Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH EMPAT

Irma mengendap-endap memasuki rumah dimana ia pernah tinggal bersama suaminya, Bima. Pagi hari setelah Bima berangkat ke kantor, pintu pagar memang jarang dikunci oleh pembantunya. Tukang sayur yang biasa mangkal di dekat rumah itu akan memanggil para langganannya di pagi hari sekitar jam 9. Irma sengaja datang pada waktu yang sama dengan saat pembantunya melangkah keluar pagar untuk berbelanja di tukang
sayur.
Santi tidak tega melihat temannya melakukan aksinya sendiri. Ia kemudian mengikuti Irma dari belakang. Begitu Irma memasuki ruang keluarga, Santi berhenti di depan pintu dapur. Cukup sampai disini saja, pikir Santi. Siapa tahu ada tamu yang kehadirannya tidak disangka, siapa tahu lelaki yang disebut bernama Arman itu datang, Santi dapat menghadapinya terlebih dahulu. Santi tidak perduli dengan resiko apapun yang bakal dihadapi dengan janin dikandungannya bila ternyata hal yang tidak diinginkan terjadi. Perasaan senasib antara dirinya dengan Irma telah membuatnya mantap untuk menemani Irma melakukan aksinya di pagi hari ini. Mengendap-endap untuk mengambil semua dokumen yang diperlukan Irma guna mengurus perceraiannya dengan Bima di pengadilan.
Santi mengikuti gerak langkah Irma memasuki ruang demi ruang di rumah itu dengan telinganya. Sejauh ini tidak terdengar apa-apa. Pasti Irma tengah mengambil dokumen-dokumen berharga miliknya.
Kemudian…
BRAKK!!
Sebuah suara keras seperti kursi dibanting terdengar. Santi berlari ke arah suara itu berasal. Ia mendapati temannya terhuyung-huyung mencoba berdiri dengan berpegangan pada sebuah kursi makan disebelahnya. Irma rupanya jatuh menimpa kursi makan itu.
Di hadapannya ada BIMA!
Santi harusnya tidak hanya memandang temannya yang telah mengeluarkan darah dari hidungnya itu begitu saja. Tapi ternyata nyalinya ciut. Bima, dengan pandangan matanya yang garang siap menyerang siapapun yang ada dihadapannya. Tidak terkecuali dua wanita yang ada di ruangan itu bersamanya kini. Santi membayangkan Anto ada disisinya. Membelanya dari serangan membabi buta yang dilakukan Bima terhadap Irma.
Bima mulai berjalan ke arah Irma. Langkahnya perlahan tapi pasti. Seolah hewan pemburu yang buas, ia tahu mangsanya tidak akan bisa berkutik. Aura kebuasannya terlalu kuat. Mengalahkan siapapun yang berniat melawannya. Santi mengumpulkan semua keberaniannya untuk bergerak. Mencari benda keras yang dapat digunakannya untuk membela temannya. Sekaligus membela dirinya sendiri. Sebuah botol champagne yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri berhasil di raih. Tapi, di saat bersamaan, ia tidak mengira Bima telah melompat ke arahnya dan mendorongnya hingga mencium lantai. Pandangannya berkunang-kunang. Selagi dirinya mencoba bangkit, Irma telah berada di belakang Bima dengan botol champagne siap dihantamkan ke kepala suaminya. Santi sempat berteriak,”Irma jangaaannnn!!”
Santi terbangun tiba-tiba dengan nafas yang memburu.
Dirinya bermimpi.
Ia berada di ranjang kamar tidurnya yang kini telah basah akibat keringatnya. Sejenak ia ragu akan mimpinya. Semua berjalan begitu cepat dihadapannya. Mengerikan sekali! Tapi kemudian, saat kesadarannya benar-benar pulih, ia yakin bahwa yang terjadi di hadapannya barusan bukanlah nyata.
Ia bangkit dari ranjangnya, mengatur nafasnya dan bersandar di sandaran ranjang yang empuk. Santi berharap kelembutan kain yang membalut sandaran ranjang ini membantunya mengurangi kegelisahannya. Apa yang ada di dalam mimpinya barusan adalah adegan paling horror yang pernah dilihatnya. Ia meraba perutnya. Mencoba menenangkan makhluk di dalamnya. Adakah makhluk ini tahu yang dirasakannya?
Santi memandang jam dinding di dalam kamarnya. Pukul 8 malam. Tas kerja Anto telah tergeletak di meja kecil di samping ranjang.
Santi bangkit dari tempatnya bersandar dan mulai membereskan satu per satu barang-barang Anto yang berserakan. Adakah Anto sengaja membuat segalanya tampak berserakan supaya istrinya merasa berguna? Santi merasakan kepalanya mulai berdenyut perlahan. Menurut dokter yang mengetahui kehamilannya, hal yang dirasakan Santi dirasakan oleh semua perempuan yang sedang mengandung. Oleh karenanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi ini kehamilan pertama Santi. Ia belum pernah punya pengalaman sebelumnya, juga tidak dapat merasakan kehamilan yang dialami orang lain.
“Segera memberi tahu suami Ibu. Selain kebahagiaan, banyak hal dapat dilakukannya untuk membantu Ibu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi selama proses kehamilan. Kondisi kesehatan Ibu baik. Namun, rasa cemas yang mungkin akan menjadi berlebihan akibat perubahan hormone yang akan banyak mempengaruhi pola pikir ibu muda yang baru hamil untuk pertama kalinya”
Santi ingat betul nasihat sang dokter. Tapi Santi tidak berniat untuk memberi tahu Anto. Tidak. Tekadnya sudah bulat. Keputusan telah diambil. Kabar mengenai kehamilannya akan memporak porandakan rencananya. Ia wanita mandiri, yang dibesarkan tidak untuk bergantung pada orang lain. Dan lagi, dokter telah memberinya pengurang rasa sakit yang aman bagi dirinya dan janin yang ada di kandungannya.  
Selain membereskan kamar tidurnya yang tidak terurus selama kepergiannya, Santi juga mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan untuk mengurus apa yang telah menjadi keputusannya saat ini. Apa yang seharusnya terjadi, sebentar lagi akan terjadi. Dan ia siap dengan segala resikonya.
“Apa kabar, Sayang?” sebuah suara muncul dari belakang.
“Kabar baik,” jawab Santi tanpa menoleh ke arah datangnya suara.
“Cari apa sih, sibuk bener,” Anto berusaha mengajak Santi berbicara meski tidak diperhatikan.
“Tas yang berisi akte kelahiran, surat nikah dan dokumen penting lainnya”
“Aku baru saja memindahkannya…”
Santi menoleh ke arah datangnya suara.
Kini mereka saling memandang. Santi ingin melepas rindu, namun balutan kebencian atas rindu itu lebih banyak menguasai dirinya. Ia membeku di depan Anto.
“Wajahmu keliatan pucat. Kamu pasti lelah. Istirahatlah lagi. Aku tadi melihatmu tertidur pulas pulang kerja… aku…aku senang kamu kembali…”
Santi tidak ingin menjawab. Segumpal air mata nyaris tumpah ke pipinya seandainya ia tidak sanggup mengendalikannya. Kini bukan saatnya bersedih, Santi. Kau harus tegar. Keputusan yang telah kau ambil dengan merenung selama hampir satu minggu ini telah bulat! Santi mendehem perlahan, lalu berkata,”Banyak yang ingin aku bicarakan padamu. Tapi terlebih dahulu aku ingin tahu dimana kau menyimpan dokumen-dokumen penting kita.”
“Di lemari kamar kerja. Di bawah.”
“Baiklah. Aku akan mengambil beberapa yang aku perlukan setelah itu kita bicara”
Anto mengerti, tak akan ada gunanya memaksa istrinya untuk menghentikan aksi misteriusnya malam ini. Ia keluar dari kamar tidur lebih dahulu. Apapun yang akan disampaikan istrinya sebentar lagi adalah berkaitan dengan masa depan keluarganya. Ia harus tenang menghadapinya.
Dilemma demi dilemma telah dilalui Santi dalam hidupnya. Sekarang dirinya harus lebih dewasa menghadapinya. Dulu mungkin ia masih bisa memberikan kelonggaran pada setiap ragu yang menghadang keputusan yang akan dibuatnya. Kini itu semua tidak boleh terjadi. Ia adalah penentu nasibnya sendiri.
Setelah merapikan semua dokumen yang dibutuhkan dan menyimpannya di dalam koper besar miliknya, Santi turun ke bawah sesuai rencananya semula. Berbicara dengan Anto. Tentang hari-hari yang akan mereka lalui nantinya.
Sesungguhnya Santi merasa mual. Obat yang berfungsi mengurangi rasa mual telah ditelannya. Namun rasa itu datang dan datang lagi. Tanpa ia sadari, rasa mual itu menjadi-jadi kala dirinya menuruni tangga untuk menuju ruang keluarga. Buru-buru Santi menaiki tangga dan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya. Ia tak boleh kelihatan kurang sehat, apalagi mual-mual begini. Anto pasti curiga. Santi sudah merencanakan untuk menutup rapat kehamilannya dari Anto.
Anto merasa ada yang disembunyikan istrinya. Ia naik tangga menuju kamar tidurnya dan mendapati istrinya baik-baik saja keluar dari kamar mandi.
“Are you ok?” katanya memastikan.
“I am ok…” Santi menunjukkan wajah ceria seperti biasa.
“Kita bicara disini saja”
“Aku rasa lebih baik begitu,” ujar Anto setuju.
Santi sesungguhnya tidak ingin pembicaraan mereka berlangsung di kamar ini. ia merasa kamar ini selalu berhasil menghipnotisnya untuk ingin berada dalam pelukan Anto. Menawarkan kehangatan tersendiri di setiap dingin yang ia rasakan. Membuatnya kurang yakin akan kemampuan dirinya untuk tegar menghadapi berbagai masalahnya sendiri. Tapi apa boleh buat, resiko ketahuan hamil karena mual kala menuruni anak tangga membuatnya menyetujui ajakan Anto untuk berbicara di kamar ini saja.
“Santi, aku tahu segudang pertanyaan pasti ada di kepalamu sejak beberapa hari yang lalu. Aku senang kamu menjadikan rumah orang tuamu sebagai tempat singgah. Setidaknya menghilangkan kekhawatiran terbesarku untuk kehilanganmu”
Anto memberi jeda pada kalimatnya kemudian melanjutkan.
“Sekarang saatnya dirimu mengerti semua yang terjadi padaku dan Ratri yang sesungguhnya. Semua dimulai dari…”
“Tahukah kamu kekecewaan terbesarku padamu, Anto?” Santi memotong kalimat Anto.
“Karena kamu mendengar cerita yang berbeda dengan yang aku ceritakan padamu…”
“Benar!” Santi menjawab dengan tegas, kemudian melanjutkan,”Adakah yang lebih menyakitkan dari pada menemukan bahwa kita dikhianati oleh orang yang paling kita percaya?? Terlalu sulitkah itu untuk kau mengerti?”
“Aku tidak bermaksud sama sekali untuk…”
“Untuk apa?” Santi kembali memotong,”Anto, sejak pertama kali kita berjumpa, aku telah meletakkan berjuta harap padamu. Pada orang yang bahkan belum menyatakan cintanya padaku, apalagi berjanji untuk menikahiku dan hidup bersama. Belum, Anto. Dan kini aku tahu bahwa perasaanku waktu itu salah!”
Santi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isak tangis mulai terdengar dari balik wajahnya yang tertutup.
“Sekarang, maukah kamu memberiku waktu sejenak untuk menceritakan yang sesungguhnya? Hanya sedikit waktu saja. Dan setelah itu aku tidak akan membiarkanmu untuk mengambil keputusan,” Anto mengiba pada Santi. Anto tidak mengira Santi akan bersikap sekeras ini. Santi yang dikenalnya selama ini adalah wanita yang tegar. Bukan wanita melankolis yang enggan memberinya waktu untuk mengungkapkan sebuah kenyataan.  Andai Anto tahu betapa hebatnya akibat dari perubahan hormonal yang terjadi pada wanita hamil.
“Seperti yang sudah pernah aku ceritakan, kami berpacaran sejak kelas 3 SMU. Semua berjalan normal, hingga suatu kali Ratri harus menerima kenyataan bahwa sel kanker ternyata tumbuh di rahimnya. Ia menceritakannya padaku. Aku berkata bahwa aku dan dia akan menghadapinya bersama. Ia khawatir. Bahkan bisa dibilang lebih dari khawatir bahwa aku akan meninggalkannya begitu saja ketika mengetahui dirinya beresiko kesulitan atau bahkan tidak mungkin mempunyai anak”
“Hari demi hari berlalu. Kami mencari berbagai informasi mengenai pengobatan kanker yang tidak berakibat fatal bagi organ yang lain. Pengobatan alternative dijalani beberapa kali oleh Ratri. Mulai dari pengobatan dengan jamu yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan, hingga obat-obatan pencegah tumbuhnya sel kanker alami yang kami dapat dari teman ataupun situs di internet. Aku mengantar Ratri memeriksakan perkembangan sel kanker yang ada di tubuhnya secara berkala ke rumah sakit. Sampai dengan tahun ketiga semenjak kami berpacaran, sel kanker yang harusnya mengecil atau paling tidak sama dengan sebelumnya karena obat-obatan yang dikonsumsi Ratri, kenyataannya justru membesar. Ratri rupanya lelah dengan usahanya. Ia mulai putus asa”
“Kemudian, apa yang seharusnya tidak terjadi di tahun ketiga kami berpacaran itu akhirnya terjadi. Di tengah keputusasaannya, Ratri menjebakku di rumahnya kala orang tuanya pergi. Ia sengaja membubuhkan obat perangsang di minuman yang aku minum waktu itu. Keesokan harinya ia mengakui perbuatannya, setelah aku dan dia menghabiskan  malam sebelumnya hanya berdua di kamarnya. Ia mengungkapkan kalau keinginannya sederhana, menjadikan aku lelaki pertama yang menjamah tubuhnya. Mengharapkan aku tidak akan pernah meninggalkannya. Selang dua bulan setelah kejadian malam itu Ratri hamil. Ia sangat bahagia, karena selain dapat memaksaku untuk menjadi ayah bayi yang dikandungnya, ia juga dapat membuktikan bahwa sel kanker yang tumbuh di rahimnya tidak berpengaruh pada kemampuannya untuk bereproduksi”
“Terserah mau percaya atau tidak, tetapi setelah kami bermalam bersama di kamar Ratri, aku tidak dapat lagi menaruh hormat padanya. Untuk alasan apapun, tidak seharusnya ia menjebakku seperti itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Di tengah kegelisahanku karena masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan tetap, Ratri mengharapkan kami dapat menjadi pasangan suami istri yang sah. Ya, kami akhirnya menikah tanpa kehadiran orang tua kami. Surat nikah yang kami punya waktu itu adalah karena kebaikan hati seorang teman yang kebetulan dapat mengusahakannya.”
Santi tidak memberikan tanggapan apa-apa atas seluruh cerita Anto yang mengalir deras ditengah gemuruh perasaannya. Ia kini merasa berbicara dengan orang asing.
“Ratri sempat pindah ke Surabaya. Menghindari ayah tirinya yang mata keranjang sekaligus menyembunyikan keberadaan kandungannya.”
Sejenak lubuk hatinya tersentuh dengan sebuah kehamilan yang dirahasiakan. Ia tak habis pikir mengapa begitu banyak kehamilan harus disembunyikan dari khalayak. Termasuk kehamilannya sendiri. Manusia memang makhluk yang aneh. Menggunakan akal dan pikirannya untuk memajukan peradaban dan dalam waktu bersamaan menggunakannya untuk menipu diri sendiri. Santi mendesah perlahan.
Disela-sela segudang pikiran yang berkecamuk di kepalanya, Anto masih melanjutkan kisahnya. Ia bercerita bahwa setelah Ratri pindah ke Surabaya, Ratri sempat berusaha menggugurkan kandungannya karena ia sendiri akhirnya tidak yakin akan dapat membesarkan anaknya dengan keadaan ekonomi yang belum menentu ini. Entah apa yang dilakukannya pada waktu itu, yang jelas, Anto tidak pernah mendapat kabar apapun darinya. Ratri menghilang di Surabaya. Anto berusaha mencarinya kemana-mana, tapi tak seorangpun bahkan teman yang mencarikan tempat tinggal baginya pertama kali di Surabaya pun tidak mengetahui keberadaannya. Anto mengaku meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-waktu seandainya Ratri mencarinya. Tapi Ratri tak kunjung datang padanya. Hingga suatu hari seorang teman dimana Anto meninggalkan nomor teleponnya menghubungi Anto dan memintanya untuk berkunjung ke Surabaya. Ia mengajak Anto mendatangi sebuah klub malam. Tanpa pernah diduga Anto sebelumnya, Ratri ternyata bekerja di sebuah klub malam. Menurut beberapa langganan klub tersebut, Ratri tiap malam diantar pulang oleh lelaki yang berbeda. Entah benar atau tidak. Yang jelas, Anto merasa sangat tidak dihargai. Anto pulang ke Jakarta dan mengganti nomor telepon genggamnya.
Sejak saat itu, Anto tidak mau dihubungi oleh Ratri. Mencoba mengarungi kehidupan yang baru tanpa ada bayang-bayang kehadiran Ratri sama sekali. Ratri tidak lagi menjadi wanita yang layak ditunggu olehnya.
Tapi kedatangan Ratri ke Jakarta 5 tahun yang lalu membuatnya iba. Menyeret Anto kembali ke pusaran kehidupan dan pribadi Ratri yang labil dan selalu meminta perhatiannya.
Wirendra yang pernah dicoba digugurkan ternyata tumbuh menjadi anak yang tampan meski mempunyai kekurangan yang membuatnya tidak dapat disekolahkan di tempat anak-anak normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar