Kamis, 05 Januari 2012

TIGA


Ada sebuah sudut di relung hati tiap manusia yang konon berisi sisi gelap dalam dirinya yang mana manusia tersebut tidak ingin siapapun tahu. Sudut itu menyimpan rahasia yang terkunci rapat. Serapat keinginan sang manusia untuk melupakannya. Ia menyediakan ruang sempit, gelap, namun menjanjikan untuk senantiasa ditengok dan didiami kapan saja selama apapun itu. Ia tak pernah menolak bila sang majikan yang bernama
manusia itu memaksanya untuk segera menyediakan tempat yang lebih luas daripada sebelumnya. Ia akan melakukannya dengan senang hati. Meski demikian, ia juga tak pernah keberatan bila setiap saat dirinya mendapat pengurangan porsi ruang karena sekat. Sebuah sekat seringkali dibutuhkan untuk mempersempit ruang gerak, membatasi, atau sekedar menyediakan sebuah sudut baru bagi pendatang. Tidak pernah ada yang dapat menduga termasuk jenis apa sang pendatang yang membutuhkan sedikit ruang itu.
Meski demikian manusia adalah makhluk sempurna. Sudut yang berisi sisi gelap tahu itu. Dan ia akan selalu menjadi pelengkap untuk kesempurnaan yang ada pada setiap diri manusia.
Dahulu tempatnya meringkuk saat ini adalah tempat bersembunyi yang paling mudah ketahuan oleh teman-teman bermainnya. Sewaktu SD, rumahnya adalah tempat berkumpul teman-teman perempuan sekelasnya yang ingin bermain sepulang sekolah. Biasanya, sepulang sekolah, masing-masing temannya berganti pakaian dahulu sebelum akhirnya menghabiskan waktu hingga sore hari di rumahnya yang nyaman. Sebagian teman menyebut tempat tinggalnya sebagai ‘rumah hijau’. Itu karena jumlah tanaman yang menghiasi bagian pekarangan depan rumah yang jumlahnya cukup untuk menutup dinding rumah yang berwarna coklat muda menjadi terlihat sangat hijau. Anak-anak seumurnya waktu itu suka meluangkan waktu bersama di rumah hijau karena dua hal. Sarana bermain petak umpet cukup banyak dan rindangnya tanaman yang ada mengurangi panasnya suhu udara siang hari. Sungguh menyenangkan.
Tempat meringkuk yang diceritakan sesungguhnya adalah ruang sempit yang terbentuk karena jarak antara tempat tidur kuno peninggalan neneknya setelah meninggal dunia dengan sebuah lemari pakaian kuno yang tidak kalah tua. Kedua benda tersebut berumur kurang lebih sama dengan usia ibunya. Letak kedua benda tersebut berjarak kira-kira 60 centimeter. Sesuai untuk tempat bersembunyi.
Sampai dengan lulus SMP, tempatnya meringkuk saat ini menjadi sarana untuk beragam kegiatan yang ia lakukan di rumah. Bersembunyi dari kejaran teman yang mengajak bermain petak umpet sudah pasti. Meski kurang tersembunyi dan sering membuatnya paling dahulu ketahuan, ia tetap mengidolakan tempat ini. Selain itu, celah tersebut juga kerap dijadikan tempat untuk menyimpan ‘benda-benda berharga’ yang ia tak ingin orang tuanya tahu. Benda-benda itu diantaranya adalah hasil prakaryanya sendiri yang berbentuk macam-macam. Kadang awan, kadang binatang, pernah juga mobil. Semua dibuat dengan satu tujuan yaitu sebagai hiasan kartu ucapan. Ia paling suka memberi selamat kepada teman atau saudaranya dengan mengirim kartu ucapan. Kartu ucapan memberi kesan tersendiri. Berbeda dengan suara lewat telpon yang kesannya menguap secepat sambungan telpon itu diputus. Ia sering berandai-andai kesukaannya membuat kartu ucapan ini karena ia suka dengan sebuah hubungan indah nan romantis. Sebagai seorang anak tunggal, ia kerap kesepian. Kartu ucapan yang dihias dan disediakan untuk orang tuanya, beberapa teman dan sanak saudara seolah mewakili kehadiran mereka yang ia rindukan keberadaannya.
Merindu adalah keadaan yang selalu didamba kehadirannya oleh dirinya. Meski dalam waktu bersamaan ia kerap dibuat tidak mengerti oleh keindahannya. Setidaknya saat ini. Saat yang disebut rumah bagi dirinya hanyalah sebuah jarak sekitar 60 centimeter antara tempat tidur dan lemari pakaian.
Ia bukannya sedang mendengar suara piring pecah yang sengaja dibanting. Bukan pula dentuman pintu yang ditutup paksa dengan kasar. Ini berbeda. Ini adalah nyanyian yang didendangkan di telinganya hampir setiap hari semenjak ia dinyatakan lulus SMU. Sebuah lagu tentang kemurkaan tak berbatas dari kedua orangtuanya. Ia ingin ini segera berakhir. Namun Tuhan rupanya berkehendak lain.
“Apa lagi yang salah sekarang?” suara keras seorang pria terdengar.
“Santi mestinya bisa mendapat pendidikan lebih baik seandainya kamu bisa lebih cermat menata keuangan rumah tangga kita. Aku kerja. Aku berhak membelanjakan uang hasil kerjaku sendiri. Kamu harusnya mengerti berapa banyak kontribusi kamu dikehendaki di rumah ini,” kali ini sebuah suara wanita menjawab.
“Mencari pekerjaan baru itu lain halnya dengan berfoya-foya meminjami saudara dan teman-temanmu uang. Aku nggak habis pikir. Apa keluargamu ini tidak lebih penting dari kepentingan mereka?” lanjutnya.
“Berapa kali aku mesti jelaskan. Saudara dan teman-teman yang dahulu pernah aku pinjami uang itu memang benar-benar membutuhkannya. Itu sudah lama, Ana. Kenapa mesti diungkit-ungkit lagi? Apa hubungannya dengan pendidikan Santi sekarang? Lihat, dia baik-baik saja kan?”
“Kita ini sudah lama hidup dan tinggal di Jakarta, Pak. Bapak harusnya tahu kalau biaya hidup disini itu tinggi, lain dengan di daerah. Persiapan dan perencanaan, Pak…itu yang ibu maksud.”
“Lalu kenapa jadi uang yang dipinjam saudara dan teman yang dijadikan masalah? Kalau kamu merasa pintar karena kantormu mempercayakan posisi manager sama kamu, lalu kemana hasil kerja kerasmu selama ini! Menguap kemana? Aku bukan mempermasalahkan berapa uang yang kamu belanjakan tiap bulannya dan jumlah tabunganmu, tapi… Hahh, sudahlah! Selalu berakhir begini!”
Hening tiba-tiba. Mungkin salah satu dari mereka meninggalkan ruangan.
Ia tahu ayahnya tidak bermaksud memboroskan uang. Tidak ada yang menyangka setelah sekian banyak dana digelontorkan dari kantung keuangan keluarganya untuk sanak saudara yang membutuhkan ternyata ayahnya tidak dapat penghasilan tetap lagi. Kehilangan penghasilan tetap bukanlah satu-satunya penyebab pertengkaran dan perang dingin tanpa henti ini.
Ia tak habis pikir bagaimana dahulu orang tuanya memutuskan untuk hidup bersama. Ibunya yang selalu memandang sebelah mata terhadap keluarga besar ayahnya kini mempunyai alasan yang kian kuat untuk menyudutkannya. Belum lagi kalau mau dihitung berapa banyak analisa yang dibuat ibunya tentang hubungan antara sifat, keturunan dan pola didik. Ibunya menganggap keluarga ayahnya memberi kebebasan terlalu banyak terhadap anak-anaknya. ‘Tahukah Santi mengapa si A bercerai hanya dalam waktu setahun setelah menikah?’, lalu ‘Ketergantungan pada narkoba itu kan sesuatu yang tidak sulit dihindari seandainya si B mau meluangkan lebih banyak waktunya di rumah’, ‘Seandainya si C mau lebih banyak memanfaatkan waktu luangnya, mungkin karirnya lebih baik dan tidak perlu menggantungkan hidupnya pada kita’. Si A, B dan C hanyalah sebagian dari sekian banyak contoh anggota keluarga besar ayah yang menurutnya membutuhkan perbaikan dalam banyak hal dihidupnya. Tidak dapat dijadikan contoh sama sekali. Berbahaya untuknya. Demikian menurut ibunya.
Sementara ayahnya menghujaninya dengan beragam kekurangan wanita bekerja yang menurutnya sebagian besar mempunyai semacam kebanggaan kosong. Ayah yang biasa dipanggilnya Bapak ini tidak ingin melarang ibunya bekerja. Itu yang selalu dikatakannya. Tapi mengapa kemudian ibunya pada akhirnya hanya merasa bagai seorang pelari yang harus memenuhi segudang target yang dicanangkan oleh pelatihnya tapi selama pemenuhan target itu kakinya diikat?
Ia tidak pernah lagi menghitung berapa kali pertengkaran semacam ini terjadi dalam seminggu. Yang ia lakukan hanya satu, segera memposisikan dirinya meringkuk dalam ruang 60 centimeter itu setiap kali terjadi. Sejak pertama kali pertengkaran itu didengarnya secara intensif, ia mempunyai banyak pertanyaan tentang arti ‘merindu’. Merindu yang menurutnya dahulu adalah keinginan untuk saling bertemu, kini berubah menjadi keinginan untuk menghindar. Diantara rasa sayang dan keinginan untuk selalu mendapatkan kehangatan, ternyata terselip rasa saling membenci dan akhirnya menyisakan keinginan untuk menjauh. Itu yang ia rasakan setiap kali ia mengukur jarak antara dirinya dan kedua orang tuanya.
Namun adakalanya yang terjadi bukanlah sebuah pertengkaran, tapi semacam penyesalan dari masing-masing pihak atas keputusan yang telah mereka ambil jauh sebelum kelahirannya.
“Kamu tahu, Santi, kenapa kamu tidak punya adik atau kakak?” tanya ayahnya yang biasa dipanggil Bapak suatu hari.
“Karena Ibu kesulitan waktu melahirkan aku…dan itu menyisakan trauma,”ujarnya pasrah.
Tarikan nafas bapak kali ini dirasakannya seperti udara panas pada waktu langit dipenuhi awan mendung. Awan mendung sudah menjadi kewajaran di rumahnya saat ini. Tapi udara panas yang terjadi sebelumnya adalah hal terakhir yang ingin dirasakannya sebelum hujan benar-benar turun.
“Lebih dari itu, Santi…seandainya kau tahu…”
‘Untuk apa aku tahu’, bisiknya dalam hati. Agar sebuah pembenaran dapat dilakukan? Mereka adalah kedua orang tuaku. Makhluk Tuhan yang menyebabkan aku ada dan berhak mendapatkan kebahagiaan di muka bumi ini. Mengapa sekarang mereka seolah sibuk menyesali keberadaanku karena menjadikanku subjek sekian banyak pertengkaran? Kemudian memintaku untuk menyetujui argumen masing-masing dari mereka? Perdebatan singkat dalam dirinya kerap memintanya berlalu dari hadapan orang yang mengajaknya berbicara saat ini. Namun logika tak jarang mengalahkan keinginannya itu. ‘Santi, bila kau dapat melihat keburukan sebagai bagian dari proses alami dari kematangan berfikir seseorang, mengapa kau harus meninggalkannya?’ Dan kemudian dirinya tetap berada di tempat duduknya untuk mendengarkan sebuah penjelasan.
“Ego, Santi. Ego wanita bekerja. Inilah yang bapak ingin jelaskan… Untuk bekal hidupmu kelak”
Ego apa lagi? Dapatkah seorang pria membandingkan ego nya dengan seorang wanita? Bukan persamaan gender dengan ibunya yang menyebabkan dirinya menolak keadaan ini. Tapi fakta. 
Pada hari yang berbeda, dimana pasangan yang telah bapak nikahi selama lebih dari 20 tahun itu sedang beristirahat setelah seminggu penuh menjalankan tugas gandanya sebagai ibu sekaligus wanita karir ditempatnya bekerja, memanggil dirinya. Rumput di halaman depan rumah sudah mulai meninggi. Ia tak dapat membiarkannya begitu saja. Segera ia melangkahkan kakinya menuju gudang tempat penyimpanan perkakas rumah untuk mengambil pemotong rumput sebelum akhirnya…
“Santi, kemari sebentar Nak, ibu ingin bicara”
Ia tak ingin. Tapi tak mungkin menolak. Suara sandal karet yang dikenakannya waktu berjalan menuju gudang seolah mengingatkan ibunya akan topik perdebatan yang ingin disampaikan hari itu.
“Tidak banyak yang ingin ibu sampaikan, Santi”
Ibu lebih sering mencoba mengerti kebosananku menanggapi perbedaan pendapat antara ibu dan bapak, meski sesungguhnya yang ia bilang ‘tidak banyak’ pada akhirnya adalah ‘sungguh banyak’. Meski demikian, dirinya mencoba memahami. Menelan saja terlebih dahulu semua yang tersedia gratis untuknya. Meski itu hanya berupa kata-kata penyusun kalimat yang dapat saja dibiarkan menguap di udara.
“Suatu saat nanti semua wanita diharuskan menentukan pilihan dalam hidupnya. Ketika saat itu datang untukmu, ibu minta Santi dapat bersikap tegas pada diri Santi sendiri”
“Yang ibu maksud adalah memilih pasangan kita. Berusahalah untuk memilih pasangan hidup yang mempunyai latar belakang sama dengan kita. Tingkat pendidikan, lingkungan pergaulan, bahkan bila memungkinkan juga keturunan dan sanak keluarganya”
“Maksud ibu?” ia mempertanyakan syarat terakhir yang lebih terdengar seperti petuah seorang wanita yang berumur tiga kali lipat dari usia ibunya sekarang.
“Ibu tahu Santi ragu dengan nasihat ibu yang terakhir kan?”
“Ibu ingin Santi belajar dari sekian banyak kejadian yang terjadi dalam keluarga ini. ibu tidak mengerti apakah ini bagian dari kultur lelaki Asia ataukah bukan. Tapi menurut ibu semua hal bisa dibicarakan. Kita hidup di zaman arus informasi sedemikian deras mengalir untuk dipelajari dan kemudian ditindaklanjuti. Laki-laki ataupun perempuan sama saja. Mereka harus dapat mengerti kebutuhan yang satu dengan yang lain dan bukan memaksakannya.”
Bukankan yang mereka lakukan selama ini sebuah bentuk lain dari pemaksaan kehendak masing-masing? Ia hanya diam tanpa keinginan untuk menyanggah. Berfikir namun muak dengan segala bentuk menggurui.
“Lalu?” cuma itu yang keluar dari mulutnya.
“Ini semua bukan masalah materi, Santi. Percayalah… Sulit bagi ibu sesungguhnya untuk menjelaskan karena…karena…ibu sendiri seringkali juga kesulitan memahami perbedaan yang tak kunjung dapat dijembatani ini…”
Seperti yang ia duga sebelumnya.
“Prinsip kita berbeda, Santi. Ibu lelah dengan semua ini,”lanjutnya.
Tak ada seorang pun makhluk Tuhan yang dapat menebak akhir dari sebuah drama kehidupan yang sedang dijalani. Begitu pula dirinya. Kerenggangan hubungan antara kedua orang tuanya kian hari kian melebar. Memberi ruang bagi orang lain untuk mengisi. Nasib baik yang berpihak pada wirausaha tanaman hias yang dimiliki ayahnya tak sanggup menjadi perekat hubungan yang memang sudah retak dan makin lama makin sulit disatukan lagi. Ia berada di antara dua kubu bertolak belakang yang memegang teguh tonggak prinsip hidupnya masing-masing. Ia berharap suatu saat nanti keadaan berpihak pada keinginannya untuk mendapatkan kehangatan dalam pelukan keluarga yang telah lama hilang. Ia tidak ingin putus harapan.
Angin senja kota Yogyakarta kali ini basah. Meniup ujung-ujung rambutnya yang sedikit demi sedikit mulai terlepas dari ikatan kuat sanggul wisudanya. Akhirnya, kota ini memberikan predikat sarjana padanya. Di pelataran aula universitas yang sudah mulai sepi ia berjalan kearah sekelompok orang tua mahasiswa.  Sebagian dari mereka sibuk berfoto sementara sebagian yang lain membantu putra putrinya mengemasi toga yang mulai dirasa membebani sang wisudawan yang terlihat kelelahan.
“Selamat, Santi!” serunya diiringi peluk haru. Lebih dari tiga kali sudah ia memelukku semenjak upacara wisuda dimulai. Ia menerima kelulusanku seolah melepas seorang pelaut untuk merantau ke tujuh samudera. Dan seperti dapat membaca pikirannya, sebuah kalimat meluncur dari mulutnya yang mulai keriput,”Arungi lautan kehidupan ini dengan bijaksana, Santi. Ambil pelajaran berharga dari tiap kendala yang kau hadapi. Ibu tidak dapat lagi menemanimu terlalu lama. Bukalah hatimu untuk seseorang yang menurutmu ia dapat menjadi teman berbagi dalam tiap langkah yang akan kau tempuh.”
Tak lama kemudian, tubuhku berpindah ke pelukan yang lain. Pelukan yang juga menghangatkan tubuhku di sore berangin ini. Seorang wanita berada di dekatnya. Ia meminta maaf untuk perpisahannya dengan ibuku. Ia juga mengenalkan aku dengan seseorang yang keberadaannya baru aku ketahui hari itu.
Ayahku dan istri barunya berdiri di depanku saat itu. Tidak jauh dari ibuku yang berdiri tangguh bak batu karang di pinggir pantai. Perpisahan adalah hal terbaik yang mereka pilih dalam hidupnya. Orang tuaku memilih untuk berpisah. 
Kumpulan air di mataku tumpah tak terbendung. Ada yang mengoyak sanubari saat itu. Terlalu sulit untuk diungkap. Hanya gerak tubuh, tatapan mata dan bibir kelu yang dapat mewakilinya. Sementara, bagian dari diriku yang terus bersembunyi di sebuah sudut sunyi enggan bertanya tentang makna sebuah pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar