Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH ENAM

Suamiku, Anto Wirya Atmaja…
Setelah kurang lebih dua tahun kita berjalan bersama, banyak hal tentang kehidupan yang makin aku pahami. Meski harus aku akui bahwa pada saat yang sama banyak pula hal yang makin jauh dari pemahamanku tentang arti sebuah pernikahan.
Dari sekian banyak peristiwa berharga yang telah aku lalui selama tinggal di rumah yang kita bangun atas nama cinta ini, aku ingin berterima kasih atas seulas senyum paling indah yang aku lihat saat pertama kali kita bertemu. Tidak perlu aku sebutkan dimana dan kapan itu terjadi, karena mungkin hanya aku yang dapat merasakan getaran itu. Senyum itu begitu tulus, seolah malaikat ada dan bersanding di dekatnya. Mengajakku untuk mendekat dan mengenal pemilik senyum itu lebih banyak. Kini aku tidak yakin apakah sang pemilik senyum itu masih sama dengan seseorang yang tinggal bersama dan mengukir hari-hariku di rumah ini. Aku hanya bisa berharap. Tidak lebih. Aku tahu itu.
Sementara diri ini terus berharap, roda dunia ternyata tidak selalu menapakkan jejaknya di tanah yang licin nan lembut. Ia ingin membawaku bermain dalam gelombang dan riak air laut. Mendapati diriku dan dirimu disana, ternyata membawaku pada dua kemungkinan, yaitu mengarunginya bersamamu, atau mencoba mengarunginya sendirian karena ternyata aku hanyalah beban bagimu. Tentunya teramat sulit untuk terus bergandengan tangan selama melawan gelombang yang ternyata kekuatannya diluar batas kemampuan kita untuk bertahan. Aku tidak ingin kau tenggelam sia-sia. Kita akan tetap hidup hingga gelombang itu surut dan membawa kita ke tempat yang berbeda. Ke tempat dimana kita dapat mendengar desir angin pantai dan tawa canda anak manusia yang akan selalu mengisi rongga telinga kita dengan caranya sendiri. Mereka akan berkisah tentang hidupnya, seperti laut yang selalu bercerita tentang cinta, kasih sayang, dan kecemburuan.
Kita selalu berharap dimensi waktu akan memeluk kita dalam sebuah kesatuan. Merangkai hari demi hari hingga dunia bosan menemani kita. Itu benar. Tapi itu dulu. Kini dimensi waktu itu akan menyerahkan dirinya pada kita untuk sebuah akhir. Aku ingin berkata padanya ‘kita tidak ingin’. Namun apa daya.
Suamiku…
Semalam kita berbicara dalam sepi. Mengukir sebuah kesepakatan yang hanya diri kita masing-masing yang tahu. Percakapan kita tak ada artinya lagi. Seluruhnya hanyalah serpihan putus asa atas sebuah kegagalan. Aku mempercayaimu karena kau suami yang aku hormati. Namun, diluar itu semua, jiwa ini berteriak untuk dikembalikan pada suatu masa saat semuanya masih berupa kejujuran yang semu. Saat kita masih saling melihat dan menilai sebungkus kado dari indahnya pita yang ditempelkan di bagian luarnya.
Atas nama kenangan akan masa-masa indah yang telah kita lalui bersama, aku berharap engkau akan selalu memberikannya tempat di sebuah sudut di hatimu. Bingkailah ia dengan senyum yang selalu kau ciptakan untuk keluarga barumu nanti.
Bila engkau meragu suatu saat nanti, ingatlah bahwa kau pernah melampaui sebuah hari dimana ego hanyalah sebagian kecil dari taburan debu di angkasa. Debu itu pernah kau lepaskan bersama dengan kepergianku hari ini.
Aku yang selalu mendoakan kebahagiaan untukmu,
Santi
Anto tak pernah merasa dunia sehampa ini. Tangannya gemetar memegang surat yang ditulis Santi untuknya. Ia merasa tubuhnya ringan dan melayang, menjauh dari segala hiruk pikuk dunia. Menjemput sepi yang telah datang tanpa permisi. Ia ingin berteriak dan berlari kencang, pergi ke tempat dimana tak seorang pun dapat menemukannya kecuali ia dan masa-masa penuh kebahagiaannya bersama Santi. Ditangannya, seikat bunga mawar segar berwarna-warni dimana surat dari Santi melekat tadi. Mungkin kisah cintanya memang layak disamakan dengan seikat mawar ditangannya. Indah, banyak warna, segar, tapi tak mampu kehilangan durinya.
Tak lama Anto turun dari kamar tidurnya. Kamar yang menjadi tempatnya bercengkerama bersama Santi dulu kini terasa begitu sempit. Ia khawatir sesak nafas kalau terlalu lama di kamar itu. Ipah, pembantunya dilihatnya duduk di lantai ruang keluarga. Anto tidak akan menaruh perhatian pada sikap pembantunya itu seandainya ia tidak melihat tas dan dua kardus yang diikat tali plastik seadanya tersusun rapi disamping tempat Ipah duduk.
“Ipah, mau kemana kamu?”
“Ipah mau pamit, Pak,” katanya tegas.
“Ipah, kamu…”
“Mau pulang kampung, Pak. Mumpung belum terlalu malam, Ipah mau bermalam di rumah Bang Sanip dulu, besok pagi-pagi berangkat naik bis,” ucapnya tenang.
Mendengar ucapan Ipah barusan, Anto berjalan sambil memijit-mijit keningnya. Meninggalkan kamar tidurnya semula ia pikir dapat mengurangi sedikit beban yang sedang dirasakannya.
“Ipah, tidak ada yang meminta kamu untuk pergi juga seperti…,” Anto menyesal mengucapkan kata-kata yang seolah menegaskan kepergian istrinya untuk selamanya. Negosiasi yang ia lakukan semalam atas keputusan istrinya tidak membuat Santi merubah pendiriannya sedikitpun.
“Ini keinginan Ipah sendiri, Pak. Kemarin Bang Sanip bilang kalau di kampung ada pekerjaan untuk Ipah. Selain itu, rumah bapak Ipah dulu ngga ada yang ngerawat. Ipah satu-satunya harapan keluarga, Pak.”
Anto tahu Ipah tidak mengatakan yang sesungguhnya. Caranya berbicara yang patah-patah seperti menghafalkan teks pidato itu yang membuat Anto yakin bahwa pembantunya ragu untuk terus bekerja di rumah ini tanpa Santi. Bagaimana ia akan melarang Ipah sekarang? Sedang dirinya sendiri saja tidak yakin sampai kapan mampu bertahan dalam kesendirian ini.
“Baiklah kalau itu keinginanmu. Saya sebenarnya keberatan…saya membutuhkan kamu disini. Saya berterima kasih seandainya Ipah mau menimbang ulang keputusan untuk pulang kampung sekarang,” ujar Anto tidak kalah kikuk dengan Ipah yang seperti menghafal teks tadi.
Anto mendesah. Satu per satu penghuni rumah ini pergi meninggalkannya.
Mengapa mereka tidak mau menunggu dirinya menyelesaikan semua kemelut ini terlebih dahulu? Tahu apa mereka tentang dirinya dan Ratri? Anto tahu apapun yang telah terjadi pada dirinya malam ini, ia tetap harus menuntaskan semua keraguan atas yang terjadi antara dirinya dengan Ratri. Menghubungkan rantai-rantai yang putus dalam ingatannya.
Anto menatap langit dan tidak melihat bintang disana. Ia mengunci pintu pagar setelah melepas Ipah pergi. Kembali dalam keheningan hatinya malam itu, Anto tak kunjung dapat memejamkan matanya di tempat tidur. Ia tak sabar menanti hari esok. Besok pagi sebuah tugas besar menantinya. Menantang nyalinya untuk memperjuangkan apa yang selama ini terlewat begitu saja dari pandangannya.
*
“Sampai kapan kamu akan menjelaskan semuanya padaku? Semua yang terjadi dibalik sandiwaramu itu”
“Aku kira kamu mengajakku ke sini untuk mengenang perjalanan kita dulu”
“Ratri, aku inginkan penjelasan darimu. Mengapa waktu itu kau menjebakku?”
“Kita kesini untuk membicarakan itu?”
“Ya,” jawab Anto ketus.
Anto memandang sekeliling. Cuaca kota Bogor hari itu memang mendukung untuk berjalan-jalan. Setelah berhari-hari diguyur hujan, kota yang sejuk ini menawarkan kehangatan matahari di akhir pekan. Dedaunan kering yang terinjak oleh kaki Anto dan Ratri menimbulkan bunyi yang terus menemani langkah kedua manusia dengan keinginan yang berbeda itu.
“Tidak bisa sebentar saja kita mengenang sedikit saja bagaimana dulu kau membelikan aku kincir angin dari kertas yang dijual oleh abang-abang yang membutuhkan ongkos untuk pulang dan dagangannya belum ada satupun yang laku?”
“Atau wortel yang kita beli banyak-banyak agar kita bisa lebih lama memberi makan rusa yang ada di dalam pagar istana?”
“Kalau saja waktu itu kita sudah bisa membeli handphone dengan kamera seperti sekarang, pastilah banyak sekali foto-foto kita bersama rusa yang selalu kelaparan itu di dalamnya. Tidak perlu meminta jasa tukang foto keliling. Menghabiskan uang saja.”
“Ratri, aku serius dengan permintaanku tadi…”
“Aku serius dengan jawabanku. Itu kulakukan karena rasa cinta…,” ujar Ratri ringan.
 “Dengar, Ratri. Banyak hal aku pelajari dari kehidupanku bersama Santi. Cinta, kasih sayang, pengorbanan, bukanlah sesuatu yang dapat kita raih secara paksa. Hanya keikhlasan kuncinya”
“Kamu mau menguliahi aku, Anto?”
“Ya, terpaksa”
Pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh secara liar di Kebun Raya Bogor menjadi saksi kedua insan yang sedang beradu pendapat. Beberapa dari pepohonan yang tumbuh adalah pohon dengan umur diatas 100 tahun. Ia telah mengalami pasang surut kehidupan di bumi. Di matanya, Anto dan Ratri hanyalah anak ingusan yang sedang mencoba peruntungannya pada nasib. Sementara disisi lain dari Kebun Raya, terdapat tanaman dan pohon langka yang tak henti mencemooh perbedaan pendapat yang disuarakan oleh Anto dan Ratri secara perlahan tapi pasti. Manusia gemar mempermasalahkan perbedaan. Sementara mereka hidup bersama dengan sekian banyak species langka yang tidak pernah berebut makanan bahkan sampai bermusuhan. Mereka disibukkan dengan aktivitas menyediakan oksigen bagi manusia. Sementara sang manusia tidak memberikan penghargaan yang pantas selain meminta mereka menonton perseteruan demi perseteruan dalam mempertahankan kepentingan golongan masing-masing.
“Kalau hanya itu yang kamu mau, kenapa kita harus sampai disini?”
“Aku perlu udara segar,” ujar Anto bosan dengan gaya bicara Ratri yang berputar-putar.
“Sudah, itu saja?”
“Ratri. Setelah semua yang kau lakukan padaku atas nama cintamu itu, kemana kamu pergi sewaktu aku mencarimu di Surabaya, hah?,” Anto menghentikan langkahnya. Suaranya mengeras. Seorang anak kecil yang semula menikmati permen yang dijilatnya sambil bermain-main di dekat Anto terkejut dan berlari menjauh.
Anto menemukan sebuah bangku dari semen untuk tempat beristirahat pengunjung. Ia segera duduk dan menarik tangan Ratri untuk duduk di sampingnya.
“Sekarang aku minta kamu menjawabnya!”
“Aku berusaha mencari pekerjaan”
“Kalau cuma mencari pekerjaan, kenapa mesti sembunyi-sembunyi? Apa yang perlu disembunyikan kalau pekerjaan yang kau cari itu halal? Jangan anggap aku bodoh!”
“Cukup, Anto! Kamu menghina aku!”
“Kamu sedang menghina dirimu sendiri, Ratri! Sejak dulu hingga sekarang!”
Mata Ratri mulai berkaca-kaca.
“Jangan kau anggap air matamu kini dapat melunakkan aku. Mestinya aku dari dulu tahu siapa kamu sesungguhnya. Tidak begitu saja percaya dengan segala kelembutan yang berusaha kamu tunjukkan ke semua orang”
“Hidupku sulit, Anto,” Ratri mulai terisak.
“Kamu pikir hidupku tidak sulit? Sejak pertama kali kau datang di hidupku. Lalu kau coba menghubungiku lagi 5 tahun yang lalu saat kau kembali ke Jakarta. Dan kini…kini kau mengeluh tentang hidup sulit? Apa aku tidak salah dengar? Berapa orang yang sudah kau persulit hidupnya? Tidak pernah kau hitung? Atau kau sudah lupa pada mereka? Jawab!!”
“Tidak. Aku tidak lupa,” isaknya tertahan. Kini suara tegas keluar dari mulutnya.
“Aku tidak lupa bagaimana bisnis yang dibangun oleh orang tuaku perlahan tapi pasti menyusut perlahan karena kebijakan-kebijakan baru yang dibuat oleh ayahmu. Aku juga masih ingat bagaimana ayahku kemudian sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Aku mendengar percakapan mereka. Suatu malam, kala mereka mengira aku sudah tidur”
Anto berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tidak menyangka sama sekali sebuah fakta terkubur bertahun-tahun. Membatu bersama seluruh prasangkanya terhadap Ratri.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Kebijakan baru yang seperti apa yang telah menjauhkan usaha ayahmu…,” Anto menurunkan sedikit intonasi suaranya.
“Kamu heran? Tidakkah itu lucu buatmu? Atau yang ini juga akan menjadi bagian dari pemikiran negativemu terhadapku? Silakan saja. Aku sudah tidak berminat. Kalau kamu mau tahu kebijakan apa, tanyakan pada ayahmu, juga berapa banyak manusia yang menjadi korban.”
Anto tertawa mendengarnya. Tertawa untuk dirinya sendiri. Betapa bodohnya ia percaya bahwa Ratri mencintainya dengan tulus dulu. Anto merasa keputusannya memilih Ratri sebagai kekasihnya dulu begitu naïf. Ia adalah alat balas dendam Ratri terhadap keluarganya. Anto akan mencari tahu kejelasan masalah yang dihadapi oleh ayahnya dan ayah Ratri. Tapi sebelum itu semua jelas, ia benar-benar ingin mencemooh ketulusan cintanya pada Ratri selama bertahun-tahun. Selama Ratri pergi dari rumahnya dan mengadu nasib di Surabaya.
“Sekarang kamu mau aku mengakui apa lagi? Aku siap menjelaskan”
“Semuanya makin jelas buatku. Aku tidak memerlukan jawaban apa-apa lagi…”
Anto dan Ratri menuju tempat parkir dimana Anto menaruh mobilnya. Senja telah datang dan untuk menjemput malam. Ratri menawarkan diri untuk pulang dengan kendaraan umum saja. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa pada akhirnya Anto mengetahui latar belakang perbuatannya. Tapi Anto menyuruhnya untuk tetap pulang bersamanya. Langit sore yang tidak lagi menawarkan cerah membuat Anto khawatir akan keselamatan ibu dari anaknya yang sejak lahir tidak pernah berada dalam pelukannya.    
Anto dan Ratri tidak mengeluarkan satu patah katapun selama perjalanan. Luka di hati masing-masing lah yang sanggup bicara. Mencari celah untuk menyeruak keluar diantara hening yang tercipta. Mobil Anto melaju makin kencang di tengah badai hati penghuni di dalamnya. Menit demi menit yang berlalu seolah bagai perjalanan sepanjang tahun yang dilakukan untuk melalui sebuah jurang yang makin lebar dari hari ke hari.
*
Anto merasa puluhan jarum mengalir dalam pembuluh darahnya. Siap menusuk tiap bagian tubuhnya kapan saja. Kemarin kenyataan sebuah kenyataan pahit harus ia hadapi. Ia sesungguhnya tidak siap. Segala dogma tentang cinta yang dipahaminya selama ini tak ada satupun yang sesuai dengan apa yang dialaminya. Benarkah manusia begitu cepat berubah dari waktu ke waktu?
Anto sengaja mengambil cuti dari tempatnya bekerja selama seminggu. Begitu banyak misteri yang harus ia pecahkan demi membunuh rasa penasarannya. Ia tidak perduli lagi dengan dirinya sendiri. Ia mulai kurang tidur. Dari hari ke hari ada saja kepingan baru yang membutuhkan penjelasan.
Setelah perjalanannya dengan Ratri ke Bogor yang membuat kepalanya makin dipenuhi tanda tanya, pagi hari ini Anto bergegas ke rumah orang tuanya. Ia belum bisa tidur bila belum benar-benar yakin apakah sesungguhnya yang terjadi antara orang tuanya dan orang tua Ratri. Pantaskah Ratri memelihara dendam pada dirinya? Ucapan Ratri kemarin serasa dentuman bom di telinganya. Menyakitkan sekali. Cintanya pada Ratri dibalas dengan dendam.
*
Seperti biasa, Mbok yang bekerja di rumah Pak Wirya Atmadja tergopoh-gopoh membukakan pagar untuk Anto yang menunggu reaksi dari bel di pagar yang ditekannya dengan berdiri di depan rumah orang tuanya.
“Wah, senengnyaa bapak dan ibu… Mas Anto datang lagi…,” sapanya ramah.
Mbok menunduk demi melihat wajah kuyu Anto yang kurang tidur beberapa hari. Belum lagi pakaian yang dikenakan tidak lagi licin seperti habis disetrika. Putra majikannya hari ini begitu berbeda.
“Tumben pagi-pagi sudah sampai sini. Kamu ndak ngantor, To?”
“Nggak, Pak. Ini lagi ambil cuti. Sayang, udah lama cuti nggak diambil”
“Ohh… Mana istrimu? Masih sibuk cari kegiatan sambilan?”
Anto merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga, meregangkan otot-otonya yang kaku sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang diajukan padanya,”Santi? Mmm…iya, tadi keluar rumah sama temannya…”
Anto menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. Seharusnya, seperti hari-hari cuti yang telah lalu, ia menggunakan waktu istirahat berharganya ini untuk tiduran di atas sofa dan mendengarkan kecipak air di kolam. Terakhir ia merasakannya di sebuah villa di puncak bersama Santi. Villa yang tidak begitu besar namun cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan kecil yang menyenangkan bersama istrinya. Berenang, memasak sendiri dan memancing ikan.
Buru-buru Anto menegakkan tubuhnya yang terkulai beberapa saat di sofa untuk kembali mengingat tujuannya datang ke rumah orang tuanya kali ini.
“Bapak kenal baik dengan Bapak Gunawan Wibisono?”
“Yang mana ya? Kamu barusan ketemu? Ia menanyakan bapak?”
“Nggak, Pak. Anto ketemu dengan anaknya pak Gunawan…”
“Ohh…lalu?”
Lidah Anto kelu. Apa yang kemudian harus dikatakannya…
“Yang punya usaha rumah makan di beberapa tem…”
“Ooohh…yang itu. Bapak ingat sekarang. Yang sudah meninggal kan?”
Anto dapat bernafas lega sekarang. Setidaknya ia tidak perlu menyebutkan nama anaknya.
“Iya, yang itu…”
“Ada apa ya dengan anaknya?”
Harapan Anto untuk berlega hati musnah. Kini ia kembali harus berpikir bagaimana caranya untuk mengetahui apa yang terjadi antara ayahnya dengan ayah Ratri dahulu kala.
“Mmm…kata anaknya, Bapak pernah punya masalah dengan pak Gunawan…,” Anto tidak punya pilihan lain selain berterus terang.
“Masalah ya…Hmm, mungkin yang dimaksud adalah eksekusi atas tanah tempat dimana rumah makan terbesar milik Pak Gunawan itu. Siapa yang bermasalah sesungguhnya bapak rasa semua yang mengetahui duduk perkaranya dapat menilai sendiri”
Pak Wirya Atmadja memebtulkan posisi duduknya dan melanjutkan.
“Bapak waktu itu memeriksa berkas yang diberikan oleh seorang pengacara tentang hak milik tanah itu. kamu tahu sendiri kan, banyak sekali kepemilikan tanah yang bermasalah di Jakarta ini. Bapak tidak menerima apa-apa dari pengacara itu. Ia adalah seorang pembela hak rakyat jelata yang puas dengan menerima hasil bumi sebagai upah dari kerja kerasnya. Ia datang membawa keluhan dari sebagian rakyat jelata yang merasa tersisihkan karena tanah yang seharusnya menjadi miliknya ternyata digunakan sebagai tempat untuk mendirikan usaha oleh beberapa orang kaya. Waktu itu bapak hanya membantu kurang lebih 20 warga sipil yang berhak atas tanah itu untuk mendapatkan apa yang seharusnya memang menjadi miliknya,” ayah Anto menutup pembicaraannya.
“Lalu kenapa Ratri bilang kalau bapaklah yang menyebabkan sekian banyak orang kehilangan pekerjaannya?” Anto terkejut dirinya menyebut nama Ratri.
“Mereka yang disebut kehilangan pekerjaan itu adalah karyawan-karyawan pak Gunawan dan beberapa kios yang menggunakan tanah tersebut sebagai tempat untuk memperoleh penghasilan…”
“Adakah yang membantu mereka waktu itu untuk mencarikan semacam lahan pengganti supaya mereka tetap bisa melanjutkan pekerjaannya?”
Pak Wirya Atmadja mendesah. Seolah ia lelah mengingat semua kejadian itu.
“Anto, sebelum bapak membantu pengacara yang disewa sebuah lembaga swadaya masyarakat itu bapak telah memperoleh data tentang jumlah karyawan tiap usaha yang berada di tanah tersebut, dan juga keterangan tentang latar belakang bisnis yang dikelola oleh pemilik-pemilik usaha tersebut. Hasilnya adalah, pemilik-pemilik usaha tersebut semuanya memiliki lebih dari 3 bisnis yang dikembangkan di daerah yang berbeda-beda. Contohnya Pak Gunawan itu. selain disana, ia memiliki 4 rumah makan yang tersebar di seluruh Jakarta. Dengan total karyawan lebih dari 200 orang. Kalau sekitar 25 hingga 30 orang menjadi terbengkalai karena rumah makan yang satu ini ditutup, masih besar kemungkinan ia bisa mendistribusikan karyawan-karyawan itu ke rumah makan miliknya yang lain. Bapak tahu itu tidaklah mudah, karena tiap rumah makan tentunya memiliki perhitungan ongkos produksi masing-masing. Tapi waktu itu bapak melihat keadilan dari sisi yang berbeda. di satu pihak, pengusaha-pengusaha dengan kantong tebal itu sibuk memikirkan bagaimana supaya usahanya terus mendatangkan hasil yang makin banyak, tapi disisi lain sekian banyak kepala keluarga kehilangan haknya atas sebidang tanah milik mereka. Kalau kemudian kehidupan karyawan-karyawn mereka dijadikan alasan, bapak bilang itu mengada-ada. Kalau bapak tidak bertindak waktu itu, kebiasaan pemilik modal memanfaatkan ketidaktahuan rakyat jelata akan menjadi-jadi. Penipuan akan makin merajalela. Tidak ada control atas rasa keadilan. Orang-orang kaya sibuk menyumbat mulut para pejabat negeri ini dengan uang. Akhirnya asas keadilan hanya didasarkan pada siapa yang mampu ‘membeli’ surat keputusan dari pejabat berwenang.”
Ayahnya menutup serangkaian kisah masa lalu itu dengan raut wajah dingin. Ia tidak mengira anaknya akan memintanya mengenang salah satu kejadian yang paling ingin dilupakannya seumur hidupnya. Mengetahui kebobrokan pejabat di negerinya melalui surat kabar dan televise adalah hal biasa. Tetapi mengingat bahwa dirinya pernah menjadi bagian dari sebuah kasus paling memuakkan di kota ini yaitu kepemilikan tanah, adalah membubuhkan garam diatas luka yang belum mengering.
Sekarang semua menjadi jelas bagi Anto. Sayangnya, ini baru terjadi setelah semua yang berharga dalam hidupnya pergi meninggalkannya sendiri.
Ia memandang pantulan wajahnya di cermin. Mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali dirinya terlihat pucat seperti mayat hidup. Sulit tidur selama berhari-hari disertai nafsu makan yang menurun drastic telah menguras sebagian besar tenaganya. Ia ingin menenangkan diri sebentar di rumah orang tuanya. Kesunyian yang mencekam si rumahnya membuat ia terus-menerus teringat pada Santi. Sedang apa istrinya sekarang? Apakah Santi mengingat dirinya seperti ia terhanyut dalam kesedihan karena kehilangan Santi? Tak ada jawaban. Pantulan dirinya di cermin seperti mentertawakan semua usahanya selama ini. Mengejek dirinya yang tidak pernah terlihat siap menerima kekalahan hingga akhirnya kekalahan itu sendiri yang memaksa dirinya untuk menerima secara beruntun. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar