Selasa, 31 Januari 2012

DUA PULUH SATU

Santi membuka matanya perlahan. Ia berada di sebuah ruangan bercat putih. Jendela kaca yang menghadap ke tempatnya berbaring saat ini juga tertutup korden putih.  Ruangan ini begitu hening dan dingin. Inikah dunia penantian dimana manusia yang sudah meninggalkan alam fana berkumpul untuk menunggu pengadilan terakhir?
Santi mencoba menggerakkan jari-jarinya. Ia mencoba menggerakkan jari kaki dan tangannya satu per satu kemudian bersama. Masih terasa. Ia masih dapat merasakannya. Mungkinkah di alam penantian sekalipun manusia masih diberikan hak untuk merasakan segala yang ia dapat rasakan di alam fana? Seandainya boleh memilih, Santi memilih untuk tidak. Ia ingin merasakan tinggal di sebuah dunia yang berbeda. Bukan dunia yang baru saja menyajikan tontonan mengerikan atas nasib seorang teman baiknya. Bukan pula dunia yang menantinya mengambil keputusan untuk kembali ke pelukan suami yang telah mengaburkan arti dari sebuah kejujuran dimatanya.
Seperti suara pintu terbuka. Santi melihat dua orang mendekatinya. Satu laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki memakai seragam dokter berwarna putih, yang perempuan tidak. Wajah tamu perempuannya tidak asing lagi. Ia adalah perempuan terakhir yang dilihatnya sebelum pandangannya kabur kemudian gelap. Santi membentuk seulas senyum lemah kepada kedua tamunya. Ia masih di alam fana…
“Santi, ibu sedang dalam perjalanan kemari,” Irma mendekatinya dan duduk di samping tempat tidurnya.
“Ibu Santi baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Nanti setelah ibu cukup istirahat, saya akan berbicara lagi dengan ibu. Sekarang cobalah kembali beristirahat,” dokter yang menemani Irma berkata sambil berjalan perlahan menuju pintu. Membiarkan dua orang sahabat itu saling berbincang.
“Kamu pingsan di taman tadi,” kata Irma.
“Beruntung pasangan muda mudi yang bercengkerama di bawah pohon membantuku untuk mencarikan taksi dan membawamu kemari”
Santi mengangguk perlahan dan berkata setengah berbisik,”Thank you.”
Tak lama kemudian pintu kamar kembali terbuka. Dilihatnya sang ibu menyerbu masuk dan memeluknya.
“Ibu khawatir sekali. Syukur Irma membantu membawamu kemari,” ibu berkata sambil mengatur nafasnya.
“Bagaimana keadaanya?” tanyanya sambil menatap Irma.
“Nanti kalau Santi sudah lebih enak diajak bicara, saya diminta menghubungi dokter Ilham yang merawat Santi,” jawab Irma.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang kita menunggu di luar saja dulu. Santi sepertinya masih ingin istirahat,” ibu mengajak Irma keluar kamar.
Santi memandang salah satu telapak tangannya yang terhubung dengan selang yang berasal dari botol infus. Ia hanya pingsan biasa. Mungkin karena kelelahan. Dokter tadi bersikap agak berlebihan. Tapi entahlah, dia lebih mengerti kondisi dirinya. santi hanya berharap tidak ada masalah yang serius dengan kesehatannya.
Ia memejamkan mata dan melanjutkan istirahatnya.
*
Anto sibuk menekan tombol angka di telepon genggamnya. Sedari tadi nomor yang dituju tidak kunjung diangkat oleh pemiliknya. Anto mulai gelisah. Setelah jam makan siang tadi, setelah nomor telepon Ratri Gunawan ditemukan oleh Yuli, asistennya, Anto kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia sengaja meminta Yuli untuk menginformasikan kepada staff yang ingin bertemu dengannya bahwa ia sedang tidak dapat diganggu. Kecuali ada masalah yang sangat mendesak, Anto sungguh-sungguh sedang memerlukan waktu untuk menyendiri.
Setelah 2 jam menunggu, setelah puluhan panggilan telepon dibuatnya, sebuah suara akhirnya menjawab panggilan teleponnya.
“Halo!”
“Ya halo…emm, Ratri disana?”
“Bukan. Anda sepertinya salah sambung”
Klik! Telepon dimatikan.
Anto kesal. Nomor telepon rumah itu adalah andalan terakhirnya setelah dua buah nomor telepon genggam yang tertulis di balik kartu nama sebuah restaurant Padang itu gagal dihubungi karena sudah tidak aktif lagi.
Kurang lebih 15 menit kemudian…
Sebuah panggilan telepon masuk diterima oleh telepon genggam Anto.
“Ya halo…” Anto menerima panggilan tersebut.
“Maaf, Pak. Tadi bapak yang menelpon ke nomor ini mencari Ratri? Apakah yang Bapak maksud adalah Bu Ratri Gunawan? Putri Pak Gunawan yang sudah meninggal dunia?”
“Ya. Betul,” secercah sinar harapan terlihat di mata Anto.
“Saya mau memberi tahu kalau rumah ini sudah dijual ke orang tua saya oleh ibunya bu Ratri. Tapi saya dapat memberi Bapak nomor telpon rumah barunya”
“Baik. Saya catat”
Anto mengambil secarik kertas dan menuliskan nomor telepon yang diberikan.
“Terima kasih banyak Pak”
“Sama-sama. Panggil saja Mas. Saya putra pemilik rumah ini”
“Terima kasih Mas”
Anto tersenyum lega kemudian menutup teleponnya.
*
Pukul 8 malam. Wajah Santi terlihat lebih segar. Ia telah menelan beberapa butir vitamin pemberian dokter dan makan 2 porsi pudding dan sedikit nasi dengan semur daging yang disediakan pihak rumah sakit.
Dokter yang merawatnya tersenyum menghampiri Santi. Membawa hasil test laboratorium atas air seni Santi yang dikumpulkan sebelum ia memasukkan makanan apapun ke dalam mulutnya tadi siang.
“Seperti yang saya duga sebelumnya,” ujar sang dokter tenang.
“Menduga apa, Dok?” Santi penasaran.
“Dari pemeriksaan denyut nadi dan ultrasonography yang kami lakukan sebelum mendapatkan hasil test laboratorium…anda positif hamil. Selamat!”
Santi tidak dapat berkata apa-apa. Dunia serasa runtuh dihadapannya. Kini ia benar-benar ingin dibangunkan dari tidurnya. Irma memandangnya sayu kemudian memeluknya. Ibunya sedang pulang mengambil sedikit pakaian ganti untuk Santi seandainya ia harus menginap di rumah sakit.
“Selamat, Santi!” ujarnya lemah. Irma terlihat bahagia ditengah lelah tubuh dan jiwanya atas peristiwa naas yang tengah menimpanya.
Jujur Santi ingin bahagia. Ia ingin bereaksi normal layaknya seorang calon ibu muda yang sedang dalam masa penantiannya akan kehadiran sang buah hati. Tapi apa yang dirasakannya kini bukanlah seperti yang diharapkannya. Ia tengah frustasi dengan pernikahannya. Menutup lembaran hidupnya dengan Anto tengah direncanakannya paling tidak dalam waktu 12 jam terakhir ini. Tidak. Tidak mungkin ini yang terjadi. Ia dan Anto memang menginginkan buah hati. Tapi itu sebelum ia bertemu dengan seorang Ratri Gunawan. Sebelum ia menemukan bahwa tonggak yang menyangga hidupnya dengan tiang pancang bernama kejujuran itu runtuh dihadapannya.
Irma belum mengetahui yang dialaminya. Ia tentu mengira dirinya bahagia mendengar kabar ini. Andai Irma tahu…
*
“Santi menemuiku kemarin,” ujar suara di telepon itu. Suara yang begitu dicintainya. Dulu.
“Seperti yang kuduga”
“Ia wanita yang baik. Aku menghargai sikapnya. Siapapun yang berada di posisinya saat ini pasti melakukan hal yang sama,” lanjut suara itu.
“Ratri…kamu tidak tahu dia begitu…”
“Terguncang? Tentu! Sama seperti aku dulu,” suaranya berubah menjadi serak.
Tak ada sepatah katapun terucap dari mulut Anto. Ia ingin berteriak.
“Kamu…tolong berhentilah berbicara seperti itu padaku. Aku sudah cukup tersiksa”
“Tahukah ia bahwa lelaki yang hidup bersamanya hanyalah sosok lemah yang mencoba-coba memimpin sebuah keluarga?” ujar Ratri datar.
Anto menutup sambungan telepon tersebut. Dadanya panas oleh dendam masa lalu. Istrinya pasti telah menyangka dirinya seperti apa yang baru saja digambarkan oleh Ratri. Lemah. Tidak bertanggung jawab. Tidak! Ia harus menemui Santi sekarang. Tapi apa yang akan dikatakannya pada Santi?
Tidak. Sebelum bertemu Santi, ada banyak hal harus ia luruskan terlebih dahulu dengan Ratri. Apapun itu hasilnya nanti, baru ia akan menemui Santi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar