Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH DUA

Langit biru yang menaungi pantai di wilayah Jakarta utara itu cerah. Biru kelabu. Asap pabrik dan kendaraan telah turut menghiasi langit di atas Jakarta entah sejak kapan. Seingat Anto, hari pertama dirinya menginjakkan kaki ke tempat ini bersama perempuan yang berdiri di sebelahnya kini, langit diatas sudah berwarna keabuan.
“Kamu masih suka melihat langit?” perempuan di sebelahnya mengomentari pandangannya yang seperti menerawang memandang langit.
“Suka lah. Masih. Cuma langit yang dapat membaca suasana hati kita. Atau kitalah yang sesungguhnya melukiskan perasaan di atas awan kapasnya?” Anto berkata tanpa melepas pandangannya dari langit.
“Istrimu tahu kamu suka berpuisi?” kembali suara di sebelahnya bertanya.
“Entahlah. Belakangan ini kulihat ia sering menulis sesuatu di laptop yang ada di ruang kerja rumah kami”
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku…”
“Maksudmu?” Anto mencari penegasan. Wanita gemar mengajaknya berteka-teki pikirnya.
“Yang aku ingin tahu apakah kamu sering mengirim puisi atau kata-kata indah untuk istrimu? Seperti yang kamu lakukan dulu padaku?”
“Pentingkah itu buatmu?” Anto tidak ingin menjawab.
Hening.
“Apa kabar Wirendra?”
“Dia? Baik”
“Mengapa aku tidak boleh menengoknya?”
“Istrimu sudah menengoknya…”
“Sekarang kamu yang tidak menjawab pertanyaanku…” Anto mendesah perlahan. Ia lelah dengan kebuntuan yang diciptakan oleh perempuan ini.
*
“Santi, mulai sekarang kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu. Orang hamil itu tidak boleh sembarang meminum obat. Tidak semua obat pengurang rasa sakit, obat flu atau obat sakit kepala aman untuk wanita hamil. Dulu, ibu waktu hamil kakakmu pernah salah minum obat sekali. Dokter kandungan yang memeriksa ibu marah waktu itu. Salah mengkonsumsi obat selama hamil itu masalah serius, Nak…”
Santi memperhatikan tiap patah kata yang diucapkan ibunya. Mencoba merasakan kekhawatiran orang yang melahirkannya. Wajahnya serius, tapi hatinya tersenyum. Meski penjelasan sang ibu terkadang seperti berlebihan, tapi di luar itu semua ia merasakan pelukan hangat dari tiap kalimat yang meluncur dari bibir sang ibu.
Di hari kedua Santi tinggal di rumah ibunya, ia merasa dirinya sedikit demi sedikit diajak melihat berbagai hal yang dulu hanya tampak sebagai salah satu dari dua warna, hitam atau putih. Sekarang mereka menyatu, membaur dalam kombinasi indah yang menyejukkan hati. Suara ibunya yang dulu ditelinganya mirip dengan suara petir yang menyambar-nyambar, sekarang lebih mirip lantunan musik klasik yang menina bobokkan. Hormon yang diproduksi oleh tubuhnya saat ini membutuhkan belaian indah yang kini didapatnya dari sang ibu. Mereka kini lebih banyak berbincang bersama. Merangkum kenangan indah kala segalanya tampak begitu menakutkan. Bercanda ria sambil memasak makanan kesukaan mereka berdua. Perlahan perih didadanya terobati. Ia membutuhkan suasana disini. Kini Santi tidak punya keberanian untuk pulang.  
“Santi..,”ucap ibunya tepat di hari ke-5 dirinya menyegarkan pikirannya di rumah ibunya.
“Kalau kamu belum siap untuk bercerita pada ibu tentang Anto, tidak apa-apa. Ibu bisa mengerti. Dulu ibu juga tidak selalu bisa berterusterang pada orang tua ibu. Itu hak kamu sepenuhnya, Nak”
“Diluar itu semua, ibu ingin kamu mengerti bahwa tidak semua yang terlihat di depan mata kita, yang dapat kita rasakan secara langsung adalah yang sesungguhnya terjadi. Kehidupan di kota besar seperti Jakarta ini memang menghendaki segalanya berjalan dengan cepat. Akibatnya, tidak banyak orang mau memanfaatkan sebagian waktunya untuk merenung dan berdiam diri. Lebih tepatnya mereka tidak sempat. Itu awalnya. Lama kelamaan mereka menganggap tidak sempat itu sebagai sebuah kewajaran. Kewajaran yang akhirnya menjadi boomerang bagi kehidupan mereka sendiri. Kamu mengerti maksud ibu?”
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” Santi mencoba menelaah ucapan ibunya sambil menempatkan tiap bagian dari nasihat ibunya tadi dalam kehidupannya bersama Anto.
“Pulanglah segera ke rumah. Sama seperti ketakutan yang mungkin muncul dalam dirimu waktu rumah ini mungkin membawa berjuta mimpi buruk bagimu, menghadapinya adalah hal terbaik yang dapat kamu lakukan”
“Ibu tidak mengerti…,” ucap Santi lemah.
“Ya. Ibu tidak mengerti. Ibu juga merasa kamu belum sepenuhnya mengerti. Banyak orang menyimpulkan hidupnya terlalu cepat, Santi… Ah, sudahlah, coba kamu renungkan sekali lagi hidupmu dan suamimu malam ini. Ibu mau merapikan tanaman yang sudah mulai tidak beraturan tumbuhnya di pekarangan depan”
Santi mengikuti kemana ibunya pergi. Ia tak ingin sendiri. Tubuh dan jiwanya perlu pendamping saat ini.
*
Irma kini tak lagi identik dengan suasana kafe di dalam mal. Ia lebih suka meluangkan waktu menonton galeri lukisan dan membaca buku.
“Aku merasakan suasana yang berbeda setiap kali berada diantara lukisan-lukisan minyak itu. mereka seolah bercerita padaku. Cerita yang mungkin hanya dapat didengar oleh orang-orang sepertiku. Manusia-manusia dari jenis tertentu, yang rela membiarkan dirinya larut dalam keheningan”
“Begitu juga dengan membaca buku. Aku kini dapat merasakan setiap tokoh dalam buku yang aku baca bernyawa. Terkadang mereka mengajakku masuk ke dunianya. Bermain, bersenang-senang dan menangis bersama.”
Kini Irma mengajak Santi mengobrol di taman kecil yang berada di bagian belakang rumah orang tua Irma. Ada kolam mungil dengan ikan mas koi di dalamnya. Gemericik air yang mengalir di kolam itu berpadu dengan kecipak sirip ikan di dalamnya menambah kenyamanan duduk berlama-lama disampingnya.
“Kapan kamu akan pulang?”
Kalimat yang meluncur dari mulut Irma barusan membuat Santi terbangun dari lamunannya.
“Eh, uh, besok pagi mungkin”
“Kamu masih berniat melanjutkan sisa hidupmu dengan Anto?” Ucapan Irma terasa menebas lehernya.
Santi semula tidak berniat menceritakan kemelut keluarganya ke Irma. Semenjak Irma sulit dihubungi saat pikirannya kalut dan berniat meninggalkan rumah, Santi mulai membiasakan diri untuk menghadapi segala persoalan seberat apapun itu dengan dirinya sendiri. Tapi ia mengurungkan niatnya saat menyadari bahwa dirinya dan Irma entah bagaimana ditakdirkan mengalami kemelut yang serupa namun tidak sama. Serupa kalau melihat dampaknya dalam membuat luka di hati mereka masing-masing. Tak sama bila melihat orang ketiga yang hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Tanpa ragu, Santi membeberkan semua kisah yang dialaminya mulai dari perkenalan dirinya dengan Ratri di facebook, hingga ajakan Ratri untuk menemui buah hati Ratri dan Anto di sebuah panti asuhan.
“Makin hari aku makin bisa merasakan luka yang dialami oleh Ratri, Irma…”
“Aku tidak mengira sama sekali lelaki yang aku nikahi selama ini ternyata seorang yang tidak berhati. Tiap malam, apa yang diceritakan Ratri padaku mengiang-ngiang di telingaku…”
“Aku tidak mungkin melanjutkan kehidupanku dengan pria macam itu, Irma!”
Irma memandang iba pada Santi.
“Tapi kamu hamil”
“Aku akan menghidupi anakku sendiri. Kembali bekerja dan menafkahi hidupnya hingga ia mandiri nanti. Cukup aku yang merasakan perih ini. Tidak dengan anakku. Ia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” sahut Santi tegas.
“Bukankah perpisahan dalam rumah tangga adalah hal yang ingin kamu hindari sejak awal menikah dengan Anto? Masalah yang kamu hadapi berbeda denganku, Santi. Ratri adalah masa lalu Anto. Banyak hal yang harus diklarifikasi dari kasus Ratri dan Anto. Anto bukan Bima yang ternyata gay,” Irma menampakkan ekspresi jijik ketika menyebut manusia jenis apa lelaki yang dinikahinya.
“Ada banyak hal dapat ditoleransi, Irma. Dan sisanya adalah tidak”
“Anto telah meninggalkan istri dan anaknya. Apapun itu alasannya!”
Irma memeluk Santi. 
Keduanya menghabiskan sisa hari itu di tepi kolam. Mendengar dan memaknai riak air yang tercipta dihadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar