Jumat, 06 Januari 2012

EMPAT


Kafe di dalam mal selalu begini gerutu Santi. Kurang private. Pengunjung bak ikan di dalam akuarium. Mereka datang, duduk di dalam kafe sambil ngobrol, dan menjadi tontonan pengunjung mal yang lalu lalang. Santi telah mengusulkan pada Irma untuk memilih kafe yang lain, bukan yang ini. Ahh…sekian lama Santi berpisah dengan Irma, teman SMU nya ternyata memberikan jarak yang berarti mengenai selera. Terakhir
Santi bertemu Irma sewaktu kuliah semester 2, di rumah seorang teman kuliah Irma. Ah ya, bahkan di pertemuan mereka kala itu pun Santi dan Irma tidak membicarakan masalah selera, tempat makan yang disukai dan lain sebagainya.  Sebagai sesama mahasiswa yang masih menggantungkan uang kuliah dari kiriman bulanan orang tua, tabu rasanya membicarakan selera tentang tempat makan dan hang out. Berbeda jauh tentunya dengan sekarang.
Satu hal yang belum berbeda dalam persahabatan mereka adalah Irma yang selalu membiarkan Santi menunggu dalam setiap janji bertemu.
Santi mengutak-utik telepon genggamnya. Kepulan asap dari cangkir berisi coklat hangat di hadapannya mulai menipis. Irma belum juga terlihat batang hidungnya. Mengapa makhluk yang satu ini sulit sekali berubah. Apakah suaminya tidak mengeluh dengan kebiasaannya yang satu ini? Santi belum pernah mengenal suami Irma. Lelaki seperti apa yang dapat membuat Irma bertahan dengan kebiasaan lamanya yang selalu membiarkan waktu yang dimiliki orang lain terbuang percuma. Seperti inikah yang disebut pasangan yang harmonis? Yang meleburkan dirinya pada kebiasaan buruk pasangannya? Fiuhh!
Tapi untuk apa mempertanyakan waktu, toh sekarang baik Santi maupun Irma sama-sama memiliki waktu berlebih. Bagi Santi, menjadi wanita yang pernah menghabiskan waktunya selama 8 hingga 10 jam di kantor, menjadi ibu rumah tangga serasa meletakkan dirinya pada sebuah dimensi dimana sehari semalam ditetapkan lebih dari 24 jam.
Di menit ke 60 dari waktu yang telah disepakati untuk bertemu, Santi enggan untuk menelpon Irma lagi. Lebih baik menggunakan waktunya untuk berjalan-jalan. Hari ini genap sebulan semenjak dirinya berhenti bekerja sebagai salah satu manager di sebuah perusahaan swasta.
Hanya beberapa saat setelah Santi berdiri dari kursinya hendak berjalan-jalan di mal, sebuah ketukan sepatu dalam irama cepat menyentuh lantai kafe. Bukan dari jenis ketukannya yang membuat Santi yakin temannya yang ditunggu telah hadir. Tapi dari hembusan angin ketergesaan yang selalu mengiringi kemanapun temannya yang bernama Irma ini pergi.
“Sorry…sorry…biasaa ibu rumah tangga lain dong dengan wanita karir yang terbiasa menepati waktu,”ujarnya membalas sapa Santi yang berupa pelukan hangat.
Santi membiarkan temannya berkilah dengan alasan apapun. Ia tahu mereka berdua merindukan saat-saat seperti ini.
“Maaf banget ya Santi…ini tadi bener-bener deh…masak taksi yang udah aku pesan 2 jam sebelum waktunya akhirnya tidak juga datang. Aku terpaksa cari taksi lain deh dipinggir jalan. Trus udah gitu taksi pertama yang aku dapat ternyata mau pulang ke pool nya di daerah Tangerang. Yah..terpaksa nunggu lagi nunggu lagi…”
Santi tersenyum. Apapun yang terjadi saat ini tidaklah lebih penting dari pertemuan dua orang sahabat yang telah lebih dari 5 tahun terpisah.
“Mau minum apa? Aku udah pesan hot chocolate duluan nih!”
“Ok. Aku pesan dulu yah…langsung ke mas itu aja yang berdiri di dekat kasir biar cepet”
Dalam waktu singkat Irma telah tergopoh-gopoh menuju kursinya dengan membawa mocha cappuccino with ice pesanannya.
“Kelamaan kalau tunggu diantar! Well, Santi temanku yang manis…how’s everything?”
“As you wished, my dear Irma…am so much fine!”
 “You don’t look like ‘really fine’, Santi. Tell me if I were wrong!”
Santi dan Irma saling pandang kemudian tertawa. Entah mentertawakan apa. Yang jelas mereka hanya ingin merasa bahagia. Sesederhana itu. Seolah segumpal beban yang menggelayut di pundak mereka terlepas perlahan.
“Kamu bisa aja, Ir,”ujar Santi.
“Apa sih yang aku nggak tahu tentang sahabatku yang satu ini?”
“Sok tahu kamu!” sergah Santi.
“Kamu belum cerita siapa pria yang beruntung telah berhasil mempersunting putri Santi”
“Kamu juga belum, Ir..”
“Ok, now who gonna be the first storyteller” Tanya Irma tak sabar.
“I believe that my story is nothing compared to princess Irma’s story. So just go ahead, my friend,” Santi menutup tanya jawab singkat ini.
Mereka kembali saling pandang. Seolah mengukur seberapa jarak yang akan dibuat oleh masing-masing dari mereka tentang dirinya dan yang ingin diceritakannya. Mencoba meraba bagian mana yang layak dan tidak layak diceritakan.
“Memang kamu belum pernah tahu tentang Bima ya San?”
“Kamu berharap aku tahu dari siapa? Angin? Atau siapa? Kan kamu sendiri yang selama ini diam”
“Ok, let me start my story…jangan ngantuk ya kalo ceritanya belum selesai…”
“Irmaa..Irma…ini yang aku suka dari seorang Irma sejak pertama kali kenal. Paling suka becanda, sok misterius tapi pandai memberi kejutan,” Santi menggelengkan kepala tak habis pikir.
“Aku kenal Bima dari teman kerjaku dulu. Perkenalan pertama adalah selepas aku lulus kuliah. Yang aku lihat dari Bima…dia itu tipe yang bertanggung jawab. Aku dan keluargaku tahu dari keseriusan sikapnya waktu melamarku tak lama setelah kami berkenalan. Kira-kira setahun setelah pertemuan pertama kami…”
“Trus yang buat kamu kepayang apa nih?” Santi berbicara sambil mengerlingkan matanya. Ia tahu tidak sedikit pria yang mencoba mendekati Irma. Irma wanita yang menyenangkan dan cantik menurut Santi. Cara bicaranya yang ceplas-ceplos dan mudah bergaul dengan siapa saja menjadi nilai tambah tersendiri. Belum lagi pergaulan luas ayahnya yang bekerja sebagai pejabat di sebuah kantor pemerintah dan ibunya yang menyibukkan diri sebagai agen property yang sukses. Oh ya, satu lagi, Irma sejak remaja adalah ‘cewek gaul’ yang update terhadap the latest fashion style. Sungguh kombinasi yang lebih dari cukup untuk membuat pria mapan di ibu kota ini tak punya alasan untuk tidak menyukainya.
“Bima anak temannya papa, San. Tapi bukan itu yang membuatku mantap menjalin hubungan dengannya…”
“Lalu?”
“Dia tampan! Hehe..gak lah..”
“Memang kenapa kalau dia tampan lalu kamu jatuh hati? Wajar kan? Heyy, jadi orang nggak usah berlagak nggak enak kalau pilih cowok karena ganteng. So what gitu loh… biar aja!”
“Nggak, San.. Mmm…maksudku dia memang cukup ganteng tapi yang membuat aku memilihnya adalah karena ia sanggup menghadapi sifatku yang kadang kelewat keras kepala. Kebayang nggak sih Santi di kepalamu, aku, yang selama ini tidak pernah menyerah kalau merajuk, tiba-tiba saja seperti tersihir dihadapannya? Menurut begitu saja dengan segala keinginannya?”
“Pernah. Tuh waktu kamu merajuk meminta aku datang di acara ulang tahunmu sewaktu aku masih kuliah di Jogja. Aku akhirnya tetap nggak datang kan…” Santi sengaja menggoda Irma yang tengah sibuk dengan euforianya.
“Ya..ya..mestinya dulu kamu ya yang aku pilih jadi suamiku. Kamu sih nggak buru-buru ngelamar,”ujar Irma tak mau kalah.
Mereka saling mentertawakan. Irma tahu betul temannya yang berkantong pas-pasan selama kuliah di luar kota itu bukan tidak mau menghadiri acara ulang tahunnya. Keadaan keuanganlah penyebabnya.
“Ir, kalau ingat kejadian itu, aku sesungguhnya menyesal. Jangan ge er dulu ya…bukan menyesal karena tidak datang ke acaramu, tapi menyesal telah menolak pemberian uang saku orang tuaku waktu itu. Yahh..kamu tahu sendiri lah bagaimana hubunganku dengan bapak ibuku selama aku kuliah,” helaan nafas Santi terdengar hingga ke telinga Irma kali ini.
“Tidak ada yang perlu disesali, Santi…percayalah. Sekali lagi Tidak-Ada-Yang-Perlu-Disesali,”tegas Irma.
“Our life must go on, apapun yang terjadi pada masa lalu kita,”lanjutnya.
Santi menyerah. Andai Irma tahu segala yang dirasakannya waktu itu. Kecewa. Itulah kata kuncinya. Mungkin Irma pernah mengalami kekecewaan. Tapi sepadankah dengan yang dialaminya?
Hening tiba-tiba. Hanya suara gelas yang diletakkan Irma kembali ke tempatnya menimbulkan sedikit suara.
Tak lama sebuah suara memecah keheningan. Santi segera menyadari telepon genggamnyalah yang berbunyi. Nama Anto tertulis di layar.
“Halo, Say…ini lagi sama Irma. Udah makan?”
Suara di Anto yang berteriak terdengar hingga ke telinga Irma.
‘Kamu gimana sih! Kan aku udah bilang hari ini saatnya bayar listrik. Kenapa jalan-jalan di mal jadi lebih penting?’
“Duh, maaf! Aku lupa… Bener-bener lupa… Aku bayar besok pagi. Sekarang udah sore…”
Santi berusaha menjauhi Irma. Ia merasa suara Anto yang membahana akan menimbulkan pertanyaan di benak Irma.
‘Untuk apa kamu berhenti kerja kalau tidak ada yang terurus di rumah kita!’
Hati Santi seperti ditusuk sembilu.’Sudah, Anto, aku mohon…’
Sambungan telepon diputus tiba-tiba.
Haruskan Anto bersikap seperti ini untuk sebuah kesalahan kecil yang dilakukannya? ‘Untuk apa berhenti bekerja??’ Untukmu, Anto, untuk Kita! Terlalu sulitkah hal seperti ini kamu mengerti? Tidak adakah sedikit ruang bagiku untuk beradaptasi dengan kondisiku yang jauh berbeda sebulan belakangan ini?
Wajah Santi memucat. Buku-buku jarinya terasa linu. Kebiasaan lamanya yang mulai hilang kembali dilakukannya. Melipat-lipat buku jarinya hingga berbunyi. Irma pura-pura tidak memperhatikan Santi. Irma iba, tapi belum ingin berprasangka apapun pada kondisi Santi saat ini.
Santi tidak benar-benar mengerti seberapa wajar reaksi atas kemarahan Anto saat ini. Yang pasti gurat penuh kekhawatiran terpancar dari wajah Irma. Santi ingin menutupi ketakutannya. Tapi tak sanggup. Baiklah, sepertinya lebih baik pertemuan ini segera disudahi. Sudah lebih dari setengah jam mereka berbincang. Sudah cukup, pikir Santi.
“Ir, kamu nggak keberatan kan kalau pertemuan ini kita lanjutkan minggu depan? Aku masih kangen…bener…tapi…aku harus buru-buru pulang”
“Yuk kita pulang. Aku juga mesti kerjakan sesuatu”
Setahu Irma, Santi adalah wanita yang tegar. Bukan seperti yang ia lihat barusan.
‘Is that you, Santi? Or, I just met another person?’ Irma terpaku memandang punggung Santi yang berlalu cepat dari hadapannya.
*
Pukul 8 malam. Suara mobil Anto memasuki garasi rumah. Ketegangan kembali dirasakan Santi. Buku-buku jarinya terasa linu. Santi berharap Anto melupakan kejadian tadi siang. Kemarahannya pada Santi. Suara kerasnya yang dirasa Santi terdengar oleh Irma. Santi kalut mengingatnya. Ia ingin bersembunyi. Tapi dimana? Pintu garasi tertutup. Ipah, pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Santo dan Anto semenjak mereka menikah telah hafal dengan segala ritual pulang kerja Anto. Membukakan pintu, menutup garasi sekaligus mengunci pagar luar rumah tersebut dan kemudian membawakan tas kerja Anto masuk ke dalam rumah. Ritual yang masih terus dilakukannya semenjak Santi masih bekerja di kantor hingga kini.
Santi menyambut tas kerja Anto yang dibawa Ipah dengan kikuk memasuki ruang makan. Ruangan dimana terdapat sebuah meja kecil tempat biasanya tas kerja Anto diletakkan sebelum dimasukkan oleh empunya ke dalam kamar. Santi membawa tas kerja Anto langsung ke dalam kamar. Ini pertama kali Santi melakukannya. Setidaknya, sebuah usaha untuk memperbaiki keadaan.
Santi tersenyum menyambut Anto. Tenang, Santi, kuasai ketakutanmu. Anto belum tentu marah, ia hanya kelelahan dan membutuhkan kelembutan. Teh manis sengaja dibuatnya untuk Anto hirup dalam keadaan hangat. Anto mengecup dahinya perlahan. Santi memejamkan mata. Sebuah getaran merasuki hatinya yang baru saja terluka. Anto tidaklah seperti yang ia duga tadi siang. Ia keliru menempatkan perasaannya. Jiwanya terlalu rentan oleh sesuatu yang bernama ‘pertengkaran’,’teriakan’, ataupun segala yang serupa dengan amarah. Atas nama apapun itu.
“Say, ada teh hangat. Diminum dulu yuk, aku temani,”Santi berkata sambil melingkarkan tangannya ke pinggang Anto sembari menyandarkan kepala di bahu suaminya.
Mereka kini berada di ruang makan. Rumah mungil nan asri mereka adalah sebuah bangunan dengan gaya minimalis yang menempatkan ruang makan berdekatan dengan tangga menuju kamar tidur. Santi duduk di hadapan Anto. Memandang suaminya menyesap perlahan teh manis hangat buatannya adalah kenikmatan tersendiri. Selang sekian detik, Anto tampak jauh lebih rileks. Teh manis konon dipercaya mampu melancarkan peredaran darah dan memberi sensasi tersendiri bagi mood seseorang.
“Sudah makan?”
“Sudah. Tapi masih lapar kalau dekat kamu” ujar Anto disertai senyum nakal.
Santi tak membiarkan kesempatan ini terbuang percuma. Ia membalas senyum nakal Anto dengan kedipan mesra.
Tanpa banyak kata terlontar sesudahnya, Santi berlari kecil menaiki tangga menuju kamar tidur diikuti Anto.
Malam itu langit bertabur bintang. Menemani sejoli yang tak jua lelah melantunkan nada-nada cinta dalam bahasa tubuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar