Senin, 09 Januari 2012

ENAM


Lebih dari 30 kartu nama berserakan di meja yang berada di depan televisi rumah Santi. Setelah kurang lebih 2 jam berkeliling di pameran handycfart yang diadakan di Jakarta Convention Center, Santi dan Irma duduk kelelahan di sofa ruang keluarga Santi sambil sesekali memijit-mijit betis mulai mengeras. Ipah, asisten setia Santi di rumah menyiapkan teh dan mendoan hangat untuk majikan dan temannya yang terlihat terkuras
energinya sore itu.
Sepanjang jalan menuju pameran, Santi dan Irma disibukkan dengan segudang rencana yang akan mereka lakukan sepulang dari pameran. Tidak kurang dari 5 jadwal pameran serupa di berbagai tempat telah tersedia di dalam tas Irma.
“Aku tahu bagaimana rasanya berhenti bekerja… So, don’t give up, Santi. You would have another challenge,”ucapnya sambil mengeluarkan beberapa bungkus permen pelega tenggorokan untuk dibagikan ke Santi.
“You look so nervous. Biasa aja kan? Kamu bilang Anto tidak keberatan…” Irma berkata sambil membuka satu bungkus permen untuk diletakkan di telapak tangan Santi yang berkeringat.
Santi masih membisu.
“Look, Santi… perhaps I have too much words to say to you. Tapi kamu nggak bisa ragu sebelum bertindak. Apa yang dihasilkan dari kegiatanmu kali ini sangat ditentukan oleh keyakinanmu terhadap semua yang telah kamu rencanankan. My goodness! Orang sepertimu pastinya sudah seringkali merapalkan apa yang aku bilang tadi kepada anak buahmu dulu di kantor kan?!” Irma masih terus saja mengoceh sembari menebak-nebak jalan pikiran Santi melalui ekspresi wajahnya.
‘Kekhawatiran yang terlalu berlebihan’, bisik Santi dalam hati. Sesaat dirinya ragu. Untuk siapa isi hatinya barusan lebih pantas ditujukan? Untuk Irma, atau dirinya sendiri? Hanya Santi yang tahu.
“Minum, Ir, tehnya, mumpung hangat,” Santi mempersilakan Irma kemudian kembali merebahkan tubuhnya di sofa.
“Ibu mau Ipah buatkan mie bakso? Enak Bu dimakan di cuaca mendung begini,” Ipah menawarkan untuk membantu mengisi perut dua orang nyonya kelelahan yang seperti mau pingsan ini.
“Boleh deh,” sahut Santi.
Tidak lama setelah kehangatan menjalari tubuh Santi dan Irma, semangat untuk melihat-lihat perolehan selama menonton pameran kembali datang. Beberapa kartu nama perusahaan yang didapat Santi ternyata adalah supplier yang menyediakan barang untuk tujuan ekspor. Sebagian dari mereka bahkan mungkin masih mengingat Santi sebagai manager yang tidak jarang membantu pengurusan barang-barang produksi perusahaan mereka untuk dijual ke luar negri. Meski demikian, hampir semua perusahaan yang menghasilkan barang untuk dijual ke luar negri tersebut menghendaki pembelian dalam partai besar. Santi mengesampingkan kemungkinan itu. Banyak yang harus dipertimbangkan apabila ia ingin berdagang dalam skala besar. Hal itu bukan tujuannya. Ia hanya ingin mempunyai kegiatan sampingan yang tidak mempertaruhkan terlalu banyak uang dan tenaga dalam mengelolanya. Ia tidak ingin berorientasi pada hasil yang melimpah. Hasil yang melimpah identik dengan tanggung jawab yang lebih besar. Pengorbanan waktu yang tak henti menuntut untuk dipenuhi. Apa kata Anto nanti? Apa kata keluarga Anto? Dan yang terpenting, apa kata obsesinya kelak? Santi tidak dapat membayangkan dirinya dicibir oleh nuraninya sendiri. Oleh harapan-harapan indahnya akan sebuah perkawinan.
Sebuah perusahaan berkelas CV yang menghasilkan beragam kerajinan dari anyaman bambu menarik minat Santi untuk bekerjasama. Beberapa lagi yang menghasilkan mainan anak dan pernak-pernik perhiasan wanita seperti gelang dan kalung turut ia masukkan ke sebuah kotak yang siap untuk di follow up dalam waktu dekat.
Mendung masih menutup langit Jakarta. Santi duduk di kursi teras rumahnya sambil memandang langit. Irma belum lama berpamitan pulang. Awan hitam nun jauh di batas pandang membentuk gumpalan yang kian pekat.
*
Menurut pengamatan Santi, kepadatan lalu lintas di Jakarta berbanding lurus dengan intensitas sinar matahari di pagi hari. Makin terang matahari bersinar, makin banyak makhluk Tuhan yang menjalani sebagian hidupnya di jalan. Tidak peduli apakah mereka memang makhluk yang diharuskan berada di jalan seharian seperti tukang pos atau pengantar pesanan delivery service ataukah ibu rumah tangga seperti dirinya. Matahari memang memberi banyak harapan pada manusia. Meski Santi bukanlah seorang yang mempercayakan sinar matahari pada kegiatan kesehariannya, tak urung cerahnya matahari di awal Februari kali ini membuat semangatnya meletup.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Anto tentang kemungkinan kegiatan di rumahnya sejak seminggu yang lalu, akhirnya diputuskan bahwa Santi berhak menggunakan sebagian kamar tamu rumah mungilnya untuk dijadikan ruang pamer pernak-pernik jualannya. Brosur pun dirancang untuk disebarkan ke kantor-kantor yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Tidak ketinggalan mini market juga akan ia jadikan tempat untuk mempromosikan toko barunya kelak. Bila pemilik mini market tersebut berniat untuk bekerjasama dengan sistem bagi hasil, Santi berencana untuk tidak menolak. Pangsa pasarnya jelas, anak perempuan yang beranjak dewasa hingga wanita paruh baya yang masih memperhatikan penampilan. Santi juga berencana untuk menyediakan jasa pembungkusan kado seandainya ada pelanggan yang membeli untuk dijadikan hadiah. Kertas kado yang digunakan rencananya akan dipesan khusus bertuliskan nama dan alamat toko. Tidak perlu kertas yang mahal, yang penting target penjualan berulang tercapai. Irma akan didaulat sebagai penasihat utama untuk segala yang berhubungan dengan penataan ruang pamernya kelak. Santi menuliskan segala sesuatu yang telah direncanakan dan dirapatkan berulang-ulang dengan Irma dan Anto ke dalam sebuah organizer yang akan dibawanya kemana-mana nanti.
Ditemani matahari yang sinarnya menabur harap ini, Santi menanti Irma di teras rumah. Santi dan Irma akan melakukan perjalanan ke sebuah produsen kerajinan yang terletak di Bogor. Janji bertemu dengan bagian pemasaran telah dilakukan 3 hari sebelumnya.
Santi sengaja memakai mobil Anto setelah Anto memberi izin. Kebetulan hari itu, Senin, tanggal 4 Februari, Anto mendapat tugas dari kantornya untuk mengunjungi sebuah pabrik di daerah Krawang bersama dengan seorang kolega yang menjemputnya pagi hari.
“Sukses ya, Say,” ujar Anto seraya mengecup kening Santi.
Hati Santi berbunga-bunga hari itu. Kecupan berisi semangat dari suaminya membuat dirinya yakin akan keputusannya kali ini.
Proposal dan surat-surat sebagai kelengkapan yang dibutuhkan telah tersimpan rapi dalam beberapa amplop coklat yang dimasukkan ke dalam map plastik. Tampil sempurna dalam mempersiapkan keperluan administrasi adalah keharusan bagi Santi. Tak sedikitpun kotoran dibiarkan menempel di lembaran proposal maupun  amplop coklat yang melindungi arsip pentingnya.  Irma memandang teman dan sahabatnya ini penuh kekaguman. Irma menduga, semua ini Santi lakukan karena hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun Santi. Kebahagiaan yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya tentunya tidak akan disia-siakan begitu saja, pikir Irma. Irma sengaja tidak mengucapkan selamat ulang tahun terlebih dahulu. Ia telah mempersiapkan sebuah kado mungil untuk diserahkan kepada Santi nanti sepulang dari Bogor.
Berdua mereka melaju di tengah jalanan kota Jakarta yang sudah mulai memadat. Sesuai dengan perkiraan Santi sebelumnya. matahari, sumber segala aktivitas manusia telah disambut oleh gempita kegiatan di awal minggu.
Ditengah jalan, Santi mencoba mengingat sesuatu. Handphonenya. Ia merasa salah satu handphonenya tertinggal di rumah. Ah, sudahlah, toh Anton dapat menghubunginya ke handphone yang saat ini ada bersamanya. Tidak menjadi masalah.
Sepanjang perjalanan Santi memupuk optimisme atas pekerjaan yang akan ditekuninya ini sambil berbincang dan bercanda dengan Irma. Banyak hal ingin Santi sampaikan kepada Irma. Begitu banyak hingga ia tak menyadari bahwa awan gelap mengikuti laju mobilnya dari belakang.
*
“Pak Anto jadi order Tiramisu Cake?” Yuli, asisten Anto menanyakan melalui telepon.
 “Ya ampun, hampir saja lupa. Makasih ya, Yul, diingetin. Jadi. Bisa minta tolong pesankan? Bilang kalau nanti aku ambil jam 6 sore pulang kantor”
“Baik, Pak. Sampaikan salam saya juga ya Pak untuk Bu Santi. Selamat ulang tahun”
“Hahaha…beres, Yul”
Kalau bukan karena tuntutan pekerjaan dan keinginan orang tua, ingin rasanya Anto saat ini berada di depan laptopnya menulis sebuah cerita atau duduk di kursi malasnya di rumah menuntaskan beberapa buku yang belum selesai dibaca. Keinginan itu sementara harus dikubur terlebih dahulu. Ada bagian dari jiwa Anto yang ingin memberontak. Tak bisa. Ia tak ingin mengecewakan orang tuanya. Tapi pekerjaan ini sesungguhnya melelahkan tubuh dan jiwanya.
Pukul 4 sore, Anto dan rombongan yang mengikuti meeting di Krawang tiba di kantor. Langit Jakarta hitam pekat. Hujan besar sepertinya akan mengguyur Jakarta.
Anto buru-buru meminta Yuli untuk memesan taksi untuk mengantarnya mengambil cake ulang tahun Santi lalu pulang. Ia tak ingin istrinya menunggu terlalu lama. Menurut perkiraan Santi, kurang lebih pukul 5 sore dirinya sudah akan tiba di rumah.
“Pak Anto sudah kasih hadiah apa nih pagi tadi buat ibu?”
“Belum, Yul. Kami biasa memilih kado ulang tahun sendiri. Jalan berdua ke mal, lalu pilih sendiri sesuai selera” Anto berdiri disamping Yuli sambil menyerahkan oleh-oleh berupa makanan kering.
“Asyik juga ya, Pak”
Anto tersenyum. Menerka-nerka jawaban Yuli barusan apakah untuk kebiasaannya dengan Santi atau untuk kue kering yang dibelikan untuk cemilan sore hari.
“Ngomong-ngomong, kapan rencana nikah, Yul?”
“Belum tau, Pak. Belum ada rencana. Mau kerja dulu aja…”
“Sampai kapan, Yuul… Perempuan suka keterusan kejar karir loh kalo nggak diingetin bisa…”
“Cheese stick nya enak, Pak. Bapak paling tau deh kesukaan anak buah…”
Yuli sudah mulai mengalihkan pembicaraan. Begitulah perempuan masa kini dengan pendiriannya. Anto tidak ingin melanjutkan pembicaraannya.
“Yul, aku kan pulang awal hari ini. Kalau ada masalah yang mendesak untuk diselesaikan, kamu serahkan ke Pak Wiwid dulu ya. Aku udah bilang barusan sama dia”
“Siap, Pak!”
*
Tidak ada yang menyangka Jakarta akan mendapat guyuran hujan sedahsyat hari itu. Petir menyambar-nyambar. Angin bertiup bak puting beliung yang marah. Santi dan Irma menanti dalam kemacetan di pintu tol dalam kota Jakarta. Hujan deras kali ini terasa menghantam jendela mobil Santi lebih keras dari pada biasanya. Irma sibuk mengirim sms untuk Bima, suaminya, mengabarkan bahwa kepulangannya akan terlambat. Kemacetan yang mereka hadapi berbeda dari biasanya. Terlihat dari beberapa pengendara mobil yang terlihat gelisah sambil sesekali keluar dari mobil yang mereka tumpangi dengan menggunakan payung untuk melihat perkembangan kemacetan yang terjadi. Santi berkali-kali mencoba menghubungi Anto. Gagal dan gagal lagi. Gelisah mulai merajai pikirannya. Irma melalui kado mungilnya yang berisi parfum import 30ml mengingatkannya bahwa hari ini adalah hari istimewa baginya. Tentunya bagi Anto juga. Santi ingat bagaimana ia dan Anto selalu melewatkan hari ulang tahunnya dengan indah. Sederhana namun indah. Santi kecewa dengan dirinya sendiri. Bagaimana ini semua bisa terjadi. Bagaimana ia begitu saja melupakan hari ulang tahunnya dan menganggap kecupan hangat Anto tadi pagi adalah sebuah rutinitas belaka? Pasti orang tuanya dan orang tua Anto menghubungi no handphone nya yang tertinggal di rumah. Ohh..
Mengapa Irma bisa menghubungi Bima sementara dirinya belum juga bisa terhubung dengan Anto? Ah, handphone mereka menggunakan operator yang berbeda dengan Santi dan Anto. Atau, ya Tuhan jangan sampai yang tidak ia inginkan terjadi pada Anto.
“Ir, tolong telponin Anto dong. Nomornya ada di handphoneku”
Irma mencoba membantu temannya yang kebingungan meski akhirnya gelengan kepalanya menjadi jawaban atas keingintahuan Santi atas kondisi Anto.
Anto tetap tidak bisa dihubungi. Anto, dimana kamu? Santi mendesah perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar