Senin, 09 Januari 2012

TUJUH


Anto memandang jam dinding di rumahnya. Pukul 9 lebih 10 menit. Usahanya untuk menghubungi Santi yang tak kunjung menunjukkan titik cerah membuatnya melamun di depan televisi. Liputan mengenai banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Jakarta sejak dirinya tiba di rumah sore tadi membuatnya makin cemas.
Tiramisu Cake yang sedianya dinikmati berdua dengan istrinya malam ini seolah turut merenung di bawah
temaram lampu ruang makan. Anto ragu memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Terlebih dua buah lilin angka 3 dan 1 telah bertumpu dengan indah pada cream yang menghias bagian atas cake tersebut. Memasukkannya ke lemari pendingin akan mengharuskannya mencabut lilin-lilin tersebut terlebih dahulu. Ruang yang ada di lemari pendingin miliknya tidak memungkinkan cake tersebut masuk beserta lilin yang menancap di bagian atasnya. Dan itu berarti cream yang menghias bagian atas cake tersebut akan berubah. Membentuk jejak lilin yang dicabut. Tidak, Anto tidak ingin melakukannya.
Jarum jam bergeser ke pukul 9 lebih 15 menit. Belum ada tanda-tanda kepulangan Santi. Dalam hening, kekalutan menguasai dirinya. Melemahkan segala prasangka positifnya terhadap sang istri yang sangat ia khawatirkan saat ini. Santi berjanji untuk sampai di rumah pukul 5. Seharusnya ia tahu pukul berapa ia mesti menyelesaikan segala urusannya di Bogor untuk segera kembali ke Jakarta. Jangan sampai ia terjebak dalam genangan air saat ini hanya karena terlalu lama berbelanja roti dan beragam makanan Italia di Bogor. Atau lupa waktu di factory outlet. Argh!
Mondar mandir dari ruang satu ke ruang yang lain dan membolak-balik majalah yang dibawanya dari kantor menjadi kegiatan Anto ditengah gemuruh jiwanya. Bagaimana kalau orang tua Santi menelpon karena melihat tayangan di televisi dan ternyata menemukan bahwa Anto tidak tahu menahu dimana Santi berada saat ini. Bagaimana kalau orang tuanya juga menanyakan hal yang sama? Sore tadi ibunya sempat menghubungi handphonenya menanyakan mengapa Santi tidak dapat dihubungi. Anto dengan ringan memberi tahu kalau kemungkinan handphone Santi tidak mendapatkan sinyal dengan baik karena ia sedang berada di luar kota. Cuma ke Bogor dan hanya sebentar. Memang itulah yang seharusnya terjadi
“Ulang tahun kok malah ke luar kota…”Anto mencoba mengingat percakapan dengan ibunya.
“Ya nggak apa-apa lah Bu. Memang ada hubungannya ulang tahun dengan luar kota? Lagian, dia cuma ke Bogor kok sama temannya. Sore nanti juga udah sampai rumah. Coba ibu hubungi lagi nanti sore. Tapi sms aja juga nggak apa-apa kok Bu. Santi biasanya juga udah senang”
Tidak lama kemudian pembicaraan segera berakhir.
Seandainya ia tahu yang akan terjadi sore hari ini. Seandainya Santi tidak perlu pergi ke Bogor. Seandainya tidak ada rencana membuka toko. Seandainya… Urgh! Anto mencoba mengendalikan penyesalannya.
Bergesernya jarum detik yang biasanya terasa cepat kini ia rasakan begitu merayap. Menjelajahi ruang demi ruang yang telah dilewatkannya bersama istrinya. Pertemuan pertamanya di rumah seorang teman Anto yang sengaja mengenalkan Anto pada Santi.
‘Lo belum pernah aja ketemu dengan dia. Orangnya asyik kok, baik, manis lagi. Dia orangnya dewasa, To, ngga kayak cewek-cewek temen kita. Itu menurut gua ya. Nanti kalau udah ketemu, lo bisa menilai sendiri’
Kalau dilihat dari semangatnya mengejar karir, menabung, dan kemampuannya mendengar keluh kesah orang lain, istrinya memang bisa dikategorikan dewasa. Santi pendengar yang baik. Meski Anto tahu kalau tidak ada yang mampu Santi dengarkan dari dirinya yang introvert dan lebih suka mengeluh diatas kertas ketimbang mengutarakannya lewat kata-kata. Mungkinkah Santi menginginkan kegiatan di rumah agar ada seseorang yang ia dengarkan keluh kesahnya? Cerita kesehariannya? Ataupun curhat-curhatnya? Tanpa sadar Anto menggeleng perlahan. Menyadari sekian banyak hal yang mungkin tidak ia ketahui tentang istrinya. Di tahun kedua pernikahannya.
Hujan diluar sudah mulai reda. Tapi suara ketukan perlahan seperti masih terdengar. Anto menajamkan telinga. Ya ampun, Santi kah itu yang mengetuk-ngetuk pintu pagar?! Ia melihat jam dinding. Pukul 10.
Anto berlari mengambil kunci pagar dan garasi rumahnya. Wajah istrinya terlihat letih dan pucat. Anto ingin memeluk istrinya segera. Tapi ia ragu. Santi terlihat terlalu tegar dalam keletihannya. Entah mengapa Anto merasa menyesal telah mengasihani istrinya. Dirinya menanti dalam ketidakpastian, kekhawatiran, kegundahan akan kehilangan belahan jiwanya dan Santi kini terlihat biasa-biasa saja? Anto mendengus perlahan sembari mengunci pintu garasi. Ia melhat istrinya membeku di depan mobil. Tak lama kemudian berkata,”Maaf ya, Say. Jalanan macetnya bukan main. Banyak pohon tumbang di jalan, belum lagi banjir yang menggenangi beberapa jalan raya menyebabkan lalu lintas semrawut. Aku juga mesti antar Irma dulu ke rumahnya”
“Masuklah dulu,” ujar Anto datar.
Sambil menenteng barang bawaannya, Santi masih terus saja berbicara seolah seluruh bagian dari hidupnya selama setengah hari terakhir ini hanyalah segudang penyesalan. Ia tak perduli lagi apakah Anto bersedia mendengarkan atau tidak. Ia hanya bisa berharap dewi fortuna berpihak padanya kali ini. Kediaman Anto selama ini lebih banyak menebar rasa bimbang tak berkesudahan bagi Santi. Dan sekarang, di hari ulang tahunnya, Anto terlihat berbeda. Tidak ada senyum ceria seperti di hari ulang tahunnya yang sudah-sudah. Ia berharap kicauannya kali ini mendapat tanggapan yang dapat membuat dirinya mengerti jalan pikiran dan perasaan Anto terhadap kejadian yang ia alami hari ini. Meski ia sesungguhnya sedang merasa sangat lelah.
Santi mengeluarkan sedikit demi sedikit sampel dan barang-barang yang sempat dibeli langsung di beberapa home industry di Bogor dan sekitarnya. Selebihnya akan dikirim minggu depan karena sedang di produksi. Barang-barang tersebut disimpannya terlebih dahulu di gudang.
Anto bergeming di depan televisi yang sengaja tidak dimatikannya. Meski pikiran dan hatinya tidak menyimak siaran yang sedang berlangsung sama sekali.
Akhirnya…
“Waktu Irma kamu antar pulang, bagaimana reaksi suaminya?”
Deg. Santi mendengar degup jantungnya sendiri. Akhirnya Anto bereaksi.
“Baik-baik saja. Bima namanya. Ia membukakan pagar dengan membawa baju hangat untuk Irma. Ia memeluk istrinya begitu pintu pagar terbuka. Ia juga sempat menyilakan aku untuk duduk dulu. Tapi aku menolak. Ia terlihat sangat khawatir.”
Bukan. Bukan begitu seharusnya, Santi. Hampir semua laki-laki akan merasa tersinggung bila dibandingkan dengan laki-laki lain. Cara kamu berbicara tadi seolah membandingkan apa yang dilakukan Bima dengan apa yang ia lakukan terhadapmu. Ini kesalahan fatal.
Ada bagian dari diri Santi yang terus menerus mengetuk kepalanya. Menyadarkan bahwa apa yang barusan terlontar dari mulutnya adalah pedang yang siap menebas kepalanya setiap saat.
“Jadi menurutmu, aku tidak merasa khawatir akan keadaanmu!”
Nah!
“Bukan begitu…”
“Jadi?”
“Aku cuma cerita, Anto. Kan kamu yang tanya barusan…”
Tidak ada ‘Say’ atau kata-kata mesra penggantinya yang lain dari mulut keduanya. Santi tidak berani menduga-duga yang akan diucapkan Anto berikutnya.
“Kenapa handphone tidak dibawa?”
“Aku lupa, ketinggalan waktu sibuk siapkan proposal dan surat-surat yang harus kubawa”
Ketahuilah, Santi. Masalah handphone yang ketinggalan barulah awal dari kegiatan memukul genderang perang. Akan ada lebih banyak masalah kecil yang terungkit hanya untuk memuaskan ego seseorang yang merasa terhina karena dibandingkan. Bersiaplah…
“Kamu tau berapa banyak ucapan selamat ulang tahun yang kamu sia-siakan begitu saja karena kelalaianmu? Ibu tadi telepon bilang kalau ia ingin mengucapkan padamu langsung tapi tidak diangkat!”
“Maaf, Anto…”
“Orang tuamu mungkin tidak terlalu perduli dengan ulang tahun anaknya. Berbeda dengan orang tuaku. Mereka akan selalu berusaha untuk menyampaikan sebuah ucapan ulang tahun langsung”
“Jangan bicarakan orang tuaku seperti itu”
“Lalu jam berapa kamu selesaikan semua urusanmu di Bogor tadi? Seandainya jam 3 sore kamu berangkat dari Bogor tidak akan begini jadinya”
“Tidak semudah yang aku rencanakan sebelumnya… Beberapa orang yang ingin kutemui terlambat datang ke kantornya. Ada juga yang melimpahkan urusannya ke bagian lain yang kebetulan berada di lokasi yang berbeda”
“Perencanaan waktu gunanya untuk membatasi kegiatan kita dalam satu hari. Bukan untuk merubahnya seenak kita sendiri!”
“Aku tidak merubah seenak aku sendiri!”
“Lalu apa itu namanya!”
Tidak bisakah Anto, kamu berterima kasih pada Tuhan, karena istri yang kamu nanti kembali ke rumah dalam keadaan utuh tidak kurang suatu apapun? Tidakkah kamu mengerti berapa banyak orang yang tidak dapat kembali di hari yang sama saat banjir seperti hari ini melanda Jakarta. Belum lagi kerusakan beberapa gardu listrik dimanfaatkan sebagian orang untuk melakukan tindak kriminalitas? Sulitkah menciptakan rasa syukur didirimu sendiri? Aku lelah, Anto, sungguh, aku tidak berbohong.
Beginikah keadilan memperlakukan wanita selama ini? Hati Santi memberontak. Ia ingin berteriak. Tapi tak mungkin.
Santi ingin mengakhiri perdebatan, tapi rupanya Anto belum menginginkannya.
“Aku makin lama makin tidak mengerti apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidupmu, Santi”
“Bisakah kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi?” Santi menyahut lemah.
“Bisakah kamu belajar mengerti orang lain?”
“Kita sama-sama belajar, Anto…”
“Sama-sama? Itu menurutmu!”
“Lalu sekarang apa yang kamu ingin aku lakukan?”
Anto tidak menjawab, bergegas ke kamar tidur dan membanting pintu.
Santi menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tulang yang menyusun tubuhnya terasa luruh perlahan. Ia ingin bertahan di tengah gemuruh jiwanya yang menolak sekaligus menerima cobaan yang dirasakannya hari ini. Cobaan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk terus meyakini bahwa semua kesedihannya adalah ‘cobaan’ yang akan menempa dirinya. Menjadikannya baja, bukan besi atau aluminium.
Ia tertatih mendekati meja makan, mencoba mengisi kerongkongannya yang kian mengering semenjak kedatangannya di rumah ini. Pandangannya tertumbuk pada sebuah benda indah berhiaskan angka yang menunjukkan usianya kini. Lilin berwarna putih dan merah. Santi merasakan kehangatan menjalari tubuhnya. Tiramisu Cake kesukaannya. Sebagian krim dinginnya sudah tidak lagi beku. Ia hanya tahan 3 jam berada di luar lemari pendingin. Sementara, di dalam lemari pendingin ia tahan lebih dari seminggu. Meski demikian, kelembutan tekskturnya sudah akan berkurang di hari ketiga. Santi ingat betul semua pesan sponsor yang diucapkan customer service toko kue langganannya itu. Seingat dirinya akan semua kejutan kecil Anto di setiap hari ulang tahunnya. Bahkan sewaktu mereka belum menikah. Kini, krim dingin yang mulai terlihat lembek itu meleleh perlahan. Melebur bersama tetes air mata yang jatuh menimpanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar