Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH DELAPAN

Anto bergegas menuju mobil miliknya begitu jam istirahat di kantornya dimulai. Setelah mengetahui persoalan yang membelit keluarganya dan keluarga Ratri, ia merasa perlu untuk menemui Ratri. Menjelaskan segala hal yang melatarbelakangi dendam yang telah dipelihara Ratri terhadap keluarganya. Anto juga ingin memindahkan Wirendra ke sekolah yang lebih baik karena bagaimanapun juga, Wirendra adalah darah
dagingnya. Ia harus membuat Ratri mengerti bahwa ia berhak atas masa depan Wirendra. Diluar semua rasa benci ibunya terhadap Anto.
Anto membunyikan bel pagar tempat kediaman Ratri. Sekali. Dua kali. Tidak ada seorangpun yang keluar. Anto mendongakkan kepalanya agar dapat melampaui tinggi pagar. Sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia mencoba menekan bel rumah tersebut sekali lagi. Kemudian sekali lagi, sebelum ia akan memutuskan menelpon nomor telepon rumah tersebut siapa tahu ada orang di dalam rumah tapi tidak mendengar bunyi bel yang ditekannya. Atau bel yang seharusnya berbunyi di bagian dalam rumah, entah bagaimana tidak lagi berbunyi. Tetap sama. Tidak ada respon apapun dari dalam. Anto akhirnya menekan nomor telepon rumah itu melalui telepon genggamnya. Berkali-kali nada sambung berbunyi. Tidak ada yang mengangkat. Anto kemudian mencoba menghubungi nomor telepon genggam Ratri. Jawaban yang diterima berasal dari operator telepon selular yang menyatakan bahwa telepon yang dituju tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Anto tidak ingin menyerah. Ia melihat seorang lelaki paruh baya sedang membersihkan teras rumahnya yang terletak di sebelah rumah Ratri persis.
“Selamat siang, Pak. Maaf kalau saya mengganggu,” sapa Anto.
Bapak yang disapa bergeming. Anto bersuara lebih keras agar terdengar lebih jelas.
“Selamat siang, Pak. Boleh numpang tanya?” Anto sampai terkejut mendengar teriakannya sendiri.
Sejenak bapak yang ditanya menoleh. Akhirnya, bisik Anto dalam hati.
“Ada apa ya Nak?”
“Mau numpang tanya, Pak. Apa rumah sebelah ini tidak ada orangnya ya? Dari tadi saya menekan bel tidak ada yang membukakan”
“Rumah Bu Ratri, maksudnya?”
“Iya, Pak. Betul, rumah Bu Ratri…”
“Kemarin bu Ratri dan anaknya mampir kemari, Nak. Dia bilang, ada tawaran pekerjaan di luar kota. Jadi dia pamitan pada kami sekeluarga…”
Oh Ratri, mengapa jurang selalu terbentang diantara kita. Kamu harus tahu yang terjadi antara orang tuamu dan orang tuaku. Kamu tidak bisa selamanya menyimpan dendam tanpa tahu penyebabnya. Anto mengusap-usap dagunya mencoba berpikir apa yang kemudian akan ia lakukan untuk membuka sebuah kebenaran di hadapan Ratri.
“Kenapa, Nak? Sini, duduk dan minum saja dulu. Dari kantor ya?”
“Iya, Pak. Tidak, tidak usah, terima kasih banyak informasinya”
Bapak separuh baya itu dapat membaca kegelisahan Anto yang terlihat dari gerak tubuhnya. Ia memberikan Anto sebuah alamat pembantu Ratri yang sudah diberhentikan karena majikannya pindah kemarin.
“Mungkin ia bisa memberikan alamat baru Bu Ratri,” ucapnya ramah,”Saya semula ingin mempekerjakan dia karena saya dengar kerjanya rapi dan jujur. Tapi rupanya istri saya memandang kami tidak perlu pembantu. Untuk apa keluarga pensiunan punya pembantu. Toh kami berdua sudah tidak ada yang bekerja di luar rumah.”
Anto menyambut kertas berisi alamat pembantu Ratri dengan senyum. Segera ia berterima kasih dan berpamitan. Ia penasaran ingin mengetahui kemana Ratri pergi kali ini.
*
Seorang nenek sedang meninabobokkan cucunya di depan rumahnya. Sebuah bale-bale bambu menjadi tempatnya beristirahat sambil menimang cucunya yang montok. Anto menghentikan mobilnya tepat didepan pagar rendah yang terbuat dari kayu yang sudah mulai melapuk.
“Assalamu’alaikum!” sapa nenek itu sebelum Anto sempat menyapanya terlebih dahulu. Tinggal di kampung memang berbeda dengan di kota. Meskipun kampung tempat tinggal nenek itu masih termasuk wilayang Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta, suasana ramah dan saling tegur sapa terasa sangat kental disana. Berbeda jauh dengan perumahan tempat Anto tinggal yang lebih banyak ditempati oleh pasangan bekerja yang nyaris hanya saling tegur sapa di akhir minggu. Itupun kalau kebetulan berpapasan dan saling pandang.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Anto,”Apa benar ini rumah Mpok Minah?”
“Saya Mpok Minah. Silakan duduk dulu. Saya taruh cucu saya di tempat tidurnya sebentar”
Keramahan demi keramahan yang ditemui Anto hari ini benar-benar menyiram jiwanya yang tengah kusut terbelenggu masalah. Ia seperti disadarkan oleh kenyataan bahwa hidup tidaklah pernah seburuk yang diduga orang. Sekali kita membuka diri untuk berbaik sangka pada orang lain, orang-orang disekeliling kita pun akan melakukan hal yang sama. Kini, bahkan sebelum Anto mengemukakan maksudnya, orang lain telah lebih dahulu menyambutnya dengan hati terbuka.
“Ada yang bisa dibantu?” ia merapikan bantal-bantal usang yang berserakan di bale-bale bambunya.“Rumah mpok begini aja. Di dalam belum dirapiin bekas main cucu-cucu. Disini aja ya Nak ngobrolnya”
“Iya, Nek, disini aja. Nama saya Anto, Nek,” Anto memperkenalkan diri.
“Apa ini Nak Anto yang pernah disebut-sebut Bu Ratri ya…”
“Mmm…iya kali, Nek,” Anto salah tingkah.
“Kalau benar ini Anto yang sering disebut Bu Ratri, saya ada surat untuk Nak Anto yang dititipkan Bu Ratri kemarin”
“I-iya, surat itu untuk saya…,” Anto gugup mengetahui bahwa Ratri meninggalkan surat untuknya.
Mpok Minah masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil surat yang dimaksud. Tidak lama kemudian ia keluar menemui Anto dengan sebuah amplop di tangannya.
*
Anto yang aku cintai,
Sekian lama waktu berjalan telah mempertemukan dan memisahkan kita dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Dalam berjuta rasa yang membuat kita bahagia dan menangis bersama.
Anto, kisah kita penuh luka. Karena sejatinya memang tidak ada kebahagiaan bisa diraih bila kebencian menjadi tonggak awal sebuah kepalsuan. Kepalsuan yang telah aku berikan sebagai balasan atas ketulusan cintamu.
Sepulang dari Bogor bersamamu beberapa hari yang lalu, aku lebih banyak berpikir tentang kita. Tentang masa lalu yang salah. Aku ingin mengulang semua kisah kita dahulu. Memperbaiki keadaan semampu aku. Tapi aku tahu sebaik apapun aku, telah ada Santi yang mengisi harimu. Mengisi penuh sanubarimu dan menutup perih yang pernah kugores di hatimu.
Setelah menjemput Wirendra kemarin, aku berkemas untuk meninggalkan kota ini. Seorang bekas pegawai ayahku dulu menawariku untuk mengelola sebuah rumah makan miliknya di Lombok. Kebetulan yang indah. Tawaran itu datang di saat aku menyadari bahwa aku tidaklah pantas tinggal di kota yang sama dengan seorang yang pernah kukhianati cintanya. Ia, yang dengan hati penuh luka, telah menyadarkanku bahwa kebaikan tidak akan pernah sirna di muka bumi ini selama kita sanggup untuk mengahdapi kenyataan hidup ini dengan senyuman.
Sampaikan maafku sebesar-besarnya pada Santi. Ia lah permata hatimu. Bawalah ia dan hatinya selalu kemanapun kamu pergi. Aku berjanji akan mengusahan pendidikan yang terbaik untuk Wirendra.
Salam,
Ratri Gunawan
Anto menutup surat dari Ratri dan meletakkannya di meja kerjanya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan keinginannya mengeluarkan air mata. Ia belum pernah merasa sehancur ini. Sekarang semuanya terlambat sudah. Santi telah pergi meninggalkannya. Surat panggilan dari pengadilan agama telah diterimanya kemarin. Surat panggilan untuk memenuhi keinginan istrinya untuk tidak bersamanya lagi. Masih ada tahapan mediasi dari pihak pengadilan. Tapi apalah gunanya semua itu bila Santi tidak pernah lagi menghendaki dirinya? Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Menatap langit-langit ruang kerjanya dengan pandangan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar