Selasa, 17 Januari 2012

SEBELAS

>Hai, apa kabar?
Hai juga. Kabar baik. Masih di Jakarta?
>Masih. Kamu? Eh, ya, ada tuh di profile…sama-sama di Jakarta kita ya.
Hehehe…sama seperti dulu. Aku lagi nungguin Titin nih. Dia belum juga terima ajakan pertemananku. Kamu

kerja dimana? Anak udah berapa?
>Titin belum accept? Masak sih? Aku kerja di perusahaan IT di daerah Sudirman. Anak 2! Kan 2 lebih baik :D
Kamu bisa aja. Duh, senengnyaa yang punya anak 2. Cowok apa cewek?
>1 cowok, 1 cewek. Lengkap yah..hehe. kamu?
Belum. Doain ya, dalam waktu dekat. Masih punya foto-foto waktu SD? Upload donk ke sini.
>Ada nih, 2 atau 3 gitu. Nanti aku scan dulu lalu aku upload. Akun kamu baru ya?
Iya..hehe. kenapa? Keliatan ya kalo baru? Masih ada harganya?
>Paling bisa deh. Kamu kerja?
Nggak. Di rumah aja. Good housewife wanna be…heheh
>Suami kerja dimana? Kamu kuliah di Jogja ya…
Suamiku kerja di shipping. Tahu darimana kalau aku kuliah di Jogja?
>Dari Titin.
Ohh… Masih ingat Tono, kepala suku geng bengal?
>Hahaha… masih lah. Kenapa? Kamu kangen? Ada tuh dia. Nama akunnya Tato Tono. Keren yah?! Tapi dia hebat sekarang. Aku dengar dia punya usaha franchise warung makan. Lebih dari satu kabarnya. Lalu laundry pakaian juga.
Hmmm…time really goes by ya. Nggak terasa waktu telah menelan manusia bulat-bulat dan kemudian membentuknya kembali sebagai makhluk yang baru…
>Tapi Tono masih manusia loh, San, belum berubah jadi kadal…hihihihi
Bukan Tono yang jadi kadal tapi kamu! :D
>Kamu ngga pengin kerja, San. Perusahaan tempatku kerja lagi cari orang nih…
Kata kamu aku kadal. Berarti ngga bisa dong ngelamar kesitu. Kan yang dicari orang? ;)
>Dasar kamu masih sama aja kayak dulu :D
Hehe…aku pernah kerja kok. Tapi resign 3 bulan yang lalu.
>Kamu kan belum punya anak. Buat apa brenti kerja?
Ya biar punya anak 
Santi belum ingin menyudahi percakapannya dengan Budi yang dilakukan di inbox message facebook kemudian pindah ke chatting room. Tapi dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Waktunya Budi pulang kerja.
Pulang gih sana, nanti diomelin istri…
>Istriku juga kerja kok. Aku pulang ini mampir jemput dia dulu. Ok see u, byee
See u…

Santi merebahkan diri di sofa setelah mematikan laptopnya. Ia tidak menyadari kalau bibirnya senantiasa masih menyungging senyum. Ohh, begini ya rasanya kalau bertemu teman lama di facebook gumamnya dalam hati. Ternyata Budi masih mengingatnya. Rasa yang menjeratnya kali ini sungguh aneh. Budi bukanlah mantan pacar Santi. Tapi kebahagiaan bercampur gelisah yang dirasakannya membuat dirinya bertanya-tanya. Mungkinkah Budi juga merasakan hal yang sama? Eh, kenapa jadi penasaran? Ugh!
*
Titin accepted your friend request
Santi memandang pemberitahuan yang diterimanya di facebook. Akhirnya Titin menerimanya juga. Mungkin kemarin ia sibuk. Santi menyerah dengan facebook bersetting berbahasa Indonesia yang disiapkan Irma untuknya. Hanya selisih 2 hari dari hari kelahiran akun facebooknya, Santi mengganti setting bahasanya ke dalam bahasa Inggris. Entah mengapa lebih mudah dipahami. Santi sesungguhnya kagum dengan pesatnya perkembangan bahasa Indonesia dari hari ke hari. Makin hari makin banyak kata serapan baik dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Tapi sayangnya kata-kata itu terasa masih asing di telinga dan matanya. Latar belakang pekerjaannya yang berhubungan dengan dokumen berbahasa Inggris lebih banyak menjadi penyebab ketimbang keengganannya menggunakan bahasa ibunya sendiri.
Pukul 12.30 siang, Santi melihat lampu tanda online pada profil Titin menyala. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol dengan Titin.
Santi mulai menulis di chat room dirinya dan teman baiknya itu.
>Haiiiiiii!!!!
Halooo…apa kabar, Santiiiiiii…..ya ampuuun benarkah ini Santi? Santi yang pendiam dan pandai? Yang pekarangan rumahnya banyak tanamannya?
>Tin, miss u so much
>Kangen banget! Sumpah!
>Kabar baik, Tin. Bagaimana kabarmu, temanku yang matanya indah dan menawan????
>Hehe…masih ingat sama pohon mangga di depan rumahku ya…yang kita pakai untuk latihan memanjat dulu?
Benerrrr….hahaha, latihan manjat, ya. Aduuhh kangennyaa sama saat-saat indah itu!
Waktu akhirnya kita ngga dapat mangga satupun
Dan mengandalkan Budi untuk membantu kita…mana kita jahilin lagi dia waktu manjat

Ada yang berdesir di dada Santi waktu nama Budi disebut.
>Huahahaha…kan kamu yang ajakin aku jahilin dia
Masak sih? Ngga ingat aku
>Jadi waktu itu mungkin kita jealous sama kepandaian Budi manjat pohon yang mirip tupai itu. Nah kamu bilang kita kitikin aja kakinya pake kemoceng :D
Hahahah
Lagian kamu mau aja disuruh :D
>Ngga seru lagi, Tin kalo ngga ngerjain dia
>Udah ah, malah jadi ngobrolin Budi. Kamu kerja? Dimana?
Aku kerja di bank. Kantorku di Thamrin. Kamu?
>Aku udah resign, Tin, 3 bulan yang lalu. Sekarang di rumah aja. Ada rencana mau buka usaha, tapi masih aku tunda.
Wah, enak kamu, San. Punya waktu banyak buat suami dan anak.
>Aku belum punya anak, Tin. Doain ya dalam waktu dekat ini. aku sama suamiku sengaja menunda barang 2 tahun.
Oh, gitu. Iya, San, nikmati aja dulu kehidupan berumah tanggamu dengan suami.
Kapan-kapan ketemuan yuk! Penginnya sih sekarang, tapi aku ada training seminggu ini jadi belum bisa.
>Eh, anakmu berapa, Tin?
Doea
>Tjukup doea sadja ja?
Ija
>Kapan proklamasi dibatjakan?
  
San, aku lanjut kerja lagi ya…nanti kalau waktuku udah senggang, aku kasih kabar, dimana dan kapan ketemuannya.
>Oce! 

Hati Santi berbunga-bunga. Percakapan demi percakapan dengan teman lama telah membuat dirinya lebih bersemangat. Hidupnya tak lagi hanya berputar di sekitar keinginan mencari kerja dan kegiatan sampingan di sela waktu luangnya. Menghadapi sikap Anto yang datar mengenai keinginannya itu juga memberikan tekanan sendiri bagi Santi. Kini ia punya sedikit kegiatan di waktu luang. Mengobrol disertai membolak-balik ingatan tentang peristiwa masa lalu yang dihadirkan oleh komunitas facebooknya. Irma benar. Facebook memang menyenangkan.
Selama membaca kegiatan teman-teman facebooknya melalui beragam informasi di rumah tembus pandangnya masing-masing, Santi baru menyadari bahwa Budi banyak menyimpan puisi yang disimpannya di bagian Notes. Diantara sekian banyak puisi yang ditulis Budi, ada satu yang menyita perhatian Santi. Sebuah puisi berjudul Pohon Mangga.
Ada yang mekar di ujung hati
sebuah bunga yang tersimpan sekian lama
ia tumbuh menjalar mengarungi waktu
membelah cita-cita menjadi kepingan puisi
mungkinkah kesempatan kan datang bak musim demi musim yang setia menemani pagi
Setelah sekian lama menanti
Menjelajah tiap relung hati yang paling dalam
Bahkan liur enggan merasa lagi masamnya buah mangga muda
Karena kenangan akan selalu abadi
‘Kapan pohon mangga di rumahmu berbuah’, kataku
‘Sebentar lagi, sepanjang kamu setia menanti’, katamu
‘Masihkah dapat pohon mangga itu berbuah di hari pertemuan kita nanti?’ masih saja aku mendesak, meminta jawaban atas kegelisahanku
‘Tentu masih’
Aku ingin jawabmu bukanlah sebuah lagu nina bobok
Agar menjadi asa yang akan selalu dinanti
Untukmu yang terbuang…

Santi merasa matanya menghangat. Kata orang rasa tidak pernah bohong. Lalu mengapa Santi merasa ada yang disimpan oleh Budi dan dirinya sekian lama?
*
Setelah sekian banyak percakapan dilakukan oleh Santi dan Budi. Setelah lebih dari 10 puisi baru ditulis di Notes facebook Budi, setelah sekian kali janji bertemu yang harus di reschedule, dibicarakan kalau sudah dekat harinya, dan akhirnya dibatalkan, Santi duduk di sebuah kafe berhadapan dengan Budi. Mereka tidak menyangka akhirnya dapat juga saling bertatap muka. Bukan hanya memandang foto yang dipasang di profile picture masing-masing di facebook.
“Kenapa ngga betah kerja di kantor?” Budi menuangkan gula rendah kalori ke dalam minumannya.
“Kan udah bilang waktu itu. Biar ngga kecapekan. Kepingin punya momongan,” sahut Santi. Ada yang mengganjak di lidah Santi setiap kali ia menceritakan tentang rencana masa depannya dengan suaminya.
“Kamu ngga seperti seorang wanita yang menginginkan momongan, menurutku,”ucap Budi dingin.
Santi tersipu. Bagaimana Budi bisa berfikir kesana. Bicara seolah Budi lah orang yang paling mengerti sifat Santi dan keputusan-keputusan yang ingin dibuat dalam hidupnya. Kemana arah pembicaraan ini sesungguhnya? Dibalik wajah tenang Santi, tersimpan keraguan yang mendalam tentang pertemuannya dengan Budi.
“Jadi menurutmu aku begitu ya. Boleh aku tau darimana kamu bisa mengambil kesimpulan seperti itu”
“Kok jadi serius gini sih? Orang aku asal tebak aja kok,” Budi tertawa sambil memberikan buku menu kepada barista yang dipanggilnya dengan lambaian tangan.
Santi tidak mungkin menampakkan keingintahuannya terlalu jauh. Apakah Budi sekedar menebak atau ada keinginan tertentu dibalik ucapannya. Santi mengerti kini bukanlah waktunya.
“Jadi, kamu kuliah di Jakarta…,”Santi berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Nenek meninggal waktu aku kelas 1 SMU. Pamanku yang tinggal tidak jauh dari rumah orang tuaku berhasil menjual rumah kami dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk membiayaiku sekolah”
“Kamu ingat kan, pamanku yang pernah membawakan memasangkan kita tenda di halaman rumahku waktu kita pengin camping? Lupa ya?”
Santi berusaha mengingat-ingat. Sulit sekali membongkar ingatannya untuk sesuatu yang terjadi di rumah orang tua Budi saat itu. Seperti ada dinding yang membatasi. Serpihan ingatan akan pertemanannya dengan Budi tidak lebih dari hukuman demi hukuman yang terpaksa mereka jalani bersama. Kepergian orang tua Budi, dan perpisahan kala Budi harus ikut neneknya di Bandung. Semua luka yang mereka jalani bersama. Itu yang diingat Santi.
“Lupa-lupa ingat nih kalo yang tentang camping itu”
“Ngga apa-apa,”sahut Budi tenang. Meski ia tidak dapat menyembunyikan pandangan lunglai dihadapan secangkir kopi panas di hadapannya.
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar diantara percakapan Santi dan Budi yang kian menghangat.
“Udah lama pacaran sama…siapa nama suamimu? Anto?”
“Sekitar dua tahun”
“Cukup merasa mengenal dia dengan baik selama pacaran?”
Pertanyaan yang aneh, gumam Santi. Semacam mempertanyakan seberapa yakin aku akan pernikahanku sendiri.
“Memang menurutmu, apa kriterianya ‘mengenal dengan baik’ itu?”
“Yaa…gimana ya. Maksudku apa yang jadi dasar keputusanmu untuk menikah waktu itu. Kira-kira seperti itulah…,”Budi menjelaskan.
“Aku merasa...Anto bukan orang yang sulit dimengerti. Pendidikannya baik, tutur katanya juga sopan. Kami dikenalkan oleh seorang teman Anto. Orang tuanya banyak memberiku petuah sebelum pernikahan kami yang tak pernah aku dapatkan dari orang tuaku. Itu aja sih,” Santi merasa penjelasannya cukup. Ia sesungguhnya tidak ingin ditanya lebih dalam lagi. Beberapa kejadian yang membuatnya kecewa pada Anto tak mungkin diceritakannya pada Budi.
“Kamu kenapa ngga pasang foto keluarga di facebook?”
“Kamu juga ngga,”sahut Budi ringan.
Santi tersenyum mengakui.
“Oya, aku baru tahu kalau kamu suka menulis puisi,” Santi merasa mendapatkan kesempatan untuk mengulik kesukaan Budi yang baru saja diketahuinya ini.
“Aku dari dulu suka menulis puisi”
“Oya? Aku ngga pernah tahu”
“Puisi datang dari setiap jiwa yang menanti. Meski seringkali yang dinanti tidak kunjung datang,” Budi berkata sambil memandang Santi lekat-lekat. Yang dipandang menjadi salah tingkah.
“Sudah pernah coba menerbitkan kumpulan puisimu,”ucap Santi seadanya. Sekedar memecah kebekuan karena tatapn Budi barusan.
“Sudah. Tapi mereka memintaku untuk menunjukkan prestasi apa saja yang pernah aku raih dalam hal menulis puisi. Aku tidak punya. Akhirnya…ya masuk laci meja penerbit. Syukur kalau tidak dibuang”
“Bud, aku baca puisimu yang berjudul Pohon Mangga itu…,” entah mendapat keberanian dari mana Santi akhirnya mengutarakan keingintahuan yang telah dipendamnya semenjak ia pertama kali menemukan puisi tersebut.
Sungguh pemandangan yang tidak disangka-sangka oleh Santi. Budi mendadak tersedak. Santi menghentikan kalimatnya. Sambil membersihkan beberapa tetes kopi yang tumpah ke meja Budi memotong kalimat Santi seolah sudah mengerti kelanjutannya,”Uh oh iya yang itu.”
“Aku menulisnya untukmu”
Penantian akan rasa penasarannya sirna sudah. Yang aneh, jawaban Budi ternyata membuatnya kehilangan rasa yang selama ini disimpannya diam-diam. Rasa yang ingin dicumbuinya setiap hari. Santi merasa mengalami antiklimaks atas segala euphoria bertemu dengan Budi dengan cara yang tidak diinginkannya. Santi menginginkan perasaan itu terus bersembunyi. Ia sangat menikmatinya. Keterusterangan Budi barusan telah memusnahkan kenangan indah yang hanya diinginkannya untuk terus menjadi kenangan. Bukan tumbuh menjadi berbentuk dan berupa seperti sekarang ini. Lidahnya kelu sekarang. Santi seolah dihadapkan pada sebuah rencana pengkhianatan. Pengkhianatan dirinya akan kesetiaannya pada Anto. Ia tak ingin menyalakan bara di dalam keluarganya. Dan kini ia telah melakukannya.
Santi mengerti, apapun yang diucapkannya saat ini tidak akan menolongnya sedikitpun. Dirinya perlu udara segar. Tapi tak mungkin dilakukannya. Pembicaraan belumlah usai. Ia tahu orang dihadapannya akan menceritakan sesuatu yang mungkin tidak ingin didengarnya. Baik hari ini, esok, maupun seterusnya. Santi mengharapkan kehebohan muncul di tempatnya makan siang kali ini dan meredam segala kemungkinan kalimat demi kalimat meluncur dari mulut Budi sehubungan dengan pernyataannya tadi.
“Aku ngga mengira kamu membaca puisi itu,” Budi melanjutkan.
Santi diam saja.
“Aku tak tahu apakah sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu”
Santi memelintir ujung rambutnya dengan jari telunjuknya. Ia resah dan berharap Budi membaca keresahannya. Meskipun kemungkinan yang tidak diinginkan Santi yang akan terjadi. Yaitu, Budi mengira dirinya menanti penjelasan demi penjelasan dengan antusias.
“Kamu ngga keberatan kan kalau aku bilang sekarang?”
Santi kehilangan akal. Saat-saat seperti ini adalah saat dimana otak seorang wanita bekerja tidak sesuai dengan gerak bibirnya.
“Ngga, ngga apa-apa,” sahut Santi.
Kini hanya ada penyesalan, gumam Santi dalam hati. Mestinya ia tidak menggunakan sisi kewanitaannya saat ini.
Akhirnya, saat itu tiba. Sebuah cerita mengalir dari mulut Budi. Menceritakan bahwa dirinya merasakan getaran yang berbeda saat harus berpisah dengan Santi selepas SD. Getaran yang hingga kini masih dirasakannya. Santi tidak mengerti mengapa dirinya harus merasa berdosa waktu itu.
Budi mendapati Santi memperhatikan kisahnya. Satu demi satu.
Perasaan senasib sudah tumbuh kala Budi, Santi dan Titin menjadi pusat perhatian di sekolah karena hukuman terberat yang harus mereka pikul di kelas 6 SD. Santi tidak pernah tahu beberapa rencana jahat mengatasnamakan dirinya, Titin dan Budi telah direncanakan oleh teman-teman nakalnya waktu itu. Seperti mengempeskan ban sepeda motor wali kelasnya, agar mereka dianggap menaruh dendam padanya karena hukuman yang telah ia berikan. Budi tidak memberikan kesempatan pada Santi untuk tahu. Ia juga tidak memberi kesempatan pada geng bengal di sekolahnya itu untuk melakukan eksekusi atas rencana tersebut. Ia memata-matai pekerjaan mereka dan melaporkannya pada sang wali kelas. Apapun resikonya. Semua ia lakukan untuk melindungi Santi. Selain itu, ada cukup banyak kejadian yang membuat Santi terkesima akan pengorbanan Budi baginya dan Titin.  
Kematian orang tua Budi menjadi titik balik rasa percaya dirinya selama ini. Banyak yang hilang dari dirinya. Saat itu terjadi, Santi selalu ada di dekatnya. Menemaninya dan membuatnya mengerti bahwa sekian banyak orang disekelilingnya mengharapkan dirinya tegar dan berhasil melanjutkan hidupnya. Meraih apa yang telah dijanjikan pada orang tuanya kala mereka bertanya tentang cita-citanya.
Budi memberikan jeda pada kisahnya. Tatapannya beralih dari mata Santi ke atas meja. Kemudian ia merapatkan jemarinya di depan dada seperti sedang berdoa. Kemudian lanjutnya…
“Sejak aku tinggal bersama nenekku di Bandung itulah semangatku untuk menulis puisi mulai tumbuh. Aku menulis apa saja yang aku mau menjadi puisi. Kamu boleh percaya boleh tidak, hampir setiap puisi yang aku tulis waktu itu mewakili perasaanku padamu. Disaat-saat kita bersama. Dalam berbagai kegiatan sekolah, bermain selepas pulang sekolah dan juga hukuman demi hukuman yang harus kita hadapi dulu”
“Kamu boleh tidak suka dengan semua yang aku katakan barusan. Itu hakmu. Aku memang lancang mengatakan hal ini padamu. Tapi penting bagiku untuk mengungkapkan rasa yang telah berpuluh tahun membatu ini”
Ya. Benar katamu. Kamu lancang, Budi. Kamu lancang karena telah menerobos dinding yang telah lama aku kunci rapat-rapat. Dinding yang selalu membatasiku dari kejujuran terhadap diriku sendiri. Dinding yang selalu membuatku selalu ingin menghindar dari kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan keinginan banyak orang. Santi yang dulu menghendaki kehidupan ‘normal’ kini harus berhadapan dengan kehidupan ‘nyata’. Beraninya kamu melakukan ini padaku!
“Kamu melamun?” tiba-tiba Budi berbicara sambil mencondongkan tubuhnya kea rah Santi.
Santi salah tingkah untuk kesekian kalinya,”Ngga, cuma heran aja sama kamu.”
“Aku aneh ya?” ketegangan masih mewarnai raut wajah Budi.
“Bukan kamu. Tapi aku yang aneh” sahut Santi.
“Why?”
 “Karena aku tidak pernah menyukaimu. Tidak dari dulu sampai sekarang. Tapi untuk mengakui bahwa aku bahagia saat kita bersama mungkin iya,” Santi merasa kata-kata yang meluncur dari bibirnya makin lama makin sulit dimengerti.
“Aku berandai-andai kamu menginginkan pertemuan kita hari ini,” Budi berkata lirih.
Santi tidak menjawab. Ia merasa tidak perlu menjawab. Suasana menjadi hening, sesaat sebelum kemudian Santi membuka pembicaraan,”Istrimu tau kita bertemu?”
“Titin tau,”jawab Budi singkat.
“Aku tidak menanyakan Titin, aku tanya istrimu”
“Titin istriku…”
Suasana kembali hening. Budi menundukkan kepala. Santi memandang takjub pada raut wajah Budi yang lunglai. Bibirnya bergerak ingin memulai berpuluh, beribu atau bahkan berjuta kata. Tapi tak satu patah pun terlontar darinya. Santi merasakan pertahanan dirinya runtuh satu per satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar