Senin, 02 Januari 2012

SATU

Hening. Suara ketukan halus terdengar.
‘Santi, kaukah itu? Seperti tidak mengenalmu setelah sekian lama kita bersama. Siapa gerangan yang ada di tubuhmu saat ini? Lihat, Santi! Tidak ada salahnya menimbang ulang keputusan yang telah kau ambil. Waktu telah membawa kita semua bergeser dari tempat kita semula. Atas nama peradaban, tidak ada yang perlu dirisaukan dengan pekerjaan kamu. Tidak ada yang salah, Santi! Sekian banyak wanita ingin mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak hanya materi. Aku yakin kau tahu itu! Status sosial, lingkungan yang memberi kita penghargaan atas prestasi membanggakan yang kita raih. Hidup itu realita, Santi. Bukan mimpi di siang hari bolong. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Manusia kerap menghadirkan ilusi di kepalanya. Sebagian dapat mewujudkannya, sebagian yang lain tidak. Kau tahu kenapa? Karena tidak semua orang mengerti akan keinginannya. Tidak semua dapat mengukur kemampuan
dirinya untuk meraih ilusi yang diciptakannya. Tapi kau berbeda. Kau pandai dan logis. Kau mengerti apa yang dapat kau raih dan apa yang tidak. Berhentilah memelihara ilusi bahwa seorang Santi Rahmawati adalah wanita yang mampu tinggal di rumah selama 24 jam dan membiarkan otak briliannya membeku dimakan usia. Tempat kerja membutuhkanmu. Teman, atasan, bahkan mungkin penduduk Jakarta!’
Ketukan halus kembali terdengar. Kali ini lebih memiliki irama. Tetap dan santun. Meski makin lama irama yang didendangkannya makin tidak jelas. Namun hentakannya mengeras. Kemudian bertubi-tubi, hingga akhirnya…
‘Krekk’
Suara pintu dibuka. Lamunan Santi buyar seketika.
“Maaf, Bu, saya lancang membuka pintu. Tapi pak Suryo meminta ibu segera menandatangani beberapa berkas penting.”
Aku mengangguk lemas. Selama ini anggukan semacam yang aku lakukan barusan selalu berhasil membuatnya mengerti bahwa aku menyetujui caranya menyampaikan informasi kepadaku. Meski juga berarti aku menginginkannya cepat pergi dari hadapanku.
Tono panggilannya. Nama pemberian orang tuanya adalah Praptono. Sebagai seorang office boy yang telah mengabdikan dirinya pada perusahaan tempatku bekerja selama lebih dari 5 tahun, ia telah berhasil duduk di jajaran office boy yang paling dipercaya. Ia bersama dua orang teman sejawatnya tiap tahun harus melewati assessment untuk dapat menjadi office boy andalan perusahaan yang khusus melayani sebuah lantai yang disediakan hanya untuk beberapa posisi penting di perusahaan. Salah satu orang yang diperhatikan keperluannya oleh Tono dan dua orang temannya adalah aku, penghuni lantai tersebut.
Aku mempercepat langkahku ke ruang pak Suryo. Melihat pintu ruangan yang tertutup aku mengetuknya perlahan. Belum sampai ketukan kedua, pintu terbuka. Seperti layar panggung opera yang terbuka perlahan sebelum sang bintang panggung masuk. Chocolate Tiramisu akhirnya terlihat di meja pak Suryo yang seperti tak berpenghuni. Aku memasukkan kepalaku sedikit demi sedikit kedalam ruangan. Dan…seperti yang kuduga sebelumnya. Sebuah kejutan! Sungguh kejutan yang sangat mudah ditebak. Kalau aku yang dipercaya oleh pak Suryo untuk merencanakan kejutan ini, tentunya akan kubuat pak Suryo tetap duduk di kursinya, terlihat gusar seperti gunung berapi yang tak sabar ingin memuntahkan laharnya, kemudian meledaklah amarah itu sebelum segalanya diakhiri oleh sebuah pelukan mesra dari kolega sejawat yang hadir. Tapi yang terjadi tidaklah demikian. Kejutan ini seperti tanpa makna. Basi mungkin menjadi ungkapan yang lebih tepat.
Pelukan berganti-ganti dari kolega yang hadir membuatku sesak nafas. Hari ini bukanlah hari ulang tahunku. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Indonesia Shipping Professional. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi pengiriman barang via laut. Setelah hampir 8 tahun aku bekerja di perusahaan tersebut, keputusan ini harus dibuat.
“Santi, we’re gonna miss u…,” ujar Tamara, seorang teman baik sekaligus teman menuntut ilmu di Indonesia Shipping Professional. Pertemanan kami yang berumur sama dengan masa kerjaku di perusahaan ini membuat kami seolah saling kehilangan belahan jiwa masing-masing. Perpisahan ini sesungguhnya tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk tetap saling bertemu. Meski demikian, menurutnya, keberadaanku tidaklah cukup hanya satu atau dua kali seminggu di hidupnya. Ketergantungannya padaku menjadi-jadi sejak ia berpisah dengan suaminya 2 tahun yang lalu. Ia menganggap aku adalah bidadari penyelamat hidupnya yang sedang terombang-ambing diterjang badai pernikahan. Hanya karena aku sering memberinya beberapa tips untuk melepas kekecewaannya pada pernikahannya yang porak-poranda.  Terus terang sebagian dari tips yang aku sampaikan padanya berasal dari buku. Ya, aku mengutip kata-kata indah pelipur lara tersebut dari buku. Bukan hanya satu atau dua buku, tapi lebih. Aku mengkoleksi buku-buku semacam itu. Semacam buku penyembuh luka memar akibat hantaman ketidaksesuaian selera antara seorang istri dengan suaminya, bukan hantaman dalam arti kata sesungguhnya. Hantaman pada luka perasaan yang aku maksud. Aku pun sesungguhnya baru menikah selama 2 tahun dengan seorang pria bernama Anto Wirya Atmaja. Menggurui seorang teman dekat dengan usia pernikahan yang lebih dari dua kali lipat usia pernikahanku sangatlah tidak pantas. Mungkin usia pernikahanku bagi sebagian besar pasangan adalah sebuah masa keemasan. Masa dimana hari-hari yang dilewati oleh pasangan tersebut hampir seluruhnya adalah semacam honeymoon moment. Baru hampir, mohon dicatat.
“Aku lihat Anto di parkiran tadi. Kenapa ngga diajak masuk?” sebuah suara menyeruak. Aku melepaskan pelukanku ke Tamara. Lelaki yang berbicara kali ini aku yakin menanyakannya dengan sengaja. Ia tahu. Hampir semua yang berada di ruangan ini tahu. Jawabannya.
“Kalau lo kangen sama Anto samperin aja,” Tamara berusaha memecah kebekuan.
“Bukan begitu, kan ini hari terakhir Santi disini,” ucapnya sinis. Atau aku yang selalu menganggap ucapan semacam ini adalah sebuah kesinisan? Entahlah.
Arman, pria yang menanyakan tentang Anto, adalah seorang kolega yang tidak tahu bagaimana selalu berseberangan dalam banyal hal dengan diriku. Ia juga seorang Trade Manager. Sama dengan diriku. Tugas seorang trade manager adalah membawahi sekumpulan manusia yang mengurus tentang segala seluk beluk pengiriman barang dari Indonesia ke negara tujuan tertentu. Bila tanggung jawabnya adalah trade ke Eropa, maka tugas sang manager adalah memastikan bahwa segala urusan administrasi yang berhubungan dengan surat jalan barang yang dikirim tersedia dengan lengkap dan aman. Aman dalam arti tidak melanggar ketentuan yang berlaku di negara ini. Melakukan kegiatan penjualan adalah juga bagian dari tugas harian sang manager. Sungguh penjelasan diatas tadi adalah hanyalah berupa ringkasan dari sekian banyak tugas, lingkup dan wewenang seorang yang duduk di sebuah kursi trade manager. Hanya sebagian dari sekian banyak tugas yang berpotensi menciptakan masalah sendiri padaku dan Arman. Meski demikian, menurut pak Suryo, yang terjadi antara aku dan Arman hanya seringkas tiga buah kata: ‘tidak ada chemistry’.
Namun bukan itu alasanku mengundurkan diri dari perusahaan ini.
Tamara, Arman, Budi, Christian, Maya satu per satu melakukan jabat tangan perpisahan padaku. Terakhir adalah pak Suryo. Seorang pimpinan yang disegani banyak orang, tidak terkecuali diriku.
“Santi, kami yakin dimanapun kamu berada, kesuksesan akan menyertaimu”
Kata-kata bijak pak Suryo yang sebenarnya sesungguhnya biasa-biasa saja ini kali terdengar di telingaku sangat luar biasa. Kegalauanku akan kehidupan setelah pengunduran diri ini telah menghantuiku selama lebih dari sebulan terakhir. Merasakan diri ini seolah adalah ksatria yang dilucuti senjatanya ternyata tidaklah mengenakkan. Oleh karenanya, ucapan pak Suryo aku rasakan seperti oase di padang pasir. Harapan untuk tidak hanya diam di rumah akan selalu ada, Santi. Tenanglah. Itu yang terdengar di telingaku sebagai tambahan dari perkataan yang sesungguhnya terlontar dari mulut pak Suryo.
Pemotongan chocolate tiramisu yang disediakan dilakukan oleh Maya. Sementara kesibukan membagi kue dilakukan, aku diam-diam mencoba menghubungi telepon genggam Anto. Memastikan bahwa dirinya masih menungguku di dalam mobil kami yang berada di parkiran, dan menawarinya untuk bergabung bersama kami di hari terakhirku bekerja di kantor ini.
Nada sambung terdengar.
“Halo, ya Santi…masih lama? Potong kue? Nggak lah, aku tunggu disini aja. Ya, aku tahu ini hari terakhir, tapi buatku tidak ada bedanya”
Tuuuuuut. Suara telpon dimatikan.
Usahaku untuk membujuknya kali ini berakhir sama dengan hari-hari sebelumnya. Anto untuk kesekian kalinya menolak untuk bergabung dengan teman-temanku di kantor. Hanya bergabung. Mencoba akrab. Tidak ada salahnya, bukan? Tidak ada yang salah. Cuma sedang-tidak-ingin. Selalu itu yang harus kudengar sebagai alasan.
Penolakan Anto mengukuhkan kesinisan Arman. Menghancurkan diriku yang sedang giat-giatnya memupuk harapa akan kehidupan yang belum bisa aku bayangkan saat ini. Tapi ‘menerima’ dan ‘mengerti’ satu sama lain adalah salah satu kiat mempertahankan keharmonisan dalam rumah tangga yang aku baca dari beberapa buah buku. Satu sama lain, bukan sepihak. Ohh..
Aku mengemasi property pribadi yang masih saja ada di laci meja, di lemari dokumen, bahkan sampai di laci meja ruang meeting. Acara perpisahan dengan 7 anak buah yang membantuku bekerja telah dilakukan sehari sebelumnya. Meski demikian, rasa haru kembali muncul saat untuk kesekian kalinya aku berpamitan pada mereka.
Sebelum melangkahkan kaki ke pintu yang akan memisahkanku dengan dunia yang telah menemaniku selama hampir 8 tahun, kusempatkan menengok sekali lagi ruang kerjaku. Perasaan hampa itu datang lagi. Sungguh terasa. Seadainya saat ini ada suntikan mati rasa yang dapat menghalangiku berfikir tentang kehampaan ini pun mungkin tidak akan memberikan perbedaan yang berarti.
Melangkah. Itulah yang ingin aku lakukan saat ini. Dan sejatinya aku memang sedang melangkah menuju pintu keluar. Menghampiri Anto, suamiku, dan pulang. Pulang ke rumah. Bukan ke tempat lain.
“Santi, kamu kan ngerti aku mesti buru-buru karena ada janji dengan bos setelah makan siang nanti”
“Aku kira kamu cuti hari ini”
“Jangan seperti orang baru bekerja aja. Cuti di dunia kita ini kan tidak pernah benar-benar berarti bebas tugas”
Aku tidak menjawab. Kepalaku berat. Semua ini kulakukan untuknya, yang hingga saat ini masih saja enggan menemani sepi hatiku yang baru saja dipaksa untuk berpindah dari tempat nyamannya sehari-hari.
Anto bekerja di bidang yang sama denganku. Posisinya adalah Sales Manager di tempat kerjanya. Tempat Anto bekerja tidak membagi pekerjaan berdasarkan daerah tujuan pengiriman barang dari atau ke Indonesia. Mereka membaginya berdasarkan jenis pekerjaannya. Semua urusan dokumen pengiriman di kerjakan bagian Dokumentasi. Segala yang berhubungan dengan operasional kapal menjadi tanggung jawab bagian yang terpisah. Sementara Anto berkecimpung di bagian penjualan. Memimpin lebih dari selusin karyawan dengan beragam tingkah laku dan metode pendekatan dengan pembeli yang berbeda. Itulah Anto dengan pekerjaannya. Memahami orang lain adalah bidangnya. Tapi sayangnya, aku mungkin akan menjadi orang terakhir yang dipahaminya.
Mobil yang kami tumpangi melaju di jalanan kota Jakarta yang dipenuhi polusi dan kemacetan. Kami memilih siaran radio yang berada di frekuensi hening. Sebuah frekuensi yang hanya dapat dirasakan oleh pikiran kami masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar