Selasa, 17 Januari 2012

TIGA BELAS

Rumah dua lantai itu dibangun di atas tanah yang cukup luas. Sekitar 400 meter persegi. Untuk ukuran rumah di kota yang sesak dipenuhi penduduk ini, tanah seluas itu cukup untuk menampung dua keluarga. Namun rumah dimana Anto menghentikan mobilnya kali ini hanya ditempati oleh sepasang suami istri yang telah berumur diatas 60 tahun dan seorang pembantu rumah tangga. Pohon cemara yang terpangkas rapi terlihat
menghias bagian ujung taman di pekarangan rumah tersebut. Rak berisi pot bunga diletakkan secara proporsional di bagian depan dan samping taman. Semua pot berisi beraneka ragam anggrek. Ada yang sudah berbunga, ada yang baru tampak daun. Akar pakis yang menjadi media anggrek tersebut terlihat basah secara merata. Di bagian atas pintu depan rumah tertulis Wirya Atmadja.
Pintu garasi terbuka begitu Anto mematikan mesin mobilnya. Sang pembantu rumah tangga sepertinya sudah hafal betul bunyi derum mobil Anto.
“Eehh..Mas Anto…masukkan saja ke garasi, Mas, mobilnya. Mbak Santi nggak ikut?”
“Nggak, Mbok, ini tadi langsung dari kantor”
“Udah, Mbok, aku parkir disini aja. Nggak lama kok”
Yang dipanggil Mbok langsung menutup lampu pagar dan mempersilakan Anto masuk.
“Ibu sama bapak sedang istirahat ya?” Anto bertanya sambil melirik arloji di tangannya. Pukul 4 sore.
“Nggak kok, Mas Anto. Bapak sedang membaca koran, ibu sedang nonton tv”
Pintu bagian dalam garasi menghubungkan garasi langsung dengan ruang keluarga.
“Eee…anakku lanang to…,”sapa ayah Anto yang langsung meletakkan koran yang sedang dibaca dan berjalan menuju anak laki-laki satu-satunya itu dengan raut wajah bahagia. Ia mengulurkan tangannya pada Anto yang langsung disambut dengan salam takzim penuh hormat dari sang anak. Sesudahnya, Anto melakukan hal yang sama kepada sang ibu yang juga bangkit dari kursinya di depan tv dan bergegas melangkah ke arahnya.
“Tumben Santi nggak diajak,”ujar sang ibu.
“Nggak, Bu, hari ini kebetulan ada meeting di pabrik customer di daerah Kerawang pakai mobil sendiri jadi bisa langsung pulang”
“Kamu sehat, Le? Apa kabar Santi? Kalian udah lama lho nggak mampir”
“Kami sehat, Bu. Bapak ibu bagaimana?”
“Syukur Alhamdulillah sehat, To”
“Sudah bilang sama Santi kalau pulang kantor mau kemari?”
“Belum, Bu. Nggak apa-apa, aku nggak lama kok. Mau tengok bapak ibu aja”
“Mbookk, tolong garang asem yang ibu masak siang tadi di taruh di meja makan, biar Mas Anto makan”
“Ibu masak garang asem? Wow, langsung berasa deh laparnya. Punya firasat, Bu, kalau Anto mau mampir?”ujar Anto sambil memegang perutnya.
“Begitulah, Nak, mungkin semua Ibu memang dianugerahi firasat istimewa tentang anaknya”
Anto segera mencuci tangannya, mengelap dengan serbet makan yang disediakan sang ibu di dekat piring makannya, dan menyendok nasi.
Bu Wirya Atmadja memandang anaknya bahagia. Ingin rasanya meminta semua anak dan keluarganya untuk tinggal saja bersamanya di rumah ini. Memasakkan makanan kesukaan mereka setiap hari, memijit badan mereka yang kelelahan sepulang kerja dan masih banyak lagi. Di saat anak-anaknya pergi bekerja, ia akan menggunakan waktunya untuk bercakap-cakap dengan koleksi anggrek kesayangannya. Menemaninya dan memastikan bahwa seluruh tanaman kesayangannya itu tidak kurang suatu apapun. Selalu saja hal itu yang terbayang dalam benaknya setiap kali anak-anaknya datang berkunjung.
“To, Santi baik-baik saja kan? Dia sudah jadi mengundurkan diri dari tempat kerjanya?”
“Ya jadi, Bu. Dia baik-baik aja kok. Kenapa sih Ibu kuatir gitu?”
“Nggak apa-apa. Sudah lanjutkan saja dulu makanmu. Kalau sudah, ada semangka di lemari es,” bu Wirya Atmadja meninggalkan Anto menuju teras rumahnya yang di lengkapi dua buah tempat duduk terbuat dari rotan.
Tiap sore, itulah yang selalu dilakukannya. Menatap matahari yang beringsut meninggalkan tugasnya untuk memberikan tempat kepada bulan. Entah apa yang ada dipikirannya di saat-saat seperti itu. Mungkin senja telah memberinya banyak arti dalam hidupnya. Bila ada kesempatan merenung, merenunglah. Seperti itulah nasihat orang tuanya dahulu. Yang kini kerap ia dengungkan di telinga anak-anaknya.
“Anggrek belum banyak yang berbunga, Bu?” suara Anto memecah kesunyian.
Sang ibu tersenyum sambil menggeleng pelan,”Belum waktunya saja.”
“To, ibu tanya sekali lagi. Santi nggak kenapa-kenapa to setelah berhenti kerja?”
“Bu, Santi itu kan wanita dewasa. Segala keputusan yang dibuatnya telah ia pertimbangkan terlebih dahulu. Dia konsultasikan ke mana-mana. Berunding berhari-hari denganku juga. Ibu tidak perlu khawatir”
Bu Wirya Atmadja mendesah perlahan kemudian melanjutkan,”To, banyak hal yang pria tidak ketahui tentang wanita. Tentang perasaannya.”
“Hmm…maksud Ibu?”
“Santi itu kan bukan pegawai biasa di kantornya. Dia itu manajer. Punya anak buah, disayang atasannya, dan punya wewenang yang dihargai dengan baik”
“Lalu?”
“Lalu ya nggak mudah untuk orang-orang semacam dirinya membiarkan tubuh dan pikirannya membatu di rumah. Memang dia nggak pernah bilang punya keinginan apa setelah di rumah seperti sekarang ini?”
“Punya lah, Bu. Pernah dia berencana membuka toko kecil di rumah. Tapi…waktu itu…ada beberapa kendala. Jadi belum kesampaian sampai sekarang,” Anto tidak ingin orang tuanya mengetahui pertengkarannya dengan Santi di hari ulang tahun Santi yang berakhir dengan runtuhnya rasa percaya diri istrinya itu terhadap bidang baru yang ingin digelutinya.
“Ibu punya firasat nggak enak, To”
“Bu, Anto yang suaminya aja nggak. Yang setiap hari tinggal dengannya. Bu, Anto mengerti banyak yang dikhawatirkan orang tua terhadap keluarga anak-anaknya. Tapi, percayalah, kami bisa kok hadapi. Kepercayaan ibu penting bagi kami lho, Bu”
Bu Wirya Atmadja memandang anaknya dengan pandangan sayu. Dari matanya ia ingin menyampaikan bahwa dirinya menyayangi dan mempercayai semua keputusan yang telah dibuat oleh anaknya seburuk apapun kondisi yang melatarbelakanginya. 
“Ibu percaya kok sama anak-anak ibu”
“Maksud ibu begini. Perempuan itu lain dengan laki-laki. Perasaannya halus. Perubahan kecil saja dapat membuat dirinya gundah berhari-hari. Apalagi perubahan besar seperti yang dihadapi Santi sekarang.”
“Ibu melihat Santi berbeda. Dibalik ketangguhannya di tempat kerja, ia adalah kelinci lembut yang butuh kasih sayang. Ibu dapat melihat itu dalam dirinya. Ia mengalami masa-masa sulit ditengah badai keluarganya di masa kecil, To. Yang ibu tahu, teman masa kecil ibu dulu yang bernasib hampir sama dengan Santi sampai membutuhkan pendamping seorang psikiater untuk menuntunnya keluar dari luka batinnya”
“Itu yang ingin ibu sampaikan padamu. Sudah sana, ditunggu bapakmu ngobrol di depan tv”
“Oya, kalau mau bawa garang asemnya buat Santi bawa aja. Ibu bisa masak lagi besok pagi”
Anto menghampiri ayahnya yang ternyata telah cukup lama menunggunya di depan tv. Sepiring ubi rebus mengepul di atas meja yang juga terletak di depan tv. Sekali lagi, makanan kegemarannya terhidang didepan mata. Anto baru saja menyadari dirinya telah cukup lama tidak menyantap makanan-makanan kesukaannya ini. Bahkan setelah istrinya di rumah sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar