Selasa, 31 Januari 2012

SEMBILAN BELAS

Anto menemukan rumahnya dalam keadaan sepi. Tidak seperti biasa. Pukul 8 dirinya baru tiba di rumah sepulang kerja. Ipah, pembantunya, mempunyai kebiasaan tidur sebelum pukul 9 malam. Selesai menutup garasi dan pintu pagar untuk Anto, ia langsung masuk ke kamarnya. Anto menangkap keheningan kala memasuki ruang keluarga. Dilihatnya televisi yang sehari-hari menemani dirinya dan Santi merenung sendirian.
Anto mengira Santi sudah tidur. Tidak mungkin ia berada di kamar kerja, tempat dimana Santi terkadang melepas jenuh dengan membuka-buka situs internet. Dia tidak ada disana. Anto melihat lampu kamar tersebut mati. Saat dirinya menaiki anak tangga yang menuju kamar tidurnya, dirinya dapat mendengar anak-anak tangga itu berderak saat diinjak. Apakah biasanya anak tangga ini memang menimbulkan bunyi setiap kali diinjak? Anto sangsi dengan dirinya sendiri. Kini, ia pun sangsi dengan pendengarannya. Mungkinkah ia sedang berhalusinasi? Ia berusaha mengingat-ingat apa saja yang masuk ke dalam perutnya seharian ini. Adakah sesuatu membuat dirinya seperti sekarang ini?
Kamar tidurnya kosong. Anto berusaha tenang ditengah keganjilan yang tengah ia rasakan. Setelah meletakkan tas kerjanya di dalam kamar tidur, ia segera turun dan memanggil Ipah. Ia tahu Ipah kemungkinan sudah terlelap. Tapi ia tak perduli. Ia memerlukan jawaban yang tak dapat ditunda.
“Ibu kemana?”ujarnya pada Ipah.
“Tadi sore ibu pergi naik taksi. Ibu ngga sms bapak?”
“Ngga, Pah. Ibu bilang pergi kemana?”
“Ngga bilang, Pak. Ibu bawa koper tadi…”
“Koper? Koper yang besar?”
“Iya”
Anto kalut. Tanpa bertanya lebih banyak lagi pada Ipah, ia berlari menuju kamar tidurnya. Dan benar. Hampir semua pakaian Santi tidak ada lagi di dalam lemari pakaian. Koper besar yang dimaksud juga tidak ada di tempatnya.
Spontan dirinya ingin bertanya. Tapi pada siapa? Tidak mungkin kepada kedua orang tuanya ataupun orang tua Santi. Apa jadinya kalau ternyata Santi tidak ada disana? Mereka akan menyalahkan dirinya. Seorang suami yang tidak tahu menahu kemana istrinya pergi adalah lelaki yang tidak dipercaya oleh keluarganya. Tidak. Anto tidak ingin itu terjadi. Ia tidak menyimpan nomor telepon genggam Irma yang baru. Yang lama saja kalau Santi tidak memaksanya untuk menyimpan, ia tidak pernah ingin menyimpannya. Di saat seperti ini Anto baru merasakan betapa dirinya berjarak dengan kehidupan yang mengitari istrinya. Teman kantor Santi yang cukup dekat setahu Anto adalah Tamara. Tapi terakhir Santi bercerita, Tamara telah pindah ke luar negeri untuk mengambil gelar Master disana. Ugh! Anto tidak mungkin diam menanti kabar. Kalau kabar baik yang diterima…kalau buruk?
Anto sibuk berjalan mondar-mandir sambil berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Melapor ke polisi tidak akan membantunya. Polisi tidak menerima laporan kehilangan kurang dari 24 jam. Dan lagi, istrinya tidak hilang, tapi pergi. Pergi tanpa sepengetahuannya. Ia menyesal telah menceritakan perihal Ratri kepada Santi. Namun menurutnya, kebohongan tidaklah ada gunanya di situasi seperti kemarin. Saat istrinya bertanya dengan antusias perihal masa lalunya. Setiap orang punya masa lalu. Santi mestinya menanggapinya secara wajar. Toh, tidak ada yang berubah dari dirinya. ia tetap mencintai Santi seperti yang telah terjadi kini. Mengayuh bahtera rumah tangga bersama.
Di tengah kekalutannya, sebuah sms diterima oleh telepon genggamnya. Santi! Sms dari Santi!
Aku di rumah ibuku. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Garang asem oleh-oleh bu Wirya sudah aku makan. Kamu benar, aku memang belum bisa memasak seenak itu. Tolong lanjutkan hidupmu seperti biasa. Aku belum tahu kapan akan pulang ke rumah.
Anto merasa ada yang tidak beres dengan redaksi kalimat Santi barusan. Itu memang gaya bahasanya. Tapi ia tidak akan seketus itu jika hanya karena pengakuan Anto kemarin. Santi bahkan masih bisa tersenyum tipis selama mendengarkan cerita Anto tentang Ratri. Sementara sms Santi kali ini melukiskan lebih banyak luka, kecewa, dan sakit hati. Anto ingin tahu sebabnya.
*
Sayang, istri Rinto menitipkan kue buatannya lagi ke aku. Kue kesukaanmu.
Anto memandang sms yang ia kirim ke telepon genggam Santi pagi tadi. Sekarang jam dinding di kantornya telah menunjukkan pukul 12 siang. Belum ada jawaban dari Santi. Anto berharap dalam kekalutan seperti apapun, Santi tidak mengambil sikap yang drastis, seperti berbohong kepadanya tentang keberadaannya di rumah ibunya, ataupun nekat kabur dari rumah ibunya hari ini.
Bohong? Ia lah yang berbohong pada Santi. Kue yang diberikan Rinto padanya hari ini sengaja dipesannya untuk menarik minat Santi pulang ke rumah. Naïf kelihatannya. Tapi itulah yang ada dipikirannya saat ini. Mungkin sejatinya ia memanglah senaif itu. Kemarin, saat Santi menanyakan tentang Ratri, pikirannya melayang ke beberapa tenggat waktu dimana dirinya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Di kantor, ia sempat dipergoki anak buahnya sedang tersenyum sendiri. Ah, cinta pertama itu…tidak salah kalau sekian banyak lagu dan kisah legendaris mengambil tema cinta pertama. Cinta pertama tidak selalu dapat teraih. Cinta pertama lebih kepada pemberian sensasi yang mungkin sulit untuk dilupakan. Kini lembaran baru bersama Santi telah dibuka. Santi memang bukan cinta pertamanya. Tapi Santi lah yang membuatnya merasa mempunyai tempat tersendiri dalam hidup berumah tangga, dengan caranya sendiri. Dan kini, wanita yang memberinya kehidupan baru itu pergi. Anto berharap kejadian tadi malam hingga kini hanyalah mimpi. Seseorang harus dapat membangunkannya dari mimpi buruk ini.
Selama jam istirahat, Anto terus tinggal di ruang kerjanya. Beberapa tawaran makan siang diluar kantor ditolaknya. Dengan alasan sedang kurang enak badan. Ia khawatir raut mukanya lebih nampak sebagai lelaki yang tengah kalut dengan masalah ketimbang karena kurang enak badan.
Anto memilih untuk menyibukkan diri di meja kerjanya. Mengaduk-aduk deretan kartu nama yang ada di album kartu nama, kotak kartu nama, dan bahkan di dalam dompetnya. Yang dicari tak kunjung ia temukan. Ia makin penasaran. Seingatnya, nama dan nomor telpon yang sedang dicarinya tertulis di balik sebuah kartu nama rumah makan. Catatan itu memang telah membatu bila diukur dari usia kartu-kartu nama yang tersusun rapi di mejanya. Tapi Anto merasa yakin bahwa ia masih menyimpannya.
Anto berdiri dan menghampiri Yuli, asistennya. Mungkin Yuli tahu atau paling tidak pernah melihat kartu nama itu. Dibalik kesan cuek yang selalu ditampilkannya, menurut Anto, Yuli adalah sosok yang yang dapat dipercaya dalam hal mengingat-ingat tempat, nomor telepon, dan nama orang. Ia adalah pujaan hampir setiap manajer yang membutuhkan data-data customer yang pernah berhubungan dengan department dimana Anto dipercaya untuk memegang kendali. Ia juga menyimpan beberapa kotak kartu nama Anto yang sudah tidak muat lagi di letakkan di mejanya.
“Yul, di kotak kartu namamu ada kartu nama rumah makan Rajo Minang, ngga?”
“Bapak mau pesan makanan? Bukannya biasanya ke Salero Bundo?” ujar Yuli mengingatkan.
“Bukan mau pesan makan, Yul, lagi cari nama sama nomor telpon yang tertulis di balik kartu nama itu…”ujar Anto kesal.
“Ohh…catatan nomor telpoooonn…sebentar ya Pak,” Yuli mulai sibuk membuka kotak kartu nama simpanannya.
“Boleh tahu nama yang Bapak cari? Ada beberapa kartu nama rumah makan padang disini. Siapa tahu Bapak lupa nama rumah makannya…”
Anto melihat ke kanan kirinya sebentar, sebelum akhirnya membisikkan sebuah nama kepada Yuli,”Nama yang saya cari Ratri Gunawan…”
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar