Selasa, 17 Januari 2012

SEMBILAN

“Benar, Ir, namanya Titin?” Santi terkejut. Spontan ia menginjak pedal rem mobilnya.
“Begitu yang tertulis di akun facebook nya”
“Ohh…”
Sebuah sepeda motor menyalip mobil yang ditumpangi Santi dan Irma sambil memaki. Santi menyesal telah
menginjak rem mendadak. Seandainya sang pengendara sepeda motor itu tahu berita apa yang baru saja didengarnya. Mungkin ia akan bereaksi lain.
“Kenapa sih, kayak baru nemuin apa aja”
“Kamu nggak ngerti, Ir… aku tuh kangen banget sama dia kalau memang benar ia Titin temanku SD dulu. Dan lagi terlalu banyak kenangan indah…”
“Dia bilang apa aja sama kamu?”
“Awalnya dia tuh lihat foto kita waktu di pameran handycraft kemarin…umm, sorry bukan maksudku mengingatkan kejadian yang satu itu”
“Udah, cerita dulu aja!”
“Iiih…nggak sabaran banget sih. Sekarang aku malah yang jadi penasaran…”
Santi tertawa melihat reaksi Irma. Irma belum mengerti betapa berartinya Titin dalam kehidupan Santi. Sebagian kenangan masa kecil Santi tersimpan di dalam memori otak Titin. Itu kalau Titin masih seperti dulu. Titin yang dikenalnya adalah anak perempuan kurus dan tinggi yang mempunyai memori di kepala dengan daya tampung yang tinggi. Tidak seperti dirinya dan Budi. Trio Pupuk Bawang. Santi tersenyum mengingatnya.
“Dia tulis komen dibawah foto kita itu. katanya, apa benar ini Santi Rahmawati yang sekolah di SDN 10. Aku tidak yakin. Lalu ia menanyakan alamat orang tuamu. Aku bilang iya, betul alamatnya. Gitu aja sih. Oya, dia juga bilang minta tolong disampaikan salamnya ke kamu.”
Santi melamun mengenang masa kecilnya yang indah bersama Titin. Melihat gelagat sang supir yang sibuk melamun, Irma menepuk bahu Santi,”Neng, tahu nggak kalo kita udah mau sampai?”
Santi memarkir mobilnya di area parkir basement. Cuaca kota Jakarta yang tidak menentu dapat menyebabkan mobil yang baru saja keluar dari sebuah salon mobil ini berubah menjadi basah dan kotor.
Irma mengajak Santi untuk menyusuri deretan kios yang terletak di lantai dasar sebuah ITC di bilangan Jakarta Pusat. Santi memahami keinginan teman sekaligus sahabatnya ini. irma gemar sightseeing, window shopping atau apapun itu namanya, yang penting matanya terpuaskan dengan memandangi beragam produk yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan. Dulu Santi menganggap kegemaran Irma ini adalah sesuatu yang sangatlah tidak penting. Baginya, browsing di internet, menemukan barang yang disukai, mencatat tempatnya dijual kemudian langsung menuju tempat tersebut. Focus dan tidak banyak membuang waktu. Namun kini Santi punya pandangan yang berbeda terhadap kegiatan Irma. Dengan berjalan-jalan, Irma tidak hanya mengamati puluhan bahkan ratusan manusia yang melakukan jual beli. Mempelajari bagaimana sebaiknya sebuah ruang pamer toko atau kios menyusun barang dagangannya, melihat antusiasme yang muncul dari pengunjung disana, dan bagaimana keputusan untuk membeli itu terjadi. This is so excited! Sejak saat itu, Santi menganggap bahwa berjalan-jalan di pusat perbelanjaan untuk sekedar window shopping ini adalah sebuah kegiatan yang layak mendapatkan porsi dalam hidupnya setiap minggunya.
Tapi kali ini terasa ada yang mengganjal di benak Santi. Ia tidak yakin rencananya untuk membuka usaha kecil-kecilan di rumahnya yang telah disusun dengan sedemikian rapi ini akan dilanjutkan. Anto belum bereaksi apa-apa. Keraguan itu tumbuh dalam diri Santi sendiri. Merayap dan membiak menjadi keraguan yang entah sudah berapa kali timbul tenggelam setiap ia ingin mengambil keputusan dalam hidupnya semenjak ia menikah dengan Anto.
Komunikasi, Santi. Bicara! Kamu tidak menikah dengan seonggok batu yang bisa berjalan. Itu selalu yang diutarakan ibunya, pertama kali, kemudian Irma. Dan Santi selalu mengangguk setuju kemudian meninggalkan ucapan mereka di telinganya tanpa pernah mewujudkannya.
Lelah berjalan kaki menyusuri lorong demi lorong di lantai 1, Santi dan Irma berhenti di sebuah tempat makan yang menjual beragam masakan mie, bakso dan beragam masakan chinese food berlabel halal. Tempat yang bersih dan aroma bakso kuah hangat yang menguar ke sekitarnya membuat Santi dan Irma tidak tahan untuk tidak segera duduk dan memesan makanan.
“Jadi, menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” Santi membuka pembicaraan.
“Buat akun facebook”
 “Does it work?”
“Aduh Santiiiii….kamu hidup di jaman apa siiiiihhh…”Irma menjawab gemas.
“Aku bukan nggak tau, Irmaaaa… aku cuma tidak pernah tertarik. That’s all!”
“Kamu pernah dengar kalau orang tidak bisa bilang tertarik atau tidak sebelum ia masuk ke dalamnya?”
“I know it”
“So, just have fun in it! Kamu tidak hanya akan menemukan Titin dan beberapa teman lama kamu. Kamu akan menemukan dunia baru disana. Kalau kamu anggap omonganku barusan kekanak-kanakan, terserah. Tapi tidak sedikit juga yang dapat mewujudkan keinginannya untuk menjadi entrepreneur dari media yang satu ini”
Santi sibuk mengunyah bakso daging berisi telur puyuh kegemarannya.
*
Anto sibuk membolak-balik agenda kerjanya. Rasanya baru 10 menit yang lalu ia selesai meeting dengan customer service department untuk mengolah rencana kerja tahun 2008. Tapi sekarang ia kebingungan menyusun minutes of meeting yang harus dikirimkan ke Direksi hari ini. Pikirannya masih saja dipenuhi oleh kejadian yang menimpa rumah tangganya. Salah paham. Hanya itu sebenarnya yang terjadi antara dirinya dengan Santi, istrinya. Tapi cukup membuat kepalanya berat dari hari ke hari. Karena salah paham itu berakhir dengan pertengkaran. 2 hari tanpa tegur sapa. Hari berikutnya sudah terlihat kelelahan dari kubu sang istri. Tegur sapa mulai berjalan. Namun kebekuan masih terasa. Meski Santi sudah mulai melepasnya di garasi mobil pagi hari saat Anto berangkat ke kantor, tetap saja acara minum teh bersama sepulang Anto kerja masih belum bisa terwujud. Dan, yang lebih parah lagi, dirinya masih tidur di sofa di depan televisi ruang keluarga. Anto sadar itu pilihannya. Istrinya sejak awal tidak pernah memintanya untuk tidur di tempat tersebut.
 Tanpa Anto sadari, Rinto, koleganya di kantor, tiba-tiba muncul dihadapannya.
“Hei, ada yang nyelonong nggak pake permisi nih” tegur Anto.
Rinto dengan ringan menjawab,“Siapa suruh pintu dibiarkan terbuka gitu aja”
“Kenapa sih, lo, To, suntuk banget kayaknya,”lanjut Rinto.
“Nggak apa-apa. Ini lagi susun minutes of meeting buat bos”
“Gua ganggu nggak nih?”
“Nggak, lah, kebetulan gua lagi kehilangan mood juga nih,” Anto menyahut lemas.
“Lo sama istri lo ada acara nggak malam minggu ini?”
“Mmm…nggak ada, Rin, kita nggak ada acara kantor kan? Kalo istri gua kan udah nggak kerja…”
“Jadi bisa dong ya datang ke acara nujuh bulan kandungan istri gua”
“Nujuh bulan? Wah, selamat ya, Rin, nggak ngira nih, bakal ada bapak baru! Selamat, sekali lagi selamat!”
“Dimana acaranya?”
“Ya di rumah gua lah…masak iya di rumah elo!”
Anto dan Rinto tertawa bersama.
“Eh, jangan lupa ya, ajak istri lo. Gua nggak bakalan bukain pintu buat lo kalau lo nggak ajak Santi…”
“Aku ajak dia, Rinto. Aku pastikan itu”
Anto tahu Rinto tidak sungguh-sungguh dengan ancamannya. Tak urung dirinya tetap memikirkan bagaimana ia akan memulai ajakannya pada Santi. Mungkinkah Santi menyambut ajakannya? Atau Santi lebih memilih untuk di rumah bersama Ipah, pembantunya? Dan membiarkan dirinya menghadiri acara nujuh bulan, acara yang identik dengan kegiatan wanita ini? Ah, sudahlah. Apa yang terjadi biarlah terjadi.
Anto kembali mencoba memusatkan pikirannya pada pekerjaan dihadapannya. Pukul 4 sore. Itu artinya tidak lebih dari 1 jam lagi email yang sedang disiapkannya harus terkirim. Tapi lagi-lagi bayangan Santi mengganggu. Anto meragu dengan sikap yang ditunjukkan Santi akhir-akhir ini. Semenjak istri yang dinikahinya 2 tahun yang lalu ini berhenti bekerja. Benarkah Santi berhenti bekerja untuk dirinya? Seringkali keraguan menyapa. Mengajaknya untuk berfikir ulang atas sikapnya selama ini pada istrinya. Lebih tepatnya selama istrinya masih bekerja. Keengganannya untuk ikut serta pada  setiap acara Santi, tidak perduli apakah itu family gathering ataupun undangan pernikahan. Meski dirinya terus berjanji akan mendukung apapun keputusan Santi akan hidupnya.
*
Santi sedang asyik mengutak-atik barang-barang yang sedianya akan dijual entah kapan realisasinya. Kiriman paket yang tiba siang hari tadi melengkapi sejumlah barang yang dipesannya. Mereka harus bersedia teronggok sementara di gudang hingga sang empunya memutuskan akan dikemanakan lagi mereka. Merenung di ruang pamer rumah tersebut menunggu pembeli, atau menetap di tempatnya kini hingga melapuk di makan usia. Kini mereka semua gamang, demi menatap gelisah di mata Santi dalam diam.
Santi merasa seseorang mengawasi gerak-geriknya. Ia menoleh dan mendapati Anto memandangnya dari luar gudang. Santi bingung, apa yang mesti ia katakana pada Anto seandainya Anto menanyakan nasib barang-barang itu nantinya. Don’t worry, Santi, tell Anto that you’re gonna sell it via social network. Kata hatinya berbicara.
“Malam minggu ada acara?” suara Anto mengagetkan Santi. Yang ditanya menoleh sebentar lalu berkata,”Nggak. Memang ada apa?”
Santi menerka-nerka dalam hati. Apakah Anto kali ini berubah? Akan bersikap lebih lunak padanya? Menyesali perbuatannya? Ah, sudahlah Santi. Don’t expect too much.
“Malam minggu nanti, Rinto undang kita buat makan malam di rumahnya. Acara nujuh bulan kandungan istrinya. Katanya, ia mau kita datang, siapa tahu berkah atas keluarga Rinto menular ke kita.”
Yah, gara-gara orang lain lagi, gerutu Santi dalam hati. Benar, mestinya ia tidak usah berharap terlalu banyak.
Anto menghela nafas. Mensyukuri bibirnya yang berhasil melontarkan kalimat panjang lebar di hadapan istrinya.
Kemudian keadaan kembali hening.
Selesai menyibukkan diri dengan pernak-perniknya, Santi bergegas ke dapur, menjerang air.
“Sekarang kalau buatin teh gulanya dikurangin ya. Bukan apa-apa sih, jaga kesehatan aja,” Anto berbicara seolah seluruh rumah mendengarkan suaranya.
Santi belum ingin menghiraukan. Tapi hatinya mulai bergetar perlahan. Ada rindu yang terasa namun tak ingin terlihat oleh siapapun. Santi merasakan pipinya menghangat.
Berada di ranjang yang sama dengan Anto adalah hadiah bagi Santi. Ia merasakan tangan Anto tak lepas membelai keningnya, kemudian pipinya, hingga sentuhan lembut perlahan pada bibirnya. Akhirnya kerinduan itu menyatu, melebur dalam kehangatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar