Kamis, 19 Januari 2012

TUJUH BELAS


Gerimis mengguyur Jakarta sejak pagi. Santi memandang tetesan air yang jatuh dari langit itu dengan wajah pucat dari balik jendela kamarnya. Beberapa minggu ini hujan yang membasahi tanah di kotanya terjadi di akhir pekan. Langit seperti ingin memahami keinginan manusia-manusia yang kelelahan bekerja selama seminggu akan sejuknya udara pagi yang basah.
Pagi ini dirinya terbangun dalam keadaan kurang enak badan. Tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha menggerak-gerakkan badan, kaki dan tangannya seperti gerakan senam pagi. Kapan terakhir dirinya berolah raga, ia sudah tidak ingat. Kegiatan manusia seusianya mungkin dalam beberapa hal terasa dilematis. Sewaktu sebagian besar waktunya habis di tempat kerja, keluhan akan banyaknya pekerjaan terasa sangat membebani. Tapi harus diakui bahwa setiap pagi dirinya seperti selalu mendapatkan energy tambahan untuk memulai aktifitas. Gerakan-gerakan semacam olah raga ringan kerap dilakukannya. Sepeda statis di rumahnya tidak pernah berhenti dikayuh walau hanya sekitar 5 menit. Dan sekarang, setelah waktu dan kesempatan yang luas tergenggam di tangannya, dirinya justru jarang melakukan aktifitas yang membuat otot-ototnya elastis seperti dulu. Rutinitas yang selama ini dibentuk dan dijadwalkan dengan bantuan deadline dan target, kini tak lagi ada. Yang ada adalah waktu yang berlalu dengan beragam kegundahan yang tertimbun perlahan.
Anto keluar dari kamar mandi dan memandang istrinya yang sedang melamun menatap gerimis di luar rumah.
“Mau jalan-jalan hari ini?”sapanya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
“Kalau kamu mau, aku temani,”jawab Santi lemah.
“Aku nggak ada rencana ke mana-mana sih. Just in case kamu mau jalan-jalan aja,”ujar Anto kemudian.
Santi tidak menjawab. Segudang pertanyaan menghantui dirinya. Tentang Ratri. Juga tentang Anto. Semenjak dirinya menjelma menjadi suaminya di dalam jejaring sosial facebook, ketenangan batin makin jauh dari hidupnya. Mungkin benar apa yang dikatakan Irma tentang resiko keputusannya waktu itu. Keputusan untuk mendua di facebook. Menjadi dirinya sendiri dan menjadi Anto.
“Kok malah diterusin melamunnya?”
Santi terkejut, tidak mengira suaminya memperhatikannya.
“Ngga kok, ngga apa-apa. Kita di rumah aja ya Sabtu ini. Aku lagi kurang enak badan. Malas mau kemana-mana”
“Ohh…udah minum vitamin?”
“Udah, kemarin pagi”
Santi merebahkan kembali tubuhnya di tempat tidur.
“Mau aku pijitin?”ujar Anto khawatir melihat kondisi istrinya yang seperti kehilangan semangat ini.
“Ngga usah. Aku mau tidur lagi aja”
“Ok kalau gitu. Selamat tidur, Sayang,”Anto mengecup kening Santi sebelum akhirnya meninggalkan kamar tidur mereka berduadan menuju ruang keluarga untuk menonton tv.
Santi kini sendiri di kamarnya. Ia gelisah. Ia membolak balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Bagaimana ia akan memulai sebuah ajakan berterusterang akan sebuah masa lalu pada Anto. Siapkah dirinya untuk bertanya pada Anto sekarang? Menundanya adalah memperpanjang resiko ketidaktenangan dirinya. Tapi dari mana ia harus memulai? Pikiran Santi makin kusut.
Santi teringat sebuah pesan singkat di dalam kotak pesan Anto di facebook yang berasal dari Ratri. Ratri menanyakan nomor telepon genggam Anto. Santi tidak menjawab. Belum. Dan memang tidak mungkin ia memberikannya pada Ratri disaat semuanya belum jelas begini. Ataukah ia sebaiknya mengorek penjelasan lebih dalam lagi dari Ratri? Tapi Ratri dengan mudah akan curiga. Anto boleh lupa satu dua hal tentang masa lalunya dengan Ratri. Tapi tidak mungkin melupakan hampir keseluruhan kisahnya dengan Ratri. Itu tidak masuk akal. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya nanti kepada Ratri akan terlihat bodoh. Santi menarik-narik rambutnya sendiri. Ia kesal. Merasa seperti memasuki jalan buntu. Bukan. Ini jurang. Jurang yang menganga di depan matanya. Siap memberinya tantangan untuk terjun bebas ke dalamnya.
Baiklah, sepertinya memang tidak ada jalan lain, gumam Santi.
*
Anto terdiam tiba-tiba ditengah percakapannya dengan Santi di depan tv. Sepertinya ia terkejut dengan pertanyaan yang Santi lontarkan. Pertanyaan yang hanya terdiri dari 3 buah kata. Siapa Ratri Gunawan.
“Darimana kamu tahu tentang dia?”Anto terlihat berusaha tenang.
“Tolong jangan anggap penting dari mana aku tahu tentang dia. Aku menanti jawabanmu,”jantung Santi berdebar kencang.
“Penting untukku tahu”
“Anto, aku mohon…berceritalah terlebih dahulu”
“Baiklah…”
Santi benar-benar dapat bernafas lega sekarang. Sejenak kelegaan penting sebelum ia kembali harus bersiap-siap menghadapi kenyataan yang bisa jadi lebih menghujam jantung pertahanan dirinya.
*
Kalau waktu itu aku diminta untuk memilih siapa yang berada disampingku saat aku mendengar penuturan Anto tentang masa lalunya dengan Ratri, mungkin aku tak dapat menyebutkan sebuah namapun. Ini sulit. Sesulit kenyataan masa kecilku dulu kala aku terpaksa menyadari bahwa keberadaanku di dunia ini hanyalah sekedar pengganti kakakku yang hilang. Ia lah yang selalu dinanti oleh orang tuaku. Bukan aku. Siapa menurutmu yang pantas mendampingiku, yang akan memberikan bahunya untuk kuhujani dengan air mata? Kamukah itu, catatan harianku? Mungkin ya, sepertinya memang Cuma kamu.
Anto berdehem berulang kali dengan wajah kusut sebelum menceritakannya padaku. Hatiku tidak tenang melihat perubahan tingkah lakunya. Siapapun aku rasa akan melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Aku merasa sangat terbebani waktu itu. Padahal belum juga Anto menyebutkan satu kalimat, perutku rasanya sudah memproduksi asam lambung lebih banyak daripada biasanya.
Dan potongan-potongan kisah Anto kemudian mengalir masuk telingaku.
‘kamu mau aku mamulainya dari mana’ katanya. ‘harusnya kamu lebih tahu’ kataku.
‘ia…ia…benar, ia kekasihku’. Kepalaku mulai terasa ditekan oleh sebuah kekuatan.
Anto bercerita bahwa ia dan Ratri resmi menjadi sepasang kekasih waktu mereka sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMU. Benar, mereka satu sekolah. Juga benar, mereka sengaja mengikuti ekskul yang sama agar semakin banyak waktu yang dapat dilewatkan bersama. Mendengarnya saja sudah cukup menyayat hatiku. Meski berikutnya, ternyata cerita Anto dan Ratri tidak sesederhana itu.
Anto menyukai Ratri semenjak SMP. Hmm…tidak aneh. Aku saja merasakan semacam membutuhkan Budi lebih dari sekedar teman sejak SD. Menurut Anto, waktu itu cintanya bertepuk sebelah tangan. Ratri hanya menganggapnya teman biasa. Mereka bersekolah di SMP yang berbeda. Tapi terletak bersebelahan. Kurang lebih 3 tahun, yaitu semenjak kelas 3 SMP hingga kelas 2 SMU Anto memendam cintanya pada Ratri. Aku tertegun mendengarnya. Cinta Anto ternyata bertahan selama itu hanya terhadap satu perempuan. Sementara wajah Anto terbilang tampan. Yang jelas diatas standart rata-rata pria yang pernah aku temui.
Kuakui Ratri pantas mendapatkan cinta terpendam itu. Wajah yang muncul di profil facebooknya menjelaskan itu semua. Tulang pipi yang tinggi, sorot mata yang menawan, kulit kuning langsat dan bibir indah yang sungguh proporsional dengan bentuk wajahnya. Penampilannya sederhana tapi menawan. Dari foto-foto yang diupload oleh Ratri di profil facebooknya, dapat dibaca bahwa ia bukanlah wanita yang mendamba pujian dari orang lain. Yang sengaja mengupload beberapa atau bahkan banyak foto dalam berbagai gaya untuk sekedar memperoleh perhatian. Kalau boleh aku jujur, saat Anto menceritakannya, aku lebih banyak merasa cemburu terhadap karakter Ratri yang tampil baik dari penggambaran Anto terhadap dirinya ataupun dari kesan yang ditimbulkan dari profil facebooknya. Bukan karena kedekatannya pada suamiku dahulu…mungkin hingga kini…aku tak tahu.
Aku menaruh minat pada setiap kalimat yang terlontar dari mulut Anto ketika ia bercerita tentang Ratri, untuk sebuah alasan yang sulit aku jelaskan. Aku membutuhkan kejujuran Anto saat ini. Untuk sementara itu saja yang dapat aku terjemahkan sebagai bagian dari rasa penasaranku atas hubungan mereka.
‘sejak kapan kalian berpisah dan mengapa’ kataku.
Anto kesulitan menjawab. Aku tahu itu. Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata bahwa ia sebenarnya menjadwalkan sebuah janji bertemu dengan bengkel langganannya untuk melakukan perawatan rutin yang penting bagi mobil kami yang setiap hari harus bekerja keras menghadapi kerasnya jalanan di Jakarta.
‘Kalau itu maumu, terserah’ aku tak tahu harus berkata apa.
Ia bergegas naik tangga menuju kamar tidur untuk berganti pakaian. Tak lama aku melihatnya turun masih dengan pakaian rumahnya yang tadi. Lalu katanya…
‘Ternyata besok pagi jadwal service nya, bukan hari ini. Kalau paksa kesana juga penuh bengkelnya’
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk perlahan. Apa yang ada di pikirannya saat itu? Sedemikian bingungkah dia dengan kejutan yang datang dariku hari ini? Aku membaca sebuah gelagat salah tingkah dari dirinya.
Aku mendekatinya yang sekali lagi berjalan menuju tangga rumah, entah untuk apa kali ini. aku menggamit tangannya dan berkata ‘Aku mau cerita tadi kamu lanjutkan. Aku siap mendengarkan’.
‘Benarkah?’ katanya.
‘Ya’ jawabku.
*
Santi menghentikan ketukan jemarinya di atas keyboard laptopnya sejenak. Tubuhnya masih terasa lemah. Nafsu makannya sedikit menurun beberapa hari ini. ia mengambil segelas susu dan meminumnya. Susu rendah kalori yang selalu tersedia di lemari pendingin itu berhasil memulihkan sedikit tenaganya. Kembali ia menuju kamar dimana tubuh dan jiwanya dapat saling bercakap-cakap melalui tulisan. Menutup pintu kamar tersebut kemudian kembali menulis.
*
Anto mengakui, perjalanannya mendapatkan cinta Ratri tidaklah mudah. Meski Ratri telah mengirimkan sinyal seperti yang ditransmisikan Anto selama ini kepadanya, mereka tidak dapat begitu saja menjadi sepasang kekasih. Kurang lebih 3 sampai 4 pria menaruh perhatian yang sama pada Ratri. Sementara Ratri juga belum begitu mengenal Anto, ia sengaja mengambil jarak pada semua pria yang mendekatinya. Seperti membuat sebuah sayembara untuk memperlihatkan kesabaran dan kesetiaan masing-masing padanya. Singkat kata, Anto lah pemenangnya.
Ratri adalah siswi berprestasi di sekolah dulu. Ia juga putri tunggal sebuah keluarga berada. Ayah Ratri adalah pengusaha rumah makan yang cukup sukses, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Kehidupannya yang nyaman dan kecukupan kasih sayang membuatnya menjadi pribadi yang menyenangkan bagi hampir semua orang. Hingga suatu saat ayah Ratri yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia akibat serangan jantung. Keadaan ekonomi keluarga Ratri yang semula tenang berubah drastis. Saat itu Ratri masih duduk di bangku kuliah semester awal. Aset berharga milik ayahnya entah bagaimana dapat dikuasai hampir seluruhnya oleh pamannya yang dikemudian hari harus berurusan dengan aparat hukum. Rumah yang ditempati Ratri dan ibunya hanyalah satu-satunya asset ayah Ratri yang masih dapat diselamatkan oleh ibunya. Selebihnya tidak dapat lagi diandalkan untuk menjadi sandaran hidup. Ditengah goncangnya keadaan ekonomi keluarganya, ibu Ratri menikah lagi dengan seorang pria mapan yang memiliki usaha event organizer untuk berbagai acara mulai dari perkawinan sampai dengan peragaan busana.
Semua orang menyandarkan sebuah harapan indah pada hidupnya. Terlebih saat sebuah kehidupan baru telah dibuka. Namun ternyata kebahagiaan belum dapat dimiliki oleh Ratri saat itu. Pria yang menikahi ibunya menaruh hati pada Ratri, anak tirinya sendiri. Pada suatu malam yang kelam, Ratri harus menentukan apakah dirinya bersedia menyerahkan tubuhnya pada lelaki yang menikahi ibunya atau pergi dari rumah yang telah membesarkannya sejak lahir. Dan ia memilih pergi. Sepucuk surat dialamatkan ke alamat rumah Anto. Surat itu mengatakan dirinya akan mencoba mengadu nasib ke negeri tetangga, Malaysia bersama seorang temannya yang telah lebih dulu tinggal dan menetap disana. Tahun pertama sejak kepergian Ratri, Anto masih sering menerima surat darinya. Sekedar mengabarkan bahwa ia baik-baik saja dan akan segera pulang ke Jakarta begitu perusahaan tempatnya bekerja membuka cabang di Jakarta. Ia berjanji itu tidak akan lama. Kerjasama antara Malaysia-Indonesia untuk bidang usaha komunikasi sudah cukup baik. Dan akan lebih banyak dikembangkan lagi dengan dibukanya cabang dari perusahaan tempat Ratri bekerja itu di Jakarta.
Anto menanti. Bukan satu atau dua tahun setelah surat yang mengabarkan tentang rencana kepulangan Ratri. Tapi lebih. Hingga waktu akhirnya menelan segala kenangan Anto terhadap keberadaan Ratri di hatinya.
‘Kamu mencarinya waktu itu? menanyakan pada orang-orang dimana Ratri tinggal di Malaysia?’ tanyaku. Sebuah janji untuk setia telah terpatri di benak Anto dan Ratri. Tidak akan dapat menguap begitu saja.
‘Ya. Bahkan sampai Malaysia’
‘Hebat’ kataku.
‘Lalu apa yang kamu dapat?’
 ‘Aku cuma memperoleh keterangan kalau ia sudah meninggalkan Malaysia’
‘Bagaimana dengan temannya yang mengajak ke Malaysia?’
‘Ia pun tidak tahu kemana Ratri pindah. Pada temannya, ia pernah menyebut-nyebut Bali adalah tempat dimana ia ingin menghabiskan sisa hidupnya. Tapi tak ada yang tahu alamatnya di Bali. Aku tak tahu lagi kemana mesti mencarinya.’
‘Sekarang ia dapat kau temui, Anto’
Anto diam saja. Aku tahu perasaannya. Pasti sulit sekali menerima kenyataan bahwa wanita yang pernah dicintainya dengan tulus, yang membuatnya menanti hingga ia selesai kuliah tiba-tiba hadir di tengah-tengah rumah tangganya. Di tengah lingkungan cintanya yang baru.
Menuliskan kisah Anto dan Ratri seperti menuliskan kisah cinta dalam dongeng. Tapi ini bukan dongeng. Ini adalah kisah tentang suamiku, lelaki yang telah berjanji dalam hidupnya akan mendampingiku baik dalam keadaan suka maupun duka. Sekali lagi ini bukanlah dongeng.
*
Santi mengambil obat penghilang rasa sakit di dalam kotak obat. Ia menenggaknya dengan segelas air putih, kemudian membuka lemari pendingin. Garang asem yang dibawa Anto untuknya masih utuh di kotak plastiknya. Santi ingin menanyakan satu hal pada Anto mungkin besok pagi sebelum Anto berangkat kerja. Sebuah pertanyaan yang mungkin akan dianggap sebagai pertanyaan terbodohnya kepada Anto sepanjang hidupnya. Ia hanya ingin bertanya, dapatkah Ratri memasak garang asem kesukaan Anto ini seenak masakan ibunya? Apapun jawaban Anton nanti, ia tahu hatinya masih belum lagi selesai untuk terluka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar