Selasa, 10 Januari 2012

DELAPAN

Perih. Hanya itu sesungguhnya yang ingin aku utarakan. Tidak lebih. Tapi aku tidak akan pernah bisa menjelaskan mengapa jemari ini begitu kuat keinginannya untuk terus menari diatas tuts keyboard. Mendung di luar masih terus menggelayut. Aku mengharapkan hujan turun. Mengguyur semua yang mengganjal di benakku hingga kini.
Ingatanku begitu kuat mengenai beberapa hal dalam hidupku. Setidaknya sejak aku lulus SD, mengenyam pendidikan SMP dan SMA di Jakarta dan terakhir kuliah di Jogja. Mereka memberiku warna. Beragam warna tanpa suara. Kini aku ingin memanfaatkan waktu luangku untuk menuliskannya. Sedikit demi sedikit. Sekedar menjadi perintang waktuku yang berlebih.
Aku berumur 11 tahun waktu itu. Selisih 1 tahun dengan kebanyakan teman sekelasku. Meski demikian, aku bukanlah satu-satunya yang berumur muda. Ada 2 teman lain yang berumur sama denganku. Yang satu laki-laki bernama Budi dan yang satu perempuan bernama Titin. Hebat ya, aku masih mengingat mereka semua. Kalau nama belakangnya, sudah dipastikan saat ini aku lupa-lupa ingat. Mungkin juga Budi dan Titin itu adalah nama panggilan. Ah, sudahlah, yang pasti mereka adalah teman sepermainanku. Tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah. Tahu kenapa aku dekat dengan mereka? Bukan hanya karena usia. Atau ya, mungkin usia itulah penyebabnya. Yang pasti, teman-temanku yang lain, yang telah berusia 12 tahun waktu itu menganggap kami bertiga ‘pupuk bawang’. Itu istilah yang dipakai budeku yang tingga di Jogja hingga kini. saat aku mengejar gelar sarjana di Jogja, bude masih saja mengingatkanku akan sebutan itu. ‘Ponakanku Pupuk Bawang yang manis’ begitu ia biasa memanggilku.
Sebagai trio pupuk bawang di sekolah, tidak jarang kami menjadi sasaran kenakalan teman sekelas kami yang lain. Menurut mereka, aku dan dua orang teman seusiaku tidak akan berani membalas kelakuan mereka. Satu hal yang paling melekat kuat diingatkanku adalah ketika teman-teman nakalku di kelas memasukkan vcd porno bajakan kedalam tas sekolahku, Titin dan Budi. Tiga vcd porno sekaligus mereka beli atau dapatkan entah mana yang benar, untuk menjebak kami bertiga. Sudah dapat diduga akibatnya. Tiga buah kamar mandi paling kotor di sekolah kami menjadi tempat kami berkubang selama seminggu sepulang sekolah. ‘Sikat sampai bersih!’. Demikian perintah bapak guru wali kelas kami waktu itu. Geng nakal kelas kami tidak puas sampai disitu saja. Kerap kali mereka dengan sengaja memasukkan kotoran atau sengaja menyumbat saluran air keluar di masing-masing kamar mandi agar aku dan kedua temanku makin sulit membersihkannya. Waktu itu kami bertiga tiap hari baru bisa tiba di rumah pukul 4 sore, sementara sekolah sudah selesai pukul 12 siang. Tidak hanya itu. Kepala sekolah juga melaporkan kami ke orang tua kami masing-masing dan mengancam untuk mengeluarkan kami dari sekolah.
Banyak hal yang belum aku mengerti waktu itu. Diantaranya yaitu mengapa Tuhan membiarkan kecurangan terus berlangsung begitu saja dihadapanku. Aku belum tahu kalau besi itu harus ditempa untuk menjadikannya makin keras. Aku hanya tahu bahwa aku di’bully’ secara terus menerus oleh geng nakal di sekolahku tanpa ada yang membela. Wali kelas dan kepala sekolah menganjurkan orang tua kami untuk mengkonsultasikan kelakuan kami ke psikiater. Mengapa harus aku yang dibawa ke psikiater, mengapa bukan mereka, orang-orang yang menghukumku tanpa bertanya terlebih dahulu? Atau setidaknya bapak wali kelasku yang akhirnya ketahuan mengkoleksi vcd porno di kamar kostnya dan menjadikan vcd dari tas kami sebagai bagian dari koleksinya?
Keadilan baru sedikit aku mengerti kala aku mendengar bahwa salah satu pentolan geng nakal itu akhirnya digelandang ke kantor polisi. Ia bertikai dengan teman mainnya dan berujung pada luka tusukan di lambung temannya itu.
Lain cerita di sekolah, lain pula cerita di rumah. Demi mendengar kelakuan anaknya, orang tuaku sangat risau. Bapak mengurungku di dalam kamar tamu sehari penuh. Kamar tamu yang didalamnya hanya terdiri dari dua buah benda. Tempat tidur dan lemari pakaian. Keduanya adalah benda kuno peninggalan nenek. Konon kedua benda itu seumur ibuku. Aku hanya bisa menangis hingga akhirnya tertidur. Bangun tidur, pintu masih belum juga terbuka. Sayup-sayup terdengar suara keras. Aku mempertajam pendengaranku, mencoba meraih jawaban atas suara itu. Sebuah benda menyentuh benda keras berulang kali. Aku mencoba mengintip melalui celah di lubang kunci. Gagal. Tak terlihat apapun.
Suara keras itu mendekat. Aku dapat merasakan hawa panasnya memasuki kamar tempat aku dikurung.
‘Sekarang baru kamu menyesal?’
‘Aku tidak merasa ada yang perlu disesali’
‘Apa maksudmu tidak ada yang perlu disesali? Liat kelakuan dia. Memalukan! Kalau saja dulu ide gila ibumu untuk memberikan anak pertama kita ke saudaramu yang mandul itu tidak begitu saja kau turuti, kita tidak hanya akan memelihara anak yang ternyata kelakuannya seperti ini!’
Aku berharap ada yang salah dengan pendengaranku. Tidak! Tidak mungkin aku punya kakak. Dimana kakakku sekarang?
‘Diam! Anak kita sudah tenang di alamnya!’
‘Dia tidak akan secepat itu meninggalkan kita seandainya kita tidak menyerahkannya pada saudaramu itu! Ingat itu! Kamu pikir aku, ibunya, mudah melupakannya begitu saja?’
‘Diam, Ana! Diaaaaammmm!!
Aku mendengar benda keras jatuh menghantam lantai. Mungkin tumpukan buku yang ada diletakkan bapak disamping tv atau benda yang lain, aku tak tahu. Tapi tidak ada suara kesakitan. Hanya tangisan ibu yang terdengar menyayat hati.
Hari itu aku baru tahu kalau aku sesungguhnya bukanlah anak tunggal. Aku punya kakak. Ia sudah berbahagia di alam keabadian. Ia tidak mengalami apa yang aku alami saat ini. Di bully teman sendiri, di hukum tanpa peradilan, dan dikejutkan oleh kenyataan yang tidak pernah aku duga sebeumnya. Bapak lupa kalau ia menghukumku di kamar ini. Membuatku mendengar apa yang mungkin mereka ingin sembunyikan dariku selamanya. 
*
Santi mendengar bunyi klakson. Anto pulang kerja lebih awal dari biasanya. Tak perlu menyambutnya. Toh Anto sedang tidak ingin. Begitu juga dirinya. Kebekuan mereka dua hari ini membuat Santi terbiasa dengan kedatangan dan kepergian Anto yang dianggapnya sebagai angin lalu. Anggap saja Anto sedang tidak ingin diganggu oleh kehadirannya. Mereka memang sedang saling tak mengacuhkan. Biar saja, pikir Santi. Kesempatan untuk merenung dan menuliskan kisah hidupnya yang masih tercecer diingatan. Siapa tahu nanti ada majalah yang mau memuat sedikit kisahnya ini.
*
 Aku tidak ingat lagi kapan tepatnya celah selebar 60 cm diantara tempat tidur dan lemari kuno yang ada di kamar tamu itu mulai menjadi tempatku bersembunyi, merenung sambil ketakutan. Rasanya sih hari itu. Hari yang sama dengan kenyataan pahit yang aku dengar dari mulut orang tuaku sendiri. Aku merasa menjadi sosok yang tidak dikehendaki kehadirannya. Ibu memilih berandai-andai tentang keberadaan kakakku. Atau mungkin maksud beliau adalah seandainya Santi punya kakak, maka kelakuannya akan lebih terkendali. Aku tidak sempat menduga-duga waktu itu. Sembilu yang merajam hatiku terlalu tajam. Atau malah terlalu tumpul sehingga perih sayatannya terasa. Tidakkah memintaku untuk mengklarifikasi apa yang sesungguhnya terjadi membuatku lebih merasa bangga memiliki mereka ketimbang mengurungku di kamar ini tanpa penjelasan apapun?
Mereka menemukanku dalam keadaan demam di kamar hukumanku. Ibu menyalahkan bapak karena memperlakukanku semena-mena. Mengurung tanpa memberi makanan dan minuman. Aku ingin berkata kalau aku butuh kasih sayang mereka saat itu. Bukan yang lain. Bukan makanan ataupun minuman. Bapak balik menyalahkan ibu dengan tuduhan pola didik, terlalu sering meninggalkanku dengan segudang aktifitasnya. Mereka kembali ribut. Aku yang menggigil dengan temperature tubuh yang tinggi mencoba menggapai tangan ibu. Sekedar untuk mendapatkan kehangatan. Begitu tangannya kusentuh, ia seperti baru diingatkan bahwa anaknya demam dan membutuhkan pertolongan.
Sejak saat itu aku lebih banyak diam. Kurasakan bapak dan ibu berusaha untuk mengurangi intensitas pertengkaran diantara mereka dan lebih banyak bersikap manis padaku. Sebenarnya, aku sangat ingin menanyakan pada ibu tentang kakakku. Apakah wajahnya mirip denganku, apa makanan kesukaannya, mengapa ia harus pergi dari rumah ini, dan lain sebagainya. Tapi aku tidak berani. Aku khawatir akan dua hal. Pertama pertanyaanku akan membuat ibu teringat akan peristiwa itu dan bersedih. Kedua karena sesungguhnya akupun tidak siap untuk menerima kenyataan itu.
*
Santi mendengar Anto mengisi cangkirnya dengan air panas dari dispenser. Pasti ia sedang membuat teh. Itu adalah pekerjaan Santi tiap kali Anto pulang kerja. Menyapanya di garasi. Menanyakan kabar hari ini, dan menyiapkan secangkir teh hangat. Tapi sekarang… Terbersit keinginan di benak Santi untuk membuatkan teh di teko dari tanah liat yang mereka miliki untuk kemudian menghabiskan petang dengan minum teh sambil menonton televisi. Berdua. Bukan sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Tapi niat itu ia urungkan. Ia merasa saatnya belum tepat. Ekspresi wajah Anto belum kunjung melunak. Membuatnya ragu. Santi memilih untuk melanjutkan mengisi catatannya.
*
Orang tuaku tidak kesulitan mendapatkan sekolah untukku selepas SD. Aku mendapat nilai ujian nasional nomor dua tertinggi di sekolah. Urutan pertama ditempati Budi, teman bermainku. Aku merasa beruntung mendapati diriku kembali satu sekolah dengan Budi dan Titin. Hingga suatu hari keadaan memisahkanku dari dua orang teman baikku. Budi, harus pindah kota karena kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan kakeknya yang tinggal di Bandung. Sedang Titin, menurut orang tuanya ia kabur dari rumah. Tapi seorang teman yang kutemui di Jogja selagi aku kuliah disana bercerita kalau Titin enggan dijodohkan dengan anak seorang teman ayahnya yang ingin menikahkan anaknya dengan Titin yang saat itu masih kelas 2 SMP. Titin memang cantik tapi perjodohan semacam itu tidaklah mungkin terjadi tanpa latar belakang materi. Aku bangga pada Titin yang berani memutuskan sesuatu untuk hidupnya sendiri. Sementara sekian banyak wanita di kota ini menyerahkan hidupnya pada lelaki karena uang. Aku rindu pada kedua temanku itu. ingin rasanya bertemu dan berbagi cerita lagi pada mereka seperti dulu. Tapi saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka.
Kisahku selama SMU tak banyak yang menarik. Beban pelajaran dari hari ke hari semakin berat. Di rumah, aku tak lagi terlalu perduli dengan segala perdebatan yang terjadi pada kedua orang tuaku. Aku memilih menyibukkan diri dengan belajar. Melihatku bertambah dewasa, ibu dan bapakku kerap memanggilku untuk memberikan wejangan yang sesungguhnya lebih mirip ajang pencarian pembenaran atas pendapatnya masing-masing. Atas tuduhan negatifnya pada pasangannya sendiri. Meski demikian, tak jarang rasa haru menyelimuti diriku kala kudengar masing-masing dari mereka berkata padaku seperti ini ‘apapun yang kau lihat saat ini di keluargamu, pada diri bapak dan ibumu, tetaplah berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Baik-buruk, bahagia-tidak bahagia tidak pernah absolut. Tapi bermanfaat bagi orang lain adalah keharusan. Kebaikan dan kebahagiaan, apapun itu bentuknya akan mengiringi orang-orang yang senantiasa bermanfaat bagi orang lain.’ Aku ingat betul mereka mengatakan itu di hari yang berbeda. Pada suasana yang berbeda pula. Tapi saat itu aku duduk di bangku kelas 3 SMU. Aku menduga ada kekhawatiran yang sulit diungkapkan padaku saat itu. Diantara semua peristiwa yang terjadi dalam hidupku selama aku tinggal bersama mereka, diantara kemarahan, canda tawa, dan mungkin beragam rasa kecewa, nasihat yang aku ceritakan barusan membuatku meneteskan air mata. Manusia memang makhluk yang sempurna. Sesempurna segala keragaman sikap dan tingkah lakunya. Harapan dan kecamannya pada kehidupan. Aku menutup lembar pengalamanku tinggal seatap dengan mereka kala seluruh barang-barang milikku kukemasi ke dalam 2 buah kopor berukuran raksasa untuk dibawa ke Jogja. Kota kedua yang membesarkanku.
*
Santi melirik ke arah penunjuk waktu yang berada di laptopnya. Pukul 10.05pm. Anto masih menonton tv.  Sejak kekacauan di hari ulang tahunnya 2 hari yang lalu, Anto selalu tidur di sofa di depan tv. Ia membiarkan Santi tidur di ranjang mereka berdua seperti biasa.
*
Kalau bukan karena budeku yang di Jogja itu, yang suka memanggilku dengan istilah ‘pupuk bawang’, mungkin selamanya aku tidak pernah tahu peristiwa yang menimpa kakakku. Seorang yang namanya selalu terungkit tiap kali bapak dan ibu berteriak saling mempertahankan pendapatnya.
Bude adalah kakak kandung ibu yang memilih untuk tinggal di Jogja sewaktu ibu mengajaknya ke Jakarta untuk mengadu nasib selepas kuliah.
‘Kamu yakin sudah siap mendengar cerita bude? Jangan paksa kalau belum, Nduk. Nanti malah kamu ndak bisa tidur’
‘Ya siaplah, Bude. Aku sudah menanti saat seperti ini sejak SD loh. Sekarang aku sudah mahasiswa. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?’
‘Baiklah’ katanya. Ia pergi ke kamarnya yang pintunya terhubung langsung dengan ruang keluarga tempat kami biasa bercakap-cakap. Selembar foto ada di tangannya sewaktu ia keluar dari kamar.
‘Ini, Nduk. Jangan bilang-bilang ibumu ya, kalau bude memperlihatkan foto ini ke kamu. Bude rasa memang sudah waktunya kamu mengerti tentang kakakmu’
Foto itu memperlihatkan seorang wanita yang sedang menggendong bayi dan seorang pria berdiri di sampingnya. Pria dan wanita itu memperlihatkan ekspresi yang umum diperlihatkan oleh pasangan muda yang baru saja dikaruniai anak. Wajah-wajah segar penuh harap itu menatapku satu persatu. Aku pernah melihat foto serupa di album foto di lemari ibu. Tapi pakaian yang dikenakan berbeda. Wajah wanita dan prianya pun sudah agak lebih tua. Wajarlah karena bayi dalam gendongan itu adalah aku, sementara di foto yang berada di tanganku kini adalah kakakku.
Aku pandangi lama-lama foto tersebut sambil duduk di atas lincak yang ditaruh bude di depan tv. Rumah bude cukup besar. Terasa lebih luas lagi karena bude saat itu tinggal sendirian. Dua orang anaknya, Wira dan Dwi, telah berkeluarga kemudian pindah ke Jakarta. Pakde sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena serangan jantung. Rumah bude nyaman. Aku betah tinggal disana. Terlebih setelah tahu bude adalah salah satu saksi kunci sebuah rahasia yang ingin kuketahui.
‘Sudah puas, Nduk, lihat fotonya? Serius banget kamu’, kata Bude. Kulihat piring berisi jadah goreng ditangannya. Bude memang paling pandai menjamu tamu dengan baik. Makanan dari beras ketan ini nikmat sekali dimakan di sore hari bersama dengan minum teh. Itu menurut versiku.
‘Benarkah kakak dititipkan atau semacam diberikan ke salah satu saudara kandung bapak yang mandul?’
‘Benar, Santi’
‘Kenapa?’
‘Karena hutang budi. Itu yang bude tahu’
Aku terdiam. Aku percaya bude tahu betul aku ingin mendengarkan ceritanya hingga tuntas.
‘Bapakmu pernah diangkat ginjalnya. Kalau ndak salah waktu remaja.’
‘Lalu keluarga bapak tidak mampu membeli ginjal dari bank ginjal yang tidak ada di Indonesia? Trus, saudara bapak yang mandul ini yang menyumbangkan ginjalnya?’
Aku nyerocos tanpa sanggup dibendung. Kisah semacam ini kerap aku saksikan di televisi. Hanya di layar kaca. Cibiran kerap aku perlihatkan kala menonton tayangan serupa. Sinetron banget sih, produser acaranya kurang kreatif, dan lain sebagainya.
Dan kini, anggukan setuju kepala bude seperti palu godam yang menghantam kepalaku. Bertubi-tubi, tanpa aku bisa mengelak sama sekali.
Kelanjutan kisah drama hutang budi ini tak perlu lagi aku dengar dari bude. Aku dapat menebaknya sendiri. Dan bude, ia membisu sambil menghela nafas panjang.
‘Apa yang terjadi semua sudah digariskan yang di atas, Nduk.’ Bude membelai rambut sebahuku. ‘Tidak ada yang perlu disesali’, lanjutnya.
*
Santi merasakan beban di pelupuk matanya. Ia kembali melirik jam digital laptopnya. Pukul 12.07. ia mematikan layar laptopnya untuk pergi ke kamar tidur. Televisi di depan Anto masih menyala. Sementara sang penonton sudah tertidur pulas di sofanya. Santi ke kamarnya mengambil selimut, menutupkan selimut tersebut ke tubuh Anto, kemudian mematikan televisi. Sebelum ia naik tangga yang menuju ke kamar tidurnya, ia menyempatkan diri untuk mengecup dahi Anto perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar