Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH LIMA

Santi mendesah. Mengapa semuanya datang sebagai potongan puzzle yang tidak menyatu satu sama lain. Sebuah bentuk yang harusnya saling melengkapi ternyata masih saja menyisakan lubang yang mesti kembali diisi dengan potongan yang lain. Yang belum ditemukannya hingga kini, saat dirinya sudah hampir mantap dengan keputusan yang dibuatnya.
Semalam ia tertidur di ranjangnya setelah air matanya kering. Apapun yang dikatakan Anto tidak akan merubah pendiriannya. Bisa saja Anto lebih jujur ketimbang Ratri. Tapi Santi sudah terlanjur merasa dikhianati. Tidak ada yang dapat ia percaya kecuali dirinya sendiri.
Pagi ini saat Santi terbangun dari tidurnya, Anto telah berangkat ke kantor. Seolah tidak ada hal istimewa yang terjadi di rumah itu. Mungkin Anto sudah pasrah dengan segala kemungkinan yang akan dibuatnya untuk masa depan hubungan mereka, pikir Santi. Ipah, beraktifitas seperti biasa. Uang belanja berlebih yang diberikan Anto selama kepergian Santi dikembalikannya ke Santi.
Penuh haru, Ipah berkata,”Saya mah pilih bingung mau belanja apa menuruti keinginan Ibu dan Bapak yang berbeda, dari pada setiap hari dapat uang belanja berlebih dan sudah tahu harus belanja apa tapi Ibu tidak ada di rumah.”
“Memang apa istimewanya saya sih?” ujar Santi terkesan oleh ucapan Ipah, pembantunya yang lugu itu, barusan.
“Ada dan tidak ada seorang Ibu di sebuah rumah tangga itu bedanya banyak, Bu…”
“Saya sejak kecil sudah ditinggal oleh ibu saya. Dia pergi meninggalkan saya dan bapak saya begitu saja. Sejak saat itu, saya menjadi malas belajar. Bapak saya bilang kalau saya mau meneruskan sekolah, dia pasti usahakan segala cara untuk mendapatkan biayanya. Tapi…ya begitulah, saya malas. Rasanya gimana gitu, Bu, kalau rumah nggak ada ibunya… Seperti ada sinar matahari tapi nggak bisa dirasakan kehangatannya…,” mata Ipah berkaca-kaca.
Santi tidak menyangka sama sekali Ipah akan berkata seperti itu di depannya. Kehangatan.. Kehadiran seorang ibu… Ah, Ipaah, Ipah… betapa naluri setiap manusia adalah sama, tidak perduli ia berada di kelompok yang mana ataupun tingkat pendidikan setinggi apa.
Santi teringat pertama kali dirinya bertemu dengan Ipah. Tukang sayur langganannya di perumahan itu yang mengenalkan Ipah dengannya. Ipah datang ke Jakarta hanya membawa 2 lembar pakaian di dalam tas lusuhnya. Ia adalah keponakan si tukang sayur. Dari pada Ipah tidak ada kepastian nasib di kampungnya, lebih baik dia bekerja di kota, jadi pembantu rumah tangga, begitu menurut pendapat tukang sayur langganan Santi. Informasi yang diterima Santi waktu itu, orang tuanya sudah tidak ada, yang ditafsirkan santi sebagai meninggal dunia. Sekarang baru Santi tahu bahwa orang tuanya bukanlah meninggal dunia, tapi pergi meninggalkannya sendiri.
Santi baru tersadar betapa setelah lebih dari 12 bulan, dirinya baru mengetahui latar belakang keluarga Ipah. Pembantunya yang begitu setia ini memang jarang bicara. Tapi itu tidaklah cukup untuk dijadikan alasan bagi Santi atas jarak yang diciptakannya selama ini dengan manusia lugu yang telah membisikkan sebuah pelajaran berharga yang mungkin tidak akan ia dapatkan dari mulut seorang dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih tinggi.
“Ipah, kamu lulus SMP?”
“Saya? Lulus SMP? Mau sih, Bu. Tapi ya itu tadi…ibu saya pergi dari rumah waktu saya kelas 1 SMP. Jadi ya sampai disitu saja pendidikan saya…”
Ya Tuhan, bisik Santi dalam hati. Lalu bagaimana aku akan mengatakan kepergianku padanya? Ia akan kehilangan sandaran yang mungkin baginya begitu berharga.
Santi merasa ada yang hilang dari dirinya. Melayang meninggalkan tubuhnya dan mengikuti kemana Ipah pergi. Ia ingin ada seseorang yang dapat menjelaskan padanya mengapa baru kali ini ia merasa begitu berharga. Dirindukan oleh seorang wanita kampung yang tidak selesai mengenyam pendidikan SMP bukanlah hanya sebuah keharuan. Tapi ‘penghargaan’. Ia sudah tidak ingat berapa kali kenaikan gaji diterimanya selama bekerja. Berapa banyak penghargaan dalam bentuk hadiah-hadiah mahal diterimanya dari tempatnya bekerja dulu. Itu semua tidak pernah menghantam perasaannya sekeras ini. Ia ingin memeluk Ipah. Tapi diurungkannya. Santi telah mantap dengan keputusannya untuk berpisah dengan lelaki yang telah mempermainkannya. Dan ia ingin semua berjalan lancar. Ia tak ingin peluk dan tangisnya untuk Ipah menimbulkan kecurigaan tersendiri pada Ipah. Membuat Ipah kembali menemukan kata-kata magis untuk mengurungkan niatnya. Ipah dimata Santi kini telah menjelma menjadi semacam paranormal yang pantas ditakuti. Santi menggeleng-gelengkan kepala, menyadari betapa semua orang disekitarnya telah mengajaknya bermain-main dengan hati dan perasaannya.
Kini yang ingin dilakukan Santi adalah mengemasi barang-barangnya kembali, seperti seminggu yang lalu. Ditambah beberapa dokumen penting untuk menuntaskan urusannya ke pengadilan nanti. Santi bimbang, dimana sebaiknya ia tinggal. Di rumah ibunya kah, atau di rumah Irma saja?
Belakangan ini kedekatan Santi dengan ibunya telah mengalahkan ego untuk terus menerus merasakan trauma pertengkaran yang berujung perceraian kedua orang tuanya. Menghanguskan semua kenangan buruk tentang bagaimana ia selalu merasa tidak dikendaki kehadirannya di muka bumi ini oleh kedua orang tuanya. Tetapi, keputusan yang dibuatnya kali ini bisa jadi justru akan melukai hati ibunya. Santi sungguh kehilangan rasa percaya diri. Ia tahu seburuk apapun perpisahan yang terjadi pada orang tuanya, itu tidak berarti orang tuanya merelakan anaknya mengalami nasib yang serupa. Tinggal di rumah Irma sementara waktu mungkin lebih baik. Mengingat Irma tinggal di sebuah pavilion di sebelah rumah orang tuanya. Tidak tinggal serumah, sehingga tidak perlu merasa kikuk.
Santi segera menghubungi Irma yang menyambutnya dengan tangan terbuka kehadirannya.
“Ngga usah sebut berapa hari kamu akan menginap disini. Sampai seluruh urusanmu selesai, rumah ini akan selalu terbuka untukmu,” Irma mengakhiri ucapannya di telepon.
*
Aku tidak pernah mengira bahwa saat-saat terakhirku di rumah ini justru akan penuh terisi oleh sebuah pertanyaan : bagaimana caranya berpamitan pada Ipah. Ya, Ipah yang itu. Yang pembantu itu. Yang dengan caranya sendiri telah membuat majikannya bertekuk lutut. Ada baiknya catatanku kali ini aku isi sedikit kisahku dengan Ipah setahun belakangan ini.
Ipah. Hingga kini aku tidak pernah tahu nama lengkapnya. Maksudku nama lengkap sesuai akte lahirnya. Ia datang ke Jakarta tanpa tanda pengenal apapun! Tanpa selembar ijazah pun karena memang ijazah yang ia miliki belum bisa membantunya untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak seorangpun lulusan sarjana akan menempuh resiko sebesar itu untuk pergi ke Jakarta. Gelar sarjana telah memberi manusia tingkat kewaspadaan tertentu yang tidak jarang turut memberikan andil dalam menebas habis intuisinya akan suatu tantangan yang harus dihadapi.  
Kalau ditanya ia berkata bahwa namanya Saripah. Aku tidak dapat percaya begitu saja. Tapi untuk apa mempermasalahkan nama. Ditengah kesulitan memperoleh pembantu yang dapat dipercaya, Ipah datang bak air hujan turun di musim kemarau. Aku dan Anto waktu itu langsung menyetujui tawaran tukang sayur langganan kami. Yang dibutuhkan dari seorang pembantu oleh majikannya adalah kemampuan bekerja dan kejujuran. Nama tidaklah terlalu penting.
Di hari pertamanya bekerja di rumah ini ia langsung menunjukkan kemampuannya membersihkan rumah dan memasak. Aku dan Anto dibuat heran dengan ketangkasannya bekerja. Ia seperti wanita paruh baya yang telah membaktikan hidupnya pada pekerjaan rumah selama lebih dari 30 tahun. Waktu ditanya, ia hanya berkata bahwa orang tuanya membiasakan dirinya melakukan semua pekerjaan rumah. Dengan jawaban singkatnya waktu itu aku hanya mengangguk untuk kemudian tidak pernah menanyakan lagi perihal kehidupannya di kampung. Bagiku waktu itu, bekerja di rumahku adalah kewajibannya. Aku tidak perlu tahu dari mana sesungguhnya kemampuannya itu dia dapat, atau bagaimana latar belakang keluarganya sehingga anak semuda dirinya diharuskan mengerti semua pekerjaan orang tua. Aku tidak merasa bahwa itu istimewa. Hari-hariku banyak dikuras habis oleh tekanan pekerjaan dalam hiruk pikuk kota Jakarta.
Ipah, dengan caranya sendiri selalu berhasil mempelajari semua hal baru yang belum diketahuinya dengan cepat. Seperti misalnya penggunaan mesin cuci satu tabung yang kami miliki, ataupun membersihkan perabot kami yang terbuat dari kuningan dan kristal. Ipah tak meminta bayaran mahal. Standart pembantu rumah tangga biasa. Bahkan setelah aku bandingkan dengan beberapa pembantu yang bekerja di rumah tetangga, gaji Ipah terbilang rendah. Lagi lagi, aku merasa bahwa itu adalah keuntungan bagiku. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tidak ada yang istimewa.
Oya, Ipah berasal dari sebuah desa yang aku kesulitan mengingat namanya. Yang pasti tidak jauh dari Sukabumi. Menurutnya, ayahnya adalah orang Jawa Tengah sedang ibunya adalah orang Sukabumi. Asal usul yaitu tempat tinggal, umur, gaji yang diminta, dan keturunan orang mana dan mana adalah sedikit data yang aku ingin ketahui sebelum dirinya bekerja di rumah ini.
Perihal yang baru dikatakannya pagi ini serasa bagai perkenalan keduanya padaku. Aku bisa menyebut diriku mengenalnya setahun yang lalu. Meski harus kuakui bahwa aku baru saja mengenal jati dirinya pagi ini. Mengenal keberadaan dirinya sebagai manusia yang telah merangkul hati dan asaku.
Aku sedemikian kehilangan kata-kata untuk berpamitan padanya. Untuk sekedar mengatakan bahwa ‘aku akan pergi, tapi kita masih mungkin bertemu lagi’.
Akhirnya, kuputuskan untuk berkata langsung padanya tanpa redaksi yang kupersiapkan terlebih dahulu. Makin lama aku memikirkan bagaimana harus berkata padanya, makin sulit aku memulainya. Awalnya aku coba memancingnya dengan kalimat ‘kalau Ipah ngga kerja sama ibu lagi, suatu hari nanti, Ipah kepinginnya kerja sama majikan yang seperti apa’. Lama ia tak menjawab, hingga sebuah kalimat yang berisi keraguan keluar dari bibirnya ‘maksud ibu apa, firasat Ipah kurang enak nih’.
Sayangnya, aku bukanlah seorang majikan yang pandai bersandiwara. Mau tak mau, kuungkapkan maksud dari pertanyaanku yang sesungguhnya, yaitu ‘ibu nggak lama lagi tinggal disini. Ipah ngga apa-apa kan?’. Dan seperti yang kuduga sebelumnya, air mata menetes begitu saja ke pipinya. Ia diam, tidak berkata apa-apa, hanya sibuk menyeka air matanya. ‘Ipah…Ipah nggak tau harus kemana, bu’ suaranya lirih disela isak tangisnya. Kupeluk Ipah segera. Enggan rasanya kusudahi berbagi air mata dengannya. Air matanya membasahi bajuku dan entah ia merasakan atau tidak kalau air mataku tak henti membasahi bajunya.
‘Ipah tidak harus pergi kemana-mana. Ipah masih diperlukan disini. Membantu bapak’ kataku. Ia memperhatikanku. Wajahnya bertanya-tanya apa yang sesungguhnya telah terjadi. ‘Bapak masih disini, Pah, hanya ibu yang pergi’ aku menjawab suara bisu yang dipancarkan lewat wajahnya. Mengertikah gadis 16 tahun ini akan kata-kataku barusan? Ah, ya, ia pernah mengalaminya dulu. Apakah orang tuanya juga mengatakan hal yang sama dengan yang kukatakan barusan? Demi melihat ekspresi lugunya, aku merasa pantas dilaknat Tuhan untuk semua yang kuucapkan padanya tanpa sedikitpun rasa bersalah. Aku tahu ia mengharapkanku. Aku juga tahu ia mengalami trauma atas kepergian ibunya. Aku tahu banyak hal…ya seharusnya aku tahu. Tapi ini masalah rasa percaya yang sudah luntur tak berbekas, Ipah…cobalah untuk mengerti!
‘Nanti coba Ipah tanya sama bapak apa boleh Ipah ikut ibu untuk bekerja di rumah orang tua ibu. Masih di Jakarta juga kok rumahnya. Kalau boleh, Bang Sanip dikasih tau alamat Ipah yang baru biar sesekali bisa tengok ke sana. Tapi Ipah bilang dulu ya sama bapak…’
Itulah kalimat penyelamat rasa bersalahku pada Ipah. Sesudahnya, ia terlihat sedikit lega. Tahukah Ipah, aku merasa jauh lebih ringan untuk melangkah sekarang.
*
Santi mengakhiri kegiatan mengetiknya di ruang kerja Anto. Ia telah menyiapkan flash disk untuk menyimpan data yang berisi rangkaian kata hatinya. Setelah ia yakin semua tulisannya telah tersimpan di dalam flash disk, ia keluar dari kamar tersebut dan meminum beberap butir vitamin dan obat anti mual yang diberikan dokter kandungannya.
Langit kelabu Jakarta masih menaungi perumahan dimana Santi tinggal. Ia mengecek semua yang telah disiapkan untuk kepergiannya. Ia merasa ada yang menekan-nekan perutnya. Rasa itu selalu datang setiap kali ia gugup. Dan kali ini rasa itu menyerang begitu hebat. Memukul-mukul ulu hatinya. Ia datang ke rumah ini dengan sejuta harap. Menimbunnya satu per satu setiap hari. Baik dalam keadaan lelah sehabis pulang kerja maupun sewaktu dirinya bersemangat menghabiskan sisa hidupnya dengan menjadi ibu rumah tangga. Kini timbunan itu seperti menguap. Andai masih ada yang tersisa, ia enggan menatapnya lagi. Ia harus lebih kuat sekarang. Ia akan membutuhkan pekerjaan baru nantinya. Sementara, ia belum mendapat pekerjaan tetap, ia dapat menggunakan tabungannya selama bekerja untuk hidup sekedarnya. Anto juga menabungkan sebagian penghasilannya selama ini ke dalam rekening Santi. Tabungannya cukup untuk biaya hidup setahun lebih. Tapi ia menargetkan untuk memperoleh pekerjaan tetap dalam waktu dua bulan kedepan. Dengan pengalaman dan jabatan terakhir yang dipercayakan padanya, pengalaman teman-temannya selama ini menunjukkan kalau perusahaan yang merekrut karyawan seperti dirinya rata-rata memperbolehkan cuti melahirkan untuk masa kerja kurang dari satu tahun.
Kemana dirinya akan melangkah, semua telah dipertimbangkan masak-masak oleh Santi. Cukup sampai disini sakit yang dirasakannya akibat pengkhianatan Anto. Dirinya berhak mereguk kebahagiaan. Ia akan menciptakan kehidupan yang bahagia juga bagi anak yang sedang dikandungnya. Sebagai ibu yang bertanggung jawab, ia akan tetap mengizinkan ayah dari anaknya datang menjenguk kapan saja. Itupun kalau Anto tahu. Ah, Anto, betapa engkau selalu dijauhkan dari perayaan kedatangan buah hatimu di dunia ini.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar