Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH TUJUH

Santi memainkan air kolam dengan kaki telanjangnya. Air kolam pagi ini terasa hangat. Kram di pergelangan kakinya yang sering kali terasa setiap kali bangun tidur semenjak kehamilannya berkurang karena gerakan-gerakan kecil tadi. Irma, yang juga sedang asyik menikmati pagi mengajaknya untuk berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Olah raga baik untuk menjaga kesehatan wanita hamil katanya. Santi tahu itu. Meski
demikian, dirinya masih saja terkesan dengan perhatian teman setianya ini.
“Bagaimana kabar Bima?” ujar Santi ditengah kegiatan jalan pagi yang dilakukannya bersama Irma pagi itu.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengetahui kabar apapun tentang dia lagi. Tapi selalu ada saja yang menceritakan perihal Bima padaku. Seorang bekas tetanggaku dulu sering menelponku. Ia bercerita kalau Bima berencana menjual rumah tempat tinggal kami dulu. Ia mau pindah… Ya jelaslah kalau dia dengan pasangan homonya tidak merasa betah tinggal di tempat itu. Mana ada orang yang mau punya tetangga pasangan homo? Aku rasa mereka terpaksa meninggalkan tempat tersebut karena diusir secara halus oleh warga setempat,” Irma bersemangat membagi ceritanya.
“Satu hal yang aku syukuri saat ini adalah, aku dan dia belum dikaruniai anak. Tentunya nggak gampang menjelaskan kepada anak kita siapa ayahnya itu sesungguhnya…,” ujarnya lesu.
“Maaf, San, bukan berarti aku berkata bahwa kamu bakal kesulitan memberitahu anakmu nantinya loh,” Irma berkata penuh penyesalan.
“Nggak apa-apa, Ir, sudah takdirku harus menerima keadaan ini,” Santi berusaha untuk tegar, meski hatinya pilu. Kepalanya belakangan ini dipenuhi masa-masa indahnya bersama Anto. Ah, seandainya tidak perlu ada perpisahan…
Sesekali, Santi dan Irma berhenti untuk melakukan gerakan senam ringan di tempat. Irma terlihat bahagia memandang wajah optimis Santi ditengah kesulitan yang melandanya. Mereka berdua sesungguhnya sedang menjalani sebuah drama kehidupan yang dapat dibilang serupa, meski tidak sama persis. Kehilangan orang yang selama ini menjadi tempat berteduh dan membilang asa yang belum juga sempat diraih.
“San, kemarin Budi menelponku,” ujar Irma memecah keheningan.
“Hah? Budi? Kenal dari mana kamu?”
“Dia mengirim friend request ke aku di facebook. Trus, ya gitu deh, dia minta kenalan. Emang kenapa dia kamu remove?”
Santi tak habis pikir. Temannya yang satu ini masih saja berusaha untuk menghubungi dirinya.
“Ceritanya panjang, Ir. Nanti deh kalau sampai rumah aku ceritakan selengkap-lengkapnya tentang apa yang terjadi antara aku dan dia”
“Ehm…ehm…ketinggalan berita nih aku sepertinya,” Irma menggoda Santi yang tiba-tiba tersipu-sipu mendengar nama Budi disebut.
“Apaan sih… Sok tau kamu!” Santi tersenyum menanggapi sikap Irma.
“Sok tau apanya…liat dong, pipi kamu yang semu-semu merah itu”
Santi mencubit lengan Irma yang berusaha menjauh dari sikap salah tingkah temannya itu.
“Udah deh, ceritanya sekarang aja. Ngga usah pake nunggu-nungguan sampai rumah segala,” ujar Irma penasaran.
“Intinya, dia bilang kalau aku adalah wanita yang diinginkannya selama ini. Ia sejak dulu mempunyai perasaan yang sulit dijelaskan ketika berdekatan denganku. Perasaan selalu ingin bersama, selalu ingin melindungi. Itu yang ia katakana padaku sewaktu kita bertemu di sebuah rumah makan untuk pertama kalinya setelah berpisah sekian lama…”
“Ada satu yang aku sesali…atau entah apalah itu namanya. Harus aku akui sejak dulu aku pun merasa nyaman berada di dekatnya. Tapi entah mengapa aku menjadi kesal justru pada saat ia mengungkapkan isi hatinya itu. Semacam ada pengkhianatan terhadap pertemanan yang sudah dibina sekian lama. Aneh memang. Apakah sebagian orang memang ada yang merasa risih kala harus menerima kenyataan bahwa pertemanannya yang indah serta perasaan istimewa yang tersimpan rapi dalam sanubari masing-masing mesti terungkap lewat kata-kata dan seolah menuntut jawaban atas nama cinta untuk saling memiliki?”
“Diluar itu semua, ia adalah suami Titin…”
Tanpa terasa Santi dan Irma telah tiba di depan pavilion dimana Santi dan Irma tinggal. Santi berjanji tidak akan lama tinggal di rumah itu. beberapa surat lamaran kerja telah dilayangkan ke perusahaan yang menurutnya memungkinkan dirinya diterima walau dalam keadaan mengandung dan kurang dari satu tahun akan mengajukan cuti melahirkan.
Hari ini mereka berencana untuk berjalan-jalan menyusuri koridor mal-mal besar di Jakarta untuk melepas penatnya beban pikiran yang menggelayuti mereka berdua sebulan terakhir ini. Santi juga merasa perlu mulai membeli beberapa pakaian longgar untuk wanita hamil. Perjalanan ini akan menyenangkan, pikir Santi. Selama ini ia selalu kagum dengan wanita yang bangga dengan kehamilannya. Memperlihatkan perut buncitnya ke mana-mana dengan beraneka model pakaian khusus wanita hamil. Kini ia akan menjadi bagian dari mereka. Memahami bahwa kehamilan adalah anugerah itu ternyata indah. Ia sebagai bagian dari generasi mandiri yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengejar rasa tertinggal seorang wanita terhadap peradaban tidak menyangka akan dapat menempatkan dirinya pada keadaan seperti sekarang ini. Hamil dan sangat menginginkan kehadiran buah hati yang dikandungnya. Santi menghitung persediaan vitamin dan obat-obatan dari dokter yang merawatnya. Tinggal tersisa untuk 3 hari kedepan. Artinya ia harus menjadwalkan diri untuk bertemu sang dokter lagi guna mengkonsultasikan kesehatannya dan buah hatinya ini.
“Wah, yang mau jadi ibu…sibuk bener nih menghitung obat,” Irma memperhatikan kegiatan Santi yang menurutnya tidak seperti biasanya. Santi yang dikenalnya adalah pribadi tegar namun kurang suka memperhatikan hal-hal kecil seperti hitung menghitung persediaan obat yang dilakukannya saat ini. hal terakhir yang Irma ingat tentang Santi dan obatnya adalah ketika suatu hari Santi diminta untuk meminum obat mag nya secara rutin oleh dokter. Saking cueknya dengan persediaan obat yang harus diminumnya, Santi kerap lupa dimana ia meletakkan obat yang harus diminumnya itu. Oleh karenanya, ia sengaja meminta dokter memberinya resep dua kali dari jumlah yang seharusnya dimium agar ia dapat meletakkan sebagian di dalam tas kerjanya, dan sebagian lagi di rumah. Benar-benar kecerobohan yang berbahaya. Resep semacam itu hanya mungkin diperoleh dari seorang dokter yang memang berteman cukup dekat dengan Santi. Setidaknya ia percaya bahwa Santi meminta jumlah ganda hanya untuk mengatasi sifat pelupanya, dan menyingkirkan kemungkinan over dosis.
“Besok pagi aku harus ke dokter kandungan untuk meminta resep lanjutannya…fiuhh, repotnya mesti perhatian dengan hal-hal kecil begini. Anyway, I am happy doing it!” ujar Santi dengan senyum bangga.
Taksi yang mereka panggil untuk mengantar ke pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Pusat yang paling sering mereka kunjungi sudah tiba. Kini saatnya untuk bersenang-senang.
Tanpa mereka sadari seorang pengendara sepeda motor dengan helm tertutup rapat mengikuti taksi yang mereka tumpangi dari belakang.
*
Pintu masuk menuju pusat perbelanjaan yang dituju sudah terlihat. Santi dan Irma bersiap-siap untuk turun. Terlihat antrian panjang menuju mobil dan taksi di pintu masuk tersebut. Santi san Irma bukanlah tipe orang yang mau menunggu antrian panjang sementara sesungguhnya mereka dapat memasukinya dengan berjalan kaki. Menunggu antrian panjang tersebut juga berarti menambah ongkos taksi mereka.
Kurang lebih 100 meter sebelum pintu masuk yang disediakan untuk mobil, Irma dan Santi turun dari taksi yang mereka tumpangi. Setelah menerima kembalian atas pembayaran ongkos taksi, berdua mereka menyusuri jalan. Mobil dan motor lalu lalang disamping mereka. Tidak banyak memang pejalan kaki yang menyusuri jalan tersebut waktu itu. Jam istirahat kantor-kantor disekitarnya belum lagi mulai. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah dan rambut Santi dan Irma. Bagi Santi, berjalan kaki adalah salah satu kegiatan yang ingin dilakukannya sesering mungkin untuk melatih otot-otot kakinya terhadap beban yang akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya.
Santi sedang asyik menikmati langkah-langkah cepatnya kala sebuah teriakan keras terdengar. Seseorang memandangnya dengan mata melotot sambil menunjuk sesuatu di dekatnya.
“AWAAAS!!!”
Suara decit rem sepeda motor terdengar sebelum akhirnya segalanya gelap bagi Santi.
Telinganya sempat menangkap suara teriakan marah dan derap langkah cepat dengan jelas, kemudian melemah, dan hilang.
*
Rasanya ia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tapi dimana, ia sulit mengingat. Hening dan putih adalah sebuah kesatuan yang melingkari dirinya saat ini. Tak ada warna lain, tak ada suasana lain. Perut buncitnya makin lama terasa makin membesar. Hingga di suatu waktu, pertumbuhannya berhenti. Kemudian, tanpa bantuan persalinan dari siapapun bayi yang ada di perutnya terlahir begitu saja. Bayi itu begitu lembut, begitu manis hingga tak ada sedikitpun tangis yang terdengar dari mulutnya. Santi merasa sangat bahagia menyambut kedatangan buah hati yang dinantinya. Hingga seseorang dengan pakaian hitam tiba-tiba muncul di hadapannya dan memaksa dirinya menyerahkan bayi yang ada di pangkuannya itu. ‘Tidak! Jangan pernah berharap aku akan menyerahkannya! Pergi kau!’ bentak Santi. Yang diajak bicara bergeming. Santi ingin bangkit dan berlari kencang dari tempatnya berbaring. Ia tak mampu menggerakkan kakinya. Ia mendapati kakinya terikat. Ia berteriak kencang, sangat kencang berharap seseorang akan datang dan membantunya melepas tali yang mengikat kedua kakinya. Hingga akhirnya…
“Lepaskaaan!!”
Sebuah tangan dingin seperti es menyentuh lengannya. Santi meronta. Ia membuka matanya. Peluh membasahi tempat tidurnya. Di hadapannya Irma menanti penuh cemas. Disebelah Irma ada seorang pria. Pria yang pernah ditemuinya. Yang pernah hadir di masa lalunya. Budi berdiri disamping Irma memandang Santi penuh harap.
“Ia sudah berhenti berhalusinasi rupanya,” suara berat datang dari seorang pria yang tangan dinginnya menyentuh lengan Santi tadi.
“Apa berarti ia sudah sadar sepenuhnya, Dok?” gantian Irma kini yang berbicara.
“Semoga demikian,” ucap seseorang yang dipanggil dokter itu lembut. Dan memang benar, matanya memancarkan kelembutan yang dapat segera ditangkap oleh mata Santi yang ketakutan dan bingung.
Santi berusaha membuka mulutnya, tapi tak sepatah katapun terdengar oleh telinganya.
‘Masih normalkah ia kini?’
“Bagaimana dengan bayi dalam kandungannya, Dok?” suara Irma kembali terdengar. Irma kini duduk di depan kursi dokter bersama Budi.
Sang dokter menyentuh pergelangan tangan Santi sembari melirik jam tangannya, menghitung denyut nadi sang pasien.
“Denyut nadinya sudah mulai normal. Kami akan memeriksa keadaan kandungannya sebentar lagi. Karena tidak ada pendarahan, kami berharap bayinya sehat. Tapi kami akan melakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikannya.”
Tak lama kemudian, sang dokter keluar dari kamar tempat Santi dirawat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat halusinasi yang kemungkinan dapat terjadi lagi pada diri Santi, dua orang perawat diminta siaga di kamar tersebut sementara sang dokter memeriksa pasien yang lain.
Irma dan Budi keluar dari kamar dan membiarkan Santi beristirahat.
“Kalian tidak tahu kalau diikuti?” ujar Budi pada Irma.
“Kalau tahu, kami pasti sudah lapor polisi. Atau paling tidak meminta supir taksi untuk melindungi kami,” Irma geram mengingat betapa ia tak dapat menjaga Santi.
“Aku nggak habis pikir, siapa kira-kira yang ingin mencelakakan Santi dan apa motif dibalik itu…,” Budi berjalan menuju sebuah mesin penyedia minuman di dekatnya. Ia menawarkan Irma minuman bersoda yang langsung disambut Irma dengan anggukan.
“Aku juga penasaran. Rasanya Santi tidak pernah punya masalah serius dengan siapapun. Anto, suaminya, meskipun kaku dan kadang terlihat seperti kurang perhatian pada istrinya, bukanlah lelaki yang kasar. Kejadian ini juga bukanlah usaha perampokan. Tidak ada yang diinginkan sepertinya dari diri Santi kecuali kecelakaan yang mungkin berujung pada maut. Ah, sudahlah. Polisi yang menanganinya berjanji untuk memberi kabar kalau pemeriksaan sudah selesai dilakukan”
Irma menyisir rambutnya dengan tangan sebelum akhirnya melanjutkan,”Ada kemungkinan juga salah sasaran…”
“Maksudnya?”
“Santi bukanlah orang yang ingin dicelakakan. Itu kata salah seorang yang membantu kami tadi”
“Untung yang menabrak tidak habis dihajar massa,” ucap Budi miris mengingat sekian banyak kejadian penghakiman oleh massa yang terjadi di Jakarta ini.
“Sebenarnya, orang-orang sudah berlarian mengepung pengendara motor tadi. Tapi ada dua orang satpam yang berhasil meredakan amarah mereka. Mereka batal mengeroyok,” Irma menjelaskan kronologi peristiwa kepada Budi.
“Kebetulan tak lama kemudian kamu menelponku dan spontan aku menceritakan keadaan ini,” lanjut Irma.
“Sampai kapan Santi akan tinggal di rumahmu?”
“Entahlah, mungkin sampai ia mendapatkan pekerjaan. Santi berencana untuk berkunjung ke rumah ibunya besok pagi. Tapi aku rasa ia perlu cukup waktu untuk beristirahat disini. Aku akan mengantarnya setelah ia lebih sehat dan kita semua mendapat penjelasan dari pihak kepolisian”
Irma dan Budi menengok Santi yang masih terkulai lemah di tempat tidur. Senyum mulai dapat  ditampilkan oleh bibirnya yang pucat. Malu-malu ia memandang Budi. Santi teringat cerita Irma tentang bagaimana Budi masih saja mengharapkannya.
“Bagaimana keadaannya, Suster? Apa ibu Santi sudah lebih baik?” tanya Budi pada kedua suster yang diminta untuk menjaga Santi.
“Sejauh ini kondisi emosinya terlihat stabil. Denyut nadinya juga bagus. Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap janin yang ada di rahim ibu Santi. Dan hasilnya bagus, janinnya sehat!”
Irma menghambur ke arah Santi, memeluknya penuh haru. Kekhawatiran akan kondisi Santi musnah sudah. Yang dipeluk terbatuk-batuk sebelum akhirnya bersuara lemah,”Makasih banyak ya, Ir, juga Budi…”
Budi mendekat ke tempat tidur Santi dan menatap wajah orang yang dikasihinya itu dengan bahagia.
“Sekarang kamu sudah yakin bahwa janin dalam kandunganmu sehat. Banyak istirahat ya, jangan terlalu risau, nanti kamu berhalusinasi lagi seperti tadi,” Budi mencoba memberi sedikit nasihat.
“Benar, Bu. Kami punya pengalaman buruk pada salah satu pasien kami yang melukai dirinya sendiri saat dirinya mengalami halusinasi hebat. Kalau ibu tenang dan percaya semuanya akan baik-baik saja, alam bawah sadar ibu akan terhindar dari kemungkinan berhalusinasi,” ucap salah satu suster yang menjaga Santi mendukung nasihat Budi padanya.
*
Irma duduk di depan dua orang berseragam polisi yang sedari tadi sibuk menceritakan keterangan apa saja yang diperoleh mereka dari pengendara motor yang dengan sengaja menabrak Santi.
“Semula ia tidak mau membuka mulut. Seperti biasa, orang-orang semacam dia berada dibawah ancaman pelaku utama. Tetapi kami menawarkan untuk menjemput keluarganya di rumah dan membawanya ke kantor polisi untuk mendapatkan perlindungan… Akhirnya, ia mau bicara,” seorang berseragam polisi yang lebih tua menjelaskan kepada Irma.
“Maaf, apa benar ibu yang bernama Irma Puspitasari?” lanjutnya.
“Iya, benar,” jawab Irma.
“Dan nama suami ibu adalah bapak Arya Bima?”
“Ya, benar…ada apa ya?” Irma menjadi bertanya-tanya.
“Ibulah sebenarnya yang dituju oleh pengendara motor itu. ibu beruntung pengendara motor itu salah menabrak teman ibu”
“Apa saya tidak salah dengar? Ba-bagaimana itu bisa terjadi? Mak-maksud saya, mengapa saya…,” Irma terbata-bata menyadari kenyataan yang benar-benar diluar dugaannya.
“Mohon maaf sebelumnya kalau mungkin pertanyaan kami bersifat agak pribadi. Kalau ibu keberatan untuk bicara disini tidak apa, kami dapat mendampingi ibu untuk bicara di kantor kami saja”
Irma memandang sekelilingnya. Di ruangan itu hanya Irma dan kedua polisi itu saja yang tinggal di ruang tunggu pasien di depan bagian pendaftaran rawat inap. Saat itu pukul 11 malam. Hanya beberapa petugas jaga yang kadang terlihat lalu lalang.
“Disini sekarang saja, Pak,” ujarnya kemudian.
“Baik. Benarkah ibu saat ini sedang tidak tinggal serumah dengan pak Arya Bima?”
“Benar”
“Ibu kenal dengan seorang yang bernama Andi? Andi Hermawan?”
Irma terkejut mendengarnya. Sungguh sebuah nama yang tidak ingin diingatnya lagi!
“Saya…tahu,” Irma menjawab ragu. Haruskah ia mengatakan yang sesungguhnya bahwa ia tidak cuma sekedar tahu tapi mengenal dengan baik? Bahkan sebelum suaminya mengenal orang ini dan kini…merampas suaminya?
“Ibu hanya tahu, atau mengenalnya?”
Pertanyaan yang dibenci Irma akhirnya harus ia jawab juga.
“Ya, saya mengenalnya!” Irma menarik nafas panjang. Ia lega sekaligus menyesal harus mengakuinya.
“Pengendara sepeda motor ini disuruh oleh seorang yang bernama Andi Hermawan ini…”
“U-untuk me…”
“Ya, untuk menabrak ibu,” lanjut polisi dihadapannya itu mantap. Tidak ada keraguan sedikitpun dari ucapannya.
Irma kehilangan kata-kata. Apa yang telah terjadi antara suaminya dan Andi? Cemburukah Andi dengannya? Gila! Ini benar-benar gila!
“Ibu dapat memberikan alamat bapak Andi Hermawan dan suami ibu, bapak Arya Bima kepada kami untuk penyelidikan lebih lanjut? Terlalu berbahaya bila orang semacam pak Andi Hermawan ini dibiarkan berkeliaran. Berbahaya untuk ibu, dan mungkin juga untuk orang lain”
Irma menuliskan alamat yang diminta di secarik kertas yang disediakan oleh kedua polisi yang menemuinya malam itu dan menyerahkannya pada mereka.
“Terima kasih untuk semua keterangan yang ibu berikan. Malam ini, seorang anggota kami akan berjaga di rumah sakit ini, menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi”
Bapak polisi yang menanyai Irma berdiri, kemudian berpamitan pulang. Sebelumnya, ia menjelaskan bahwa temannya akan tinggal di rumah sakit ini untuk berjaga-jaga.
Irma merasakan lututnya terlalu lemas untuk membantu tubuhnya tegak berdiri dan melepas kepergian polisi yang telah membantunya tadi. Ia merenung seperti orang linglung. Polisi yang bertugas menjaganya meminta diri sebentar untuk melihat-lihat keadaan rumah sakit di sekitar ruangan tempat Irma terduduk.
Malam itu, Irma menemani Santi bermalam di rumah sakit. Setelah menghubungi orang tuanya bahwa ia tidak pulang ke rumah malam itu, Irma masuk ke kamar Santi. Dilihatnya teman sekaligus sahabatnya sudah tertidur pulas. Tak dapat dibayangkan olehnya bila Santi sampai kehilangan nyawanya ataupun nyawa bayi dalam kandungannya. Ia tidak akan dapat memaafkan dirinya sendiri. Ia adalah sasaran sesungguhnya, bukan Santi yang kini terbaring lemah di hadapannya.
Irma diliputi perasaan takut sekaligus benci. Tak cukup kebencian yang ia miliki selama ini kepada suaminya yang ternyata gay itu dan kekasihnya. Andi Hermawan!! Ekspresi jijik tidak pernah berhasil disembunyikannya tiap kali Irma mengingat nama teman lamanya yang satu itu, yang kini nyaris mencelakakan nyawa Santi.
Irma belum mengatakan masalah antara dirinya dan Bima yang sesungguhnya kepada kedua orang tuanya. Ia hanya mengatakan bahwa dirinya sedang kehilangan rasa percayanya pada suaminya dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Sementara semua yang diperlukan untuk mengurus perceraiannya telah disampaikan ke kantor pengadilan agama. Kini ia membutuhkan dukungan orang tuanya. Keluarganya. Ia tak mampu mencoba berdiri sendiri ditengah percobaan mencelakakan dirinya yang dilakukan oleh kekasih suaminya. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia belum sanggup untuk berterus terang kepada orang tuanya. Mengakui bahwa lelaki yang dinikahinya memilih untuk menjadi gay adalah neraka dunia baginya. Bagaimana keluarganya akan memandang dirinya? Salah pilih suami? Hanya tergiur pada ketampanan? Tidak becus menjadi istri? Membiarkan suami mencari kesenangan di luar rumah? Ingin rasanya Irma membenturkan kepalanya ke tembok tempatnya bersandar saat ini.
*
“Harusnya kamu ada di kantor polisi. Bukan disini!” bentak Irma.
“Ada yang ingin aku jelaskan…”
“Jangan berani-berani mendekat, atau aku telepon polisi sekarang juga!” Irma kehilangan kesabarannya.
“Aku suamimu, Irma! Dan aku ingin bicara baik-baik…,” ujar Bima memelas.
“Aku harap kamu tahu kalau teman kita, Santi, dirawat di rumah sakit saat ini karena ulahmu!”
“Bukan!”
“Siapapun itu yang jelas ia berhubungan denganmu! Berhentilah mengelak. Aku tidak tertarik dengan penjelasan apapun yang datang dari kamu…,” Irma berusaha bersikap tegas. Ia telah kehilangan rasa percaya pada suaminya. Meski harus Irma akui bahwa bila Bima berkata bahwa ia ingin bicara baik-baik, biasanya ia serius dengan keinginannya.
Kecipak air yang berasal dari kolam ikan di pavilion tempat Irma dan Santi tinggal meninggalkan bekas di sepatu kulit Bima. Tepat di hari kedua Santi dirawat di rumah sakit, Irma pulang ke rumahnya untuk mengambilkan beberapa setel pakaian Santi. Tanpa disangka, Bima telah menantinya.
“Irma, kali ini aku mohon. Sekali saja, setelah itu kamu boleh mengusirku…”
“Polisi telah memanggilku untuk menjalani pemeriksaan kemarin. Mereka banyak memberikan pertanyaan padaku. Aku tidak mengira sama sekali Andi akan melakukan hal senekat itu. Awalnya, aku begitu tertekan kala mengetahui bahwa uang yang aku tanamkan di sebuah proyek perumahan bersama Andi dan teman-teman yang lain dibawa kabur oleh pimpinan proyek. Aku termasuk yang paling banyak mempercayakan tabungan kita pada proyek tersebut. Aku berniat berinvestasi untuk masa depan keluarga kita, Irma”
“Setelah sekian lama hidup dalam kondisi tertekan, aku tidak tahan lagi. Aku jadi sering pergi ke kelab malam bersama Andi. Menganggap bahwa kami dapat melepas segala beban hidup ini di termpat tersebut. Yang terjadi sebaliknya. Andi yang aku anggap teman baik ternyata mencintaiku layaknya perempuan mencintai laki-laki”
Bima terduduk di pinggir kolam. Ia tidak perduli lagi seandainya Irma mengusirnya, ataupun memanggil polisi untuk menggiringnya ke penjara. Yang ingin dilakukannya saat ini di depan istrinya hanyalah menyesali semua perbuatannya.
“Aku…aku terjerumus. Itu harus kuakui. Kira-kira seminggu yang lalu, aku menyadari tidak seharusnya aku terjebak dalam dunia kelam bersama Andi. Aku berniat mengakhiri semuanya. Kembali ke kehidupan normalku seperti dulu. Andi menangis di hadapanku kala aku mengemukakan niatku. Aku tidak menyangka ia akhirnya menyewa seorang pengendara sepeda motor untuk mencelakakan kamu. Ia tidak ingin aku kembali padamu. Itu saja yang ingin kukatakan. Sekarang kuserahkan semua keputusan padamu”
Irma merasakan matanya menghangat. Hatinya melunak. Ingin rasanya ia memeluk suaminya dan tidak pernah melepasnya lagi. Namun pemandangan menjijikkan antara suaminya dan Andi yang idak sengaja pernah dilihatnya menyurutkan niatnya. Ia tidak ingin tertipu. Bima bisa saja bohong. Atau keinginannya kembali pada Irma hanyalah sesaat. Irma ngeri membayangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar