Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH SEMBILAN

Santi mengemasi barang-barangnya. Pagi ini ia sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Kesehatannya sudah jauh lebih baik. Seorang suster yang pagi itu meletakkan obat-obatan yang harus Santi bawa pulang terlihat lebih segar dari biasanya. Mungkin karena bucket bunga yang ada di tangannya.
“Indah sekali, Suster,” Santi terpesona dibuatnya.
“Ini untuk Ibu,” ujarnya.
“Untuk saya? Wah, bahagianya yang menjadi pasien rumah sakit ini. Di hari terakhirnya mendapat seikat bunga secantik ini,” ujar Santi tanpa melepas pandangannya pada bunga yang ada di tangan sang suster.
“Bukan dari rumah sakit, Bu Santi. Ini dititipkan oleh teman Ibu. Saya hanya membantu menyampaikan saja. Sepertinya teman Ibu terburu-buru, jadi tidak dapat menyampaikannya langsung,” sang suster menerangkan sambil tertawa geli mendengar dugaan Santi tentang hadiah dari rumah sakit.
“Ada ucapan di dalam amplop kecil merah muda ini,” lanjutnya sambil menyerahkan bucket bunga beserta amplop kecil yang dimaksud kepada Santi.
“Terima kasih, Suster,”
Tidak lama setelah sang suster pergi, Santi membuka amplop merah muda itu untuk mengetahui siapa pengirim bucket bunga tersebut.
Senang melihatmu segar kembali…
Budi Susanto
Santi tersenyum kemudian memasukkan kartu ucapan dengan gambar lukisan bunga mawar didalam pot dengan hati-hati. Ia tak ingin membuatnya terlipat atau rusak. Ia ingin menjaganya. Seperti pengirim kartu itu menjaga cintanya selama ini pada Santi.
*
Masih boleh mengajak makan siang?
Sebuah sms diterima Santi sehari setelah dirinya kembali ke rumah Irma. Sebuah perusahaan shipping berskala international mengirimkan surat panggilan untuk test tertulis dan wawancara minggu depan. Santi berharap tak lama lagi dirinya akan mendapat pekerjaan, dan tak perlu menjadi beban Irma lagi. ia memandang sms yang baru saja diterimanya sambil menimbang-nimbang. Minggu depan ia akan disibukkan dengan urusannya ke pengadilan agama serta mengikuti test tertulis dan wawancara. Mungkin minggu ini memang waktu yang tepat untuk berterima kasih pada Budi yang sudah banyak membantunya. Tak lama kemudian sebuah sms diketik di teepon genggamnya sebagai balasan sms dari Budi.
Belum ada yang melarang 
Budi menjemput Santi ke rumah Irma. Irma turut bahagia dengan perkembangan teman dekatnya itu belakangan ini. Wajahnya terlihat lebih ceria semenjak Irma bercerita tentang Budi yang masih saja menanyakan keadaannya hingga kini. Semua orang suka diperhatikan. Perhatian yang diberikan Budi memang datang tepat pada waktunya. Santi sedang membutuhkan dukungan saat ini. Santi perlu merasa yakin bahwa dirinya masih diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya meski mungkin ia berpikir bahwa ia tidak sedang menjalani kehidupan ini seperti apa yang dicita-citakan sebelumnya.
Irma sendiri sesungguhnya sedang bimbang dengan kembalinya Bima di hidupnya. Pria yang sudah cacat di matanya ini bukan hanya mengharapkan dirinya kembali ke dalam pelukannya, tapi juga menjadikan Irma satu-satunya harapan untuk melanjutkan hidupnya. Bima mengaku pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan mengiris nadi di pergelangan tangannya. Bima beruntung karena seorang tetangganya yang kebetulan ingin bertamu ke rumahnya menemukannya dan langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi Irma tidak dapat percaya begitu saja. Luka di pergelangan tangan Bima bisa saja sengaja dibuat beberapa saat sebelum bertemu dengan Irma.
*
Sepanjang jalan, Budi dan Santi lebih banyak diam. Obrolan singkat yang mereka buat lebih banyak membahas tentang pekerjaan, cuaca yang tidak menentu, dan lalu lintas kota Jakarta yang semakin semrawut.
“Jakarta makin lama makin tidak manusiawi untuk wanita bekerja. Berapa jam ia harus meninggalkan rumahnya kalau perjalanan pulang pergi ke kantornya saja sudah 4 jam. Terlebih musim penghujan seperti sekarang ini. Jalanan makin hari makin banyak yang berlubang. Perjalanan yang semula memang sudah memakan waktu kini makin menggila,” Budi berkicau sementara Santi sibuk melamun sendiri.
“Kamu serius dengan rencanamu untuk bekerja?” lanjut Budi berusaha mendapatkan perhatian Santi.
“Iyalah. Aku harus mampu menghidupi diriku dan anakku kelak…” Santi terkejut menyadari ucapannya yang mungkin kurang dipahami Budi.
“Irma sudah bercerita padaku tentang…Anto. Aku turut menyesal. Mengapa semua ini terjadi pada kita”
“Pada kita? Maksudnya?” Santi heran mendengar ucapan Budi yang terasa janggal ditelinganya.
“Ya. Kamu dan Anto, dan aku dan Titin,” Budi menjawab lirih.
“Kamu dan Titin…”
“Kami resmi bercerai…”
“Oh, maaf,” Santi tidak menyangka kenyataan yang dihadapinya ternyata menimpa Budi dan Titin, dua orang teman lamanya yang telah dikaruniai dua orang anak.
“Aku sebenarnya baru mau mengatakan ini padamu nanti…tapi rupanya…”
“Sudah terlanjur. Tak apa. Bagaimana dengan anak-anak?”
“Anak-anak baik. Mereka bersama Titin. Tidak ada yang lebih baik bagi anak-anak kecuali berada di dekat ibunya. Aku sering rindu pada mereka. Tapi kami berpisah baik-baik. Titin masih mengizinkanku untuk menengok dan mengajak anak-anak bermain”
Budi terlihat bahagia kala menceritakan tentang anak-anaknya.
“Kehidupan pernikahan memang penuh misteri. Aku dan Titin tidak pernah menyangka pernikahan kami akan berakhir begini. Tidak ada orang ketiga, bukan karena masalah finansial, dan…ah, kamu pasti bosan mendengarnya. Macam kisah perceraian artis saja,” Budi tersenyum mengingat betapa dirinya telah bertingkah layaknya presenter infotainment di hadapan Santi. Tapi semua yang dikatakannya benar adanya. Entah apakah Titin menyembunyikan sesuatu darinya, tapi sepanjang ia tahu, kesenjangan komunikasi antara dirinya dan Titin memang sudah berlangsung lama. Saat masalah timbul dalam keluarga mereka, bukan kedekatan yang terbentuk, tapi jurang yang sudah ada bertambah dalam. Kesibukan Budi dan Titin sehari-hari di tempat kerjanya telah membuat mereka melupakan hal-hal sederhana yang dapat dilakukan untuk saling menyentuh hati masing-masing, seperti makan malam bersama, bercerita untuk anak-anak menjelang tidur, ataupun sekedar menanyakan kabar masing-masing di sela-sela kesibukan di kantor.
Budi merasa perpisahannya dengan Titin justru membuat mereka kini lebih dekat ke anak-anak yang telah lama haus akan kasih sayang mereka. Tapi keraguan untuk terus hidup bersama terlanjur telah menjalar di pikiran Budi dan Titin. Perpisahan adalah hal terbaik yang dapat mereka tempuh saat ini.
Santi terus mendengarkan kata demi kata yang mengalir dari bibir Budi hingga akhirnya mereka berdua tiba di sebuah rumah makan Sunda di kawasan Jakarta Barat.
Selesai memilih menu favorit masing-masing, Budi melirik jam tangan miliknya.
“Mesti buru-buru ke kantor ya?” Santi berusaha menebak pikiran Budi dari gesture tubuhnya.
“Ngga juga. Aku udah titip kerjaan kok sama temen seandainya sampai di kantor terlambat”
“Kalau kamu tidak punya banyak waktu, kita bisa makan makanan ringan saja. Kalau kamu lapar, makan siangnya dibungkus saja untuk dimakan di kantor nanti,” ujar Santi penuh pengertian.
“Ngga apa-apa. Jangan risau gitu dong. Aku udah menantikan hari ini, Santi…”
Santi memperbaiki posisi duduknya. Ia sedikit ragu apakah dirinya kali ini mampu menerima keadaan dirinya yang sedang berdua dengan seorang yang jelas ia tahu telah lama menanti hatinya.
Tanpa berkata-kata, Budi mengeluarkan kotak mungil dari saku celananya. Kotak berwarna keemasan dengan hiasan pita indah diatasnya.
“Aku tidak memintamu untuk memejamkan mata…”
“Aku hanya ingin kau membuka kotak ini sebagai jawaban ‘ya’, dan membiarkan kotak ini tertutup sebagai jawaban ‘tidak’…”
“Budi, sebelum aku menentukan sikapku, bolehkan aku bertanya?”
“Sure!,” jawab Budi yakin.
“Seberapa yakin kamu dengan perasaanmu saat ini?”
“Seyakin aku mencari celah untuk mendapatkan sinar rembulan di waktu malam”
Santi tersenyum bahagia. Ia merasa nyaman kali ini. Kini tak ada lagi kekhawatiran seperti saat dirinya pertama kali bertemu dengan Budi. Tak ada pula rasa bersalah perasaan yang telah lama tersembunyi. Apapun keputusan yang diambilnya sekarang, akan ia jadikan saat yang berharga dalam hidupnya.
Ia telah berbeda. Pengalamannya berhalusinasi hebat di rumah sakit menyadarkan dirinya bahwa ia telah terlalu jauh meninggalkan dunia spiritual yang telah membimbingnya sejak kecil. Di hari kedua dirinya bermalam di rumah sakit, ia meminta bantuan Irma untuk mengambil sajadah dan mukena yang terlipat rapi di dalam kopernya. Kedua benda yang telah sekian terkubur di dalam lemari pakaiannya. Menantinya untuk suatu saat disentuh dan dinikmati oleh sang empunya. Seperangkat alat sholat tunai yang diserahkan Anto dihari pernikahan mereka. Dua buah benda yang telah lama menjadi simbol dalam ijab kabulnya. Sebuah tanda tanpa makna dalam hidupnya kecuali sebagai ‘hadiah pernikahan’. Gemetar tangan dan kakinya saat ia kembali mengambil air wudhu di rumah sakit. Meski telah lama ia tidak melakukannya, tangan dan kakinya dengan lincah menuntunnya untuk segera mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi. Ia merasa nikmat saat itu. Sangat nikmat. Ia menengadah dan memohon. Meratap dalam bahagia. Ia harus menjadi pemenang, terhadap segala keinginannya untuk menjauh dari dunia spiritualnya. Dan ternyata, ia mampu. Kini Anto tidak lagi disisinya. Namun makna ‘hadiah pernikahan’ itu telah ditemukannya sendiri. Dalam sepi hatinya, ia merasa direngkuh dan diraih oleh kedamaian yang telah lama tidak dirasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar