Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH TIGA

Teh manis yang ada dihadapannya kali ini akan mengawali sebuah hari dimana moment penting dalam hidupnya akan diputuskan. Santi menghirup nafas dalam dalam. Sesekali ia melihat kearah kepulan asap yang  keluar dari cangkir teh dihadapannya. Aku akan meminumnya sampai habis lalu berangkat. Berangkat ke tempat dimana aku harus menyelesaikan sesuatu. tak dapat lagi tempat itu kusebut sebagai rumah. Bagiku
rumah adalah tempat untuk kembali. Sementara, aku tak akan pernah tahu apakah aku sanggup kembali dan menengok lagi setiap jejak yang pernah tertinggal disana.
Santi ingin detik dan menit berlalu lambat. Kalau perlu berhenti saja. Berhenti di titik dimana ia ingin dikembalikan ke perut ibunya. Membatalkan kelahirannya saja dan bertukar tempat dengan orang lain yang memang lebih menginginkan kehidupan seperti dirinya. Ia tidak sedang berprasangka buruk pada alam yang membesarkannya. Ia hanya merasa tidak cocok. Itu saja.
Kini cangkir teh dihadapannya telah kosong. Ibu masih saja sibuk lalu lalang membereskan perabot rumah yang menurutnya sudah waktunya diganti, dicuci, ataupun dibersihkan dengan treatment khusus. Kesibukan yang sengaja dibuatnya untuk menghilangkan kekosongan yang tak lama lagi akan dirasakannya. Hati dan jiwanya telah terisi dengan kedatangan anak semata wayangnya. Anaknya yang selama ini telah menampik kehidupan yang diberikannya. Bukan, bukan anaknya yang menampik, tapi dia lah yang menampilkan sisi kehidupan yang kelabu di mata anaknya. Kini semuanya telah terjadi. Anak semata wayangnya kini menginginkan kehadirannya di setiap langkahnya dalam mengambil keputusan dalam kehidupan perkawinannya. Ia harus siap untuk itu.   
“Ibu…,”ucapnya perlahan.
“Sudah siap? Ada yang mau dibawa dari rumah ini? Hiasan dinding mungkin…”
“Tidak, Bu. Hatiku saja yang kutitipkan disini. Boleh?” Santi tersenyum. Kakinya terasa berat melangkah.
Air mata menetes dari pipi ibunya. Kedua wanita yang masih menginginkan berlama-lama menikmati saat-saat yang pernah sengaja dilewatkan itu berpelukan cukup lama. Suara klakson taksi yang menjemput Santi memaksa mereka untuk melepaskan pelukannya. Tak ada yang terdengar kecuali isak tangis dari keduanya.
“Jaga dirimu baik-baik,” ucap ibu.
“Diatas segala keinginan dan emosi yang ingin kau luapkan, ingatlah bayi di kandunganmu. Ia membutuhkan nafas kehidupan. Nafasmu. Ibunya…,” lanjutnya.
Santi memasuki taksi yang sudah ia pesan untuk mengantarnya kembali ke kehidupannya bersama Anto, suaminya.
Di tengah jalan, ia teringat akan Ratri. Ketegarannya menghadapi kesendirian setelah Anto meninggalkan dirinya membuat Santi ingin menengok cinta pertama suaminya itu. Santi segera meminta supir taksi untuk menuju ke rumah Ratri.
Santi tiba di rumah ini lagi. Hatinya berdebar-debar lagi. Kali ini ia datang tanpa janji bertemu sebelumnya. Berbeda dengan kedatangan pertamanya dimana ia menggunakan nama Anto untuk membuat Ratri membuka diri untuk menerima kedatangannya.
Santi membunyikan bel rumah Ratri. Mbok yang menjaga rumah itu keluar. Tergopoh-gopoh ia membukakan pintu pagar untuk Santi.
“Mbok, Bu Ratri ada?”
“Tidak, Bu. Ibu pergi dari tadi pagi”
“Oh, begitu. Baiklah, saya mampir lain kali lagi”
 Santi tidak putus asa untuk menemui Ratri. Banyak pertanyaan yang masih menggantung di benaknya. Pertemuannya dengan Ratri menyadarkannya bahwa ia belumlah mengenal Anto, suaminya, secara keseluruhan. Ia ingin mendengar lebih banyak cerita dari Ratri. Ia yakin Ratri pun ingin mendengar ceritanya tentang Anto. Anto kini adalah misteri bagi mereka berdua, Santi dan Ratri.
Supir taksi yang tanpa bertanya langsung menghidupkan mesin mobilnya untuk segera berlalu diminta Santi untuk menuju sebuah alamat panti asuhan tidak jauh dari tempatnya berada kini.
*
Pohon rindang di sebuah taman mungil itu melindungi laki-laki dan perempuan yang berada di bawahnya dari sengatan sinar matahari yang terik siang itu.
“Bu Ani adalah pengasuh yang baik. Ia dapat membuat Wirendra betah tinggal di tempat ini. Belajar dan bermain sepanjang hari. Tidak banyak yang mampu melakukan apa yang dilakukan Bu Ani”
“Jadi kapan aku dapat menemuinya?”
 “Kapan saja kamu mau sesungguhnya. Tapi aku tidak yakin Wirendra mau ditemui tanpa aku berada disisinya. Membuatnya yakin bahwa tamu yang ingin bertemu dengannya tidak akan menyakitinya. Ia mempunyai masalah dengan rasa percaya diri. Mungkin karena dulu aku pernah memaksanya untuk bersekolah di tempat anak-anak normal. Maksudku yang tidak seperti dirinya. Ini salahku”
Cukup lama setelah kalimat terakhir meluncur dari bibir Ratri suasana menjadi hening.
“Kenapa diam?” Tanya Ratri pada Anto.
“Kamu tahu aku tidak pernah bermaksud untuk meninggalkan semua hal yang menjadi tanggung jawabku. Tapi, kamu memaksaku melakukannya…”
“Semua terserah kamu, Anto. Aku sekarang mengerti bahwa seperti apapun hidupku saat ini, Wirendra adalah prioritasku nomor satu. Nafasnya adalah pemberi kehidupan bagiku. Aku tak dapat hidup tanpanya. Seperti aku enggan untuk melangkahkan kakiku tanpamu dulu…”
Santi seperti disayat-sayat hatinya mendengar percakapan Ratri dan Anto. Ia mendengar semuanya. Pagi tadi, ia berangkat dari rumah ibunya dengan membiarkan intuisinya yang bekerja untuk menuntaskan masalah yang sedang dihadapinya. Masalahnya dengan Anto. Kini, ia seperti diseret pada sebuah pusaran yang hanya memberikannya sebuah lorong untuk dimasuki. Tidak ada cabang yang dapat dijadikan pilihan untuk dilewati. Hanya satu. Santi yakin dengan keputusannya kini. Tidak akan ada acara kabur dari rumah lagi. Ia siap menghadapinya. Seburuk apapun itu.
Ia teringat perutnya belum terisi makanan apapun semenjak dirinya berpamitan dengan ibunya tadi pagi. Setelah jelas segalanya, ia merasa tak perlu berlama-lama menguping pembicaraan suaminya dan Ratri. Kini ia akan mampir di warung makan terdekat untuk membeli seporsi makan siang dan menyantapnya di rumah. Ia tak ingin merepotkan Ipah.
Taksi yang ditumpanginya tiba di depan sebuah rumah yang sangat dikenalnya. Disini semua berawal, dan disini pula segalanya akan diputuskan nantinya. Tak lama lagi.
“Ehh…ibuu…,” Ipah, pembantu setianya terlihat sangat merindukannya. Mungkin kalau bukan karena sungkan dengan majikan perempuannya ini, ia sudah menghamburkan pelukan ke tubuh Santi. Matanya berkaca-kaca sambil membantu Santi mengambil barang-barang bawaannya dari bagasi taksi.
“Ibu kok ngga telepon kalau mau datang. Ipah kan bisa masakkan makanan kesukaan ibu”
Santi tersenyum sembari berkata,”Tidak usah repot-repot, Ipah…saya sudah makan diluar kok.”
“Ah, ibu, kayak tamu aja disini. Bilang ngga usah repot-repot…”
Santi menelan ludah mendengar perkataan Ipah barusan. ‘Seperti tamu saja’! Memangnya ia bukan tamu di rumah ini?
Sambil membantu Santi membereskan barang-barang bawaannya masuk ke kamar tidurnya, Ipah masih terus saja berkicau. Ia merangkum segala yang terjadi di rumah ini.
“Bapak tiap hari memberi Ipah uang, Bu. Katanya, kalau Ibu pulang nanti ngga tahu kapan, Ipah bisa sediakan masakan apa saja yang Ibu mau. Selama Ibu tidak di rumah, Bapak selalu minta dimasakkan semua masakan kesukaan Ibu, mulai dari balado terong, ikan peda masak cabai hijau, ayam ca brokoli gitu Bu. Katanya, kalau mau sehat, mesti gemar makan makanan semacam itu. Rendah kolesterol katanya. Ipah ngga ngerti maksud Bapak apa. Ipah sih iya iya aja”
Santi merasa ada yang mengganjal di kerongkongannya. Anto minta dimasakkan semua makanan kesukaannya? Lalu mengapa selama ia berada di rumah ini Anto tidak pernah melakukannya? Mengapa Anto seperti selalu sengaja minta dimasakkan masakan yang berbeda? Santi merasakan matanya menghangat. Ah, bisa-bisanya Anto saja. Pasti ia tahu kalau Ipah paling suka bercerita padaku tentang segala yang terjadi di rumah ini. Dan seandainya itu terjadi, Anto akan dengan mudah memperoleh simpati dariku. Santi terharu namun sekaligus menggerutu dalam hati.
“Bapak juga bilang kalau barang-barang dan alat tulis bapak yang ada di kamar kerja di bawah dan di ruang tidur ini tidak boleh disentuh. Tidak usah ada yang dirapikan, karena hanya Ibu yang tahu bagaimana merapikannya. Ipah hanya boleh mengepel lantai saja”
Santi diam-diam membiarkan matanya berkeliling memperhatikan setiap sudut kamar tidurnya. Benar apa yang dikatakan Ipah barusan. Buku agenda, kertas-kertas, dan beberapa kemeja Anto berserakan di meja kecil dan di pinggir tempat tidur. Santi buru-buru menyuruh Ipah keluar dari kamarnya. Setelah yakin dirinya tidak ada yang mengganggu, Santi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mulai menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar