Kamis, 19 Januari 2012

LIMA BELAS


>Apa kabar, Anto…
Santi ragu menjawab sapa wanita di seberang sana yang sepertinya teman lama suaminya. Pagi ini, ia memutuskan untuk menerima saja friend request dari seorang yang bernama Ratri Gunawan tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada Anto. Anto terlihat terlalu lelah semalam. Dan ia mesti berangkat
pagi-pagi hari ini. Biarlah aku terima saja ajakan pertemanan wanita ini. Siapa tahu Anto malah curiga kalau aku tiba-tiba menanyakan siapa wanita ini.
Kabar baik
Santi berusaha mengira-ira sendiri apakah jawabannya cukup pantas dan tidak terkesan kaku. Tapi seandainya terkesan kaku itu wajar, pikirnya. Anto bukanlah pria yang luwes berbicara melalui sarana tulisan seperti ini.
>Aku tidak mengira sama sekali kita akan bertemu disini
J
Cukup emoticon senyum saja, pikir Santi. Terlalu banyak kata dapat membuatnya terjebak dalam ketidaktahuan. Sementara nalurinya terusik untuk mengetahui lebih banyak tentang wanita ini. Karena ia terlihat antusias bertemu dengan suaminya di facebook.
Setelah menunggu sekian detik…
>lagi kerja ya? Maaf ya ganggu. Lanjut nanti sore atau besok pagi aja…
>seneng banget bisa ketemu kamu lagi
Iya nih, lagi agak sibuk
>tahuu..makannya aku pamitJ
Ok, see u…
*
Keesokan harinya pukul 8 pagi.
Santi berusaha berfikir rasional. Bertemu dengan teman lama di facebook pastilah excited. Yang dilakukan wanita yang bernama Ratri ini cukup wajar rasanya. Santi merasakan hal sama saat berjumpa lagi dengan beberapa teman lamanya waktu itu. Ia berusaha membunuh rasa curiga dalam dirinya yang seolah merasakan setiap huruf yang ditulis oleh Ratri untuk suaminya. Huruf-huruf itu seperti menyampaikan sebuah kerinduan yang tidak biasa. Setidaknya, Santi pernah merasakannya sewaktu ia bertemu lagi dengan Budi beberapa waktu lalu. Benarkah nalurinya kali ini? Ataukah dirinya sedang berlebihan?
Ia dan Budi. Kini suaminya dan Ratri. Ia membuang jauh-jauh prasangkanya sebelum akhirnya berkembang menjadi kecurigaan yang tidak beralasan. Santi membatalkan niatnya untuk membuka laptopnya dan memeriksa apakah ada pesan lagi dari wanita yang bernama Ratri ini. Ia memilih untuk berbelanja keperluan rumah tangganya ke sebuah supermarket yang tidak jauh dari rumahnya.
Sebelum bersiap-siap untuk keluar rumah, Santi menyempatkan dirinya untuk memeriksa persediaan makanan di dalam lemari pendingin. Tempat menyimpan sayuran mentah sudah hampir kosong. Dalam freezer ia masih melihat beberapa potong ayam dan udang segar. Kemudian matanya terantuk pada sebuah benda di dalam rak di bagian tengah lemari pendingin. Kadang ia menyimpan agar-agar ataupun cake dengan lapisan krim beku di rak yang ini. tapi ini tidak menyerupai keduanya. Sebuah kotak plastik berisi cairan. Ada potongan tomat hijau didalamnya. Santi meraih kotak tersebut, mengeluarkannya dari dalam lemari pendingin dan membukanya. Ia mendekatkan kotak yang dibukanya itu ke dekat hidung. Hmm…aromanya segar. Santi tahu makanan apa ini.
Ia meletakkan kotak itu seolah enggan untuk menyentuhnya lagi. Kejadian itu lagi-lagi membayangi benaknya. Cibiran Anto akan masakannya. ‘Terlalu asin’, ‘masakan ibu tidak seperti ini’. Santi merasa kejadian itu cukup menjadi kali terakhir dirinya mendapatkan perlakuan semacam itu. Tidak dihargai. Dibanding-bandingkan! Sudikah Anto kiranya ia melakukan hal sama padanya? Hanya karena tidak sengaja menyebut nama Bima yang memperlihatkan penghargaannya pada Irma saja Anto sudah meradang. Berhari-hari komunikasi antara mereka berdua putus. Tidakkah ia dan suaminya sama-sama manusia? Lalu, apa yang bisa menjadi sebab dirinya harus menghargai makanan di dalam kotak plastik ini?
“Ipaaahh…,”Santi segera memanggil Ipah untuk menanyakan keberadaan benda di dalam kotak plastik yang diletakkannya di meja makan.
“Ya, Bu,” Ipah tergopoh menghampiri Santi.
“Bapak bawa garang asem ini waktu pulangnya malam banget itu ya? Waktu kamu nggak bukakan pagar karena bapak bawa kunci pagar sendiri”
Ipah menjawab ragu,”Iya, kali, Bu. Ipah kurang tau. Bapak nggak bilang apa-apa.”
“Ibu mau saya hangatkan sayur ini?”
Santi ragu. Ia tahu masakan ibu Anto memang lezat, tapi hatinya berkata lain. Bayang-bayang cibiran Anto datang lagi. Kebencian kembali memegang kendali perasaan Santi.
“Ngga usah. Nanti saja kalau bapak suruh”
Ipah meninggalkan Santi sendiri. Kini waktunya Santi menulis di kertas kecil apa saja yang perlu dibelinya di supermarket nanti.
*
Didalam taksi yang mengantarnya ke supermarket, Santi melamun sendiri. Pikirannya melayang kemana-mana. Beginikah yang dirasakan oleh seorang ibu rumah tangga? Menghabiskan waktunya di rumah dengan mengerjakan rutinitas harian dan kemudian melamun di sisa harinya? Mencemburui suaminya yang bekerja hingga larut malam dan bila beruntung mendapati dirinya keliru atas kecurigaannya selama ini?
Sepanjang perjalanan Santi melihat beraneka macam wanita seperti dirinya dalam balutan nasib dan kepribadian yang berbeda-beda. Seorang penjual jamu terlihat mengayuh sepedanya dengan beberapa botol jamu yang diletakkan di bagian belakang sepedanya. Santi bertanya-tanya dalam hati. Mengapa perempuan itu berjualan jamu? Apakah benar ia memang suka membuat jamu sebagai kepandaian yang diturunkan dari orang tuanya? Ataukah itu keinginannya sendiri? Mungkinkah ia sebenarnya hanya punya sedikit ilmu tentang meramu jamu yang didapat dari temannya yang juga berjualan jamu dan menggunakannya untuk membantu sang suami menambah penghasilan?
Sekilas seorang ibu dengan tubuh tambun menyeret anaknya yang masih mengenakan seragam sekolah dasar dengan kasar di pinggir jalan. Berbeda dengan teman-teman di kantornya yang mendamba buah hati di usia mereka yang mendekati 40, wanita ini telah diberikan anugerah berupa kemudahan mendapatkan seorang anak. Tapi yang dilakukannya barusan bukanlah seperti seorang yang berbahagia dengan anugerah yang diterimanya. Dimanakah dirinya akan berdiri nanti bila seorang buah hati telah lahir dari rahimnya? Ibu yang membesarkannya tidak atau belum sempat karena kesibukannya, menceritakan betapa indahnya membesarkan buah hati. Yang ia tahu adalah dirinya yang merepotkan, kerap dicap nakal dan sulit dimengerti. Dan lagi, menjadi penengah pertengkaran kedua orang tuanya tidaklah mudah. Meski ia tak menampik kenyataan bahwa terkadang ia memperoleh hadiah karena prestasi yang diraihnya di sekolah.
Taksi yang ditumpangi Santi mulai memperlambat lajunya. Pintu masuk supermarket sudah terlihat. Selagi sopir taksi mengambil tiket tanda masuk, seorang ibu muda seumur dirinya dengan tangkas memasukkan barang-barang belanjaannya ke dalam bagasi mobil, sambil memastikan bayinya  yang berada di dalam kereta bayi disampingnya aman. Seorang anak laki-laki kecil berusia kira-kira 5 tahun tampak sibuk membongkar tas belanja ibunya yang telah disusun rapi di dalam bagasi. Dengan tenang ia membiarkan sebagian tas belanjaannya dibongkar paksa kemudian diaduk-aduk isinya oleh sang buah hati. Sebagian barang belanjaannya bahkan melompat keluar dari tempatnya karena dilempar keluar oleh sang anak. Melihat tingkah lakunya, Santi menduga anak laki-laki ini adalah anak pertama sang ibu muda, dan bayi yang ada di kereta adalah anak keduanya. Tidak ada kesan kesal dan marah dari ibu muda ini. Bagian akhir dari drama satu babak ibu muda dengan dua orang anaknya adalah sebuah pemandangan dimana sang ibu memastikan anak pertamanya aman di dalam mobil, kemudian perlahan ia menggendong bayinya dengan tangan kiri, melipat kereta bayi dengan tangan kanan dan bantuan kaki, kemudian meletakkan bayinya di baby car seat. Tugas selesai. Tanpa sedikitpun kegaduhan.
Santi gemar mengamati beragam tingkah laku wanita disekelilingnya. Menilai-nilai, membandingkan, dan kemudian berandai-andai tentang dirinya sendiri. Apa yang akan dilakukan dirinya seandainya ia harus berjualan jamu dengan sepeda? Dapatkah ia menguasai emosinya yang meluap-luap kala buah hatinya nanti merengek terus minta dibelikan jajan ataupun mengacak-acak barang belanjaannya? Semua ia rangkum dalam kepalanya. Perjalanan berumah tangganya dengan Anto masih jauh. Santi merasa hingga kini dirinya masih saja berada di tahap awal. Tahap dimana ia mencoba mengenal pasangan hidupnya lebih dalam lagi. Ia berharap suatu saat dirinya dapat melangkah lebih jauh dari tempatnya sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar