Kamis, 19 Januari 2012

EMPAT BELAS


Anto membuka pintu kamar tidur dan mendapati istrinya telah terlelap. Ia mengecup kening istrinya yang bergeming dalam selimut. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Perjalanan kurang lebih 10 kilometer yang baru ditempuhnya memakan waktu lebih dari 2 jam. Jakarta memang tidak memberi banyak ruang bagi penduduknya untuk menikmati waktu istirahat di rumah.
Setelah membersihkan tubuhnya, Anto turun ke lantai dasar rumah yang ditinggalinya. Memandang ruang tamu dan ruang keluarga yang begitu hening. Seperti jiwanya kali ini. Perkataan demi perkataan yang dilontarkan ibunya sore tadi membekas kuat diingatannya. Seberapa berbedakah dirinya dengan Santi? Benarkah Santi sedemikian tergoncang dengan perubahan dalam hidupnya kali ini? Anto menyadari istrinya jauh lebih pendiam semenjak menjadi ibu rumah tangga. Kadang ia juga mendapati istrinya seperti kebingungan dengan rutinitas yang biasa dikerjakan di rumah ini.
Anto membuka lemari pendingin. Mengambil minuman bersoda yang dibelinya kemarin di mini market pada perjalanan pulang kantor. Rasa segar merasuki kerongkongannya. Garang asem yang dibawanya untuk Sani dimasukkannya ke dalam lemari pendingin. Sebenarnya paling enak kalau dimakan langsung, gumam Anto. Kemacetan yang diuar perkiraan telah menghanguskan kesempatan istrinya untuk menikmati masakan ibunya malam ini. Begitu dirinya terjebak dalam kemacetan panjang, Anto segera menelpon Santi untuk tidak menunggunya makan malam. Tapi ia belum bercerita tentang garang asem buatan ibunya yang ia bawa. Sudah lama Santi tidak makan garang asem buatan ibu. Anto yakin istrinya rindu mencicipi makanan khas jawa tengah yang satu ini. Sebenarnya kalau Santi mau, ia dapat memasaknya sendiri. Tapi…Anto masih ingat kapan Santi berhenti belajar memasak makanan kesukaannya dari resep-resep rahasia ibunya.
Saat itu, di sebuah hari minggu yang cerah, ia dan Santi berbelanja ke supermarket yang tidak jauh dari rumah. Keinginan istrinya hari itu sederhana, yaitu membeli bahan yang diperlukan untuk membuat masakan yang resepnya berasal dari ibunda Anto, bu Wirya Atmadja. Ipah diminta Santi beristirahat dulu dari pekerjaan hariannya. Ia boleh bertandang ke tempat kerja adiknya yang terletak tidak jauh dari kediaman Anto dan Santi. Anto teringat bagaimana istrinya begitu bersemangat melakukannya. Saat itu Santi masih bekerja. Rencana mengundurkan diri sudah ada diputuskan. Tinggal mengetik surat pengunduran diri saja. Anto tidak begitu menghiraukan semangat istrinya waktu itu. Ia ingat benar. Baginya, hal semacam itu adalah bagian dari kewajiban istrinya. Tidak ada yang istimewa. Hingga akhirnya satu masakan matang dan siap disantap di atas meja.
Anto menutup wajahnya mengingat kejadian hari itu. Telapak tangannya terasa dingin di wajahnya.
Sungguh saat itu ia tidak bermaksud menyakiti hati istrinya. Ia hanya…hanya…merasa bahwa seharusnya bukan demikian yang terjadi. Bahwa seharusnya Santi tidak menyuruh Ipah pergi sebelum menyiapkan lauk untuk makan siang mereka. Bahwa seharusnya ia pun tidak mengatakan…
‘Buang aja! Nggak bakal ada yang mau makan juga. Keasinan…’
Anto tidak ingat ekspresi wajah Santi saat itu. Yang ia ingat hanya keesokan harinya, Santi berangkat kerja lebih awal dan pulang kerja lebih lambat dari biasanya.
Anto ingin punya kemampuan untuk menghentikan ingatannya akan kejadian itu saat ini.
Ia merebahkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya yang lelah setelah bekerja seharian dan diterkam kemacetan jalanan berjam-jam ternyata belum mampu membuat matanya berat. Ucapan ibunya terngiang-ngiang kembali diingatannya. Menggema tidak karuan di telinganya. Apa yang telah ia lakukan selama ini terhadap istrinya? Ia mengaku tinggal dan bergaul setiap hari dengan Santi. Tapi mengapa kini, hanya dengan sekian menit kunjungannya ke rumah orang tuanya segala yang sudah dilakukannya bersama Santi selama ini seolah tidak ada artinya? Benarkah sesungguhnya ada jarak membentang antara jiwanya dengan jiwa istrinya?
Di saat seperti ini, hanya satu hal yang Anto ingin lakukan, yaitu menulis. Menulis kerap membuat hatinya lebih lega. Melepas perlahan segala yang menyesaki dadanya. Ia berjalan menuju sebuah kamar dimana ia dan istrinya biasa menghabiskan waktu untuk membaca buku atau mengetik. Hanya ada satu laptop di kamar itu. cukup untuk membantu kegiatan Anto dan Santi selama ini. Karena untuk mengerjakan pekerjaan kantor, perusahaan tempat Anto bekerja menyediakan laptop khusus untuknya.
Anto membuka laptop dan menyalakan tombol power. Setelah tombol power menyala, melalui menu explore, ia mencari sebuah folder khusus yang berisi beberapa tulisannya. Ia melihat sebuah folder baru. Baru dibuat 3 minggu yang lalu. Berjudul My Activity. Ah, tentunya ini folder Santi, Anto menduga dalam hati. Ia sesungguhnya tidak berniat sama sekali untuk membuka. Tapi, mouse laptop yang sudah diarahkannya ke folder miliknya sedang tidak ingin bkerjasama dengannya kali ini. Folder My Activity yang terbuka. Bukan foldernya. Keacuhan Anto pada urusan istrinya kini berhenti. Dilihatnya beberapa file yang diberi judul perih1, perih2, perih3 dan seterusnya. Baiklah, Santi, aku akan membacanya. Mungkin kamu memang menginginkannya, hati Anto berbisik mengingat kebetulan yang terjadi barusan seolah seperti ada yang mengaturnya. Anto berharap dengan membaca tulisan Santi ini ia akan dapat lebih memahami kondisi Santi yang sesungguhnya. Siapa tahu ibunya benar. Santi memang membutuhkan bantuan.
Anto membaca lembar demi lembar. Ia seolah dibawa ke sebuah dimensi dimana hanya ia dan roh istrinya yang ada. Ia pasrah dalam gandengan tangan lembut istrinya yang membawanya berpindah dari waktu ke waktu, mengajaknya melihat kehidupan demi kehidupan yang telah dilalui oleh istrinya. Kesenangan, kesedihan, keterpurukan dan luka datang silih berganti seperti sebuah tayangan film di bioskop. Anto merasa kepalanya berat. Terlalu banyak yang ia tidak mengerti tentang masa lalu istrinya. Kemana dia selama ini? Tubuhnya kini meronta ingin terlepas dari tangan roh istrinya yang terus mengajaknya berkeliling. Kepalanya terasa berputar-putar. Segera ia menutup catatan harian istrinya itu dan mematikan laptop. Keinginannya untuk menulis punah sudah. Tanpa disadari peluh menetes dari keningnya. Sebuah langkah kaki terdengar menuju ke tempatnya duduk.
“Datang jam berapa, Say? Untung tadi bawa kunci pagar dan garasi,”Santi yang terbangun dari tidur menyapanya dalam keremangan lampu kerja di ruangan itu.
“Iya, payah nih jalanan. Makin lama macetnya makin parah,”jawab Anto memperlihatkan kekesalannya.
“Oya, tadi ibu sama bapak kirim salam. Tanya apa semua baik-baik aja”
“Lalu kamu jawab apa?” Santi perlahan mengalungkan tangannya di leher Anto yang masih duduk di kursi di depan laptop.
“Ya aku bilang kalau kita baik-baik saja…” Anto tiba-tiba seperti kehilangan kata-kata untuk melanjutkan kalimatnya. Ia berharap jawaban itu cukup untuk membuat istrinya berhenti bertanya dan segera mengajaknya tidur.
“Aku hari ini dapat beberapa artikel kesehatan untuk pasangan muda yang sedang menginginkan momongan. Aku sudah print untuk kamu baca,”mata Santi sedikit berbinar membicarakan temuannya.
“Iya, Sayang, terima kasih. Aku ngantuk sekali. Besok aku bawa artikelnya ke kantor ya, dibaca disana aja. Udah larut malam, tidur yuk,”Anto kali ini benar-benar kelelahan dan ingin segera istirahat. Ia berharap tayangan bioskop yang baru saja dilihatnya tidak muncul dalam tidurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar