kisah Irma lebih lama lagi. di situasi semacam ini, ia tidak pantas mementingkan dirinya sendiri.
“Itu terjadi malam hari. Sesaat sebelum kami tidur. Bima kembali mempermasalahkan kepergianku dengan Arman. Aku kira semuanya sudah selesai. Menurutnya belum. Ia memintaku untuk menceritakan apa saja yang terjadi sebelum ia datang. Apa saja yang aku dan Arman lakukan semenjak kami bertemu lagi di facebook. Aku bilang taka da yang terjadi. Pertemuan kami waktu itu adalah pertemuan pertama kami. Bima bilang aku tidak mau mengaku…”
“Kami bertengkar hebat hingga akhirnya ia menamparku sampai aku terjatuh…,” Irma kembali terisak.
“Ia tidak berhenti sampai disitu. Bima bilang kalau Arman mengakui telah bertemu denganku beberapa kali dan kami telha kehilangan kendali beberapa kali. Melepaskan rindu yang tak terungkap lewat kata-kata di sebuah kamar hotel. Itu tidak benar, Santi! Kau tahu aku tidak sebodoh itu! Cerita tidak berhenti sampai disitu…”
“Malam itu aku tidur di kamar yang disediakan untuk tamu dengan pintu terkunci. Aku ingin pergi dari rumah itu. Lari dari Bima yang kesetanan dan mengarang-ngarang cerita tidak benar. Tapi tidak mungkin. Waktu itu pukul 11 malam. Terlalu berbahaya kalau aku dengan wajah babak belurku berkeliaran di jalan raya sendirian. Aku memilih untuk tidur dengan kamar terkunci. Menjaga segala kemungkinan serangan Bima lagi. Keesokan harinya aku terbangun kesiangan. Tarno, supir kami, sudah pergi mengantar Bima ke kantor. Surti, sedang mengepel rumah. Ia melihatku keluar kamar tidur tamu dengan heran. Aku tidak mungkin bercerita padanya. Kukemasi barang-barangku sebanyak mungkin. Ya, hampir semua pakaian kecuali yang sedang dicuci kumasukkan ke dalam koper besar, sebagian ke dalam kardus. Aku harus pergi. Aku tidak mungkin bertahan di rumah itu”
“Di tengah jalan, aku minta supir taksi untuk menghentikanku di sebuah mal untuk mengambil uang di ATM. Saat itu jam istirahat makan siang. aku minta supir taksi mampir ke sebuah ATM drive thru di daerah Sudirman. Aku tidak mungkin meninggalkan koper dan barang-barang bawaanku terlalu lama. Selesai mengambil uang d ATM, aku melihat pemandangan yang benar-benar tidak pernah terlintas di kepalaku sebelumnya. Kenyataan yang aku alami ini begitu pahit”
Santi merasakan pandangan matanya seperti didatangi ratusan kunang-kunang yang menari-nari didepannya. Ia tak yakin mempu bertahan. Pakaiannya telah basah oleh peluh yang makin lama makin terasa dingin di tubuhnya. Tapi Santi tak lagi mampu berkata. Tubuhnya kaku. Begitupun bibirnya. Mungkin akibat terlalu lama menahan rasa pening yang menusuk-nusuk kepalanya.
Meski demikian, kalimat Irma yang terakhir sebelum pandangannya benar-benar gelap masih terekam di ingatannya.
“Aku…aku melihat Bima berjalan berduaan dengan Arman. Mereka terlihat akrab. Begitu akrab hingga sebuah adegan tertangkap oleh mataku yang tengah terbelalak. Mereka berdua memasuki mobil Arman yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri, dan berciuman di dalam mobil…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar