Sabtu, 07 Januari 2012

LIMA


Matahari pagi di pertengahan Januari 2008 perlahan memasuki celah tirai yang menutup jendela rumahnya. Ia sudah bangun sejak matahari baru bersiap menunaikan tugasnya. Kini ia duduk di depan cermin kamar tidurnya. Memandang wajahnya yang ada di cermin. Diusianya yang ke 30 ini ia teringat akan coretan yang dibuatnya kala ia masih remaja. Sebuah catatan kecil tentang harapan. Ia mencoba mengingatnya satu per
satu. Bagian paling atas rasanya tertulis ‘pekerjaan mapan’. Kemudian disusul ‘rumah bercat putih yang luas, cukup untuk dirinya dan ayah ibunya’. Yang ketiga ia tak yakin apakah ‘mobil sedan’ ataukah ‘melanjutkan sekolah ke jenjang master’. Sementara yang terakhir, ya, ia yakin benar telah meletakkannya di paling akhir, yaitu ‘menikah’.
Ia menyadari bahwa dalam segala usaha yang dilakukan manusia, Tuhan terkadang berkehendak lain. Seperti yang terjadi pada dirinya. Seperti juga yang terjadi pada orang-orang disekelilingnya. Kalau saja catatan kecil itu tidak hilang selagi dirinya mengemasi barang-barang yang akan dibawanya kuliah di Jogja waktu itu, tentunya check list hanya dapat dilakukan pada dua hal. Pekerjaan mapan dan menikah. Mobil yang biasa dikendarainya sewaktu masih bekerja di kantor dulu adalah fasilitas yang diperolehnya karena jabatan. Ia tidak merasa perlu memiliki mobil pribadi. Fasilitas dari tempat kerjanya sudah lebih dari cukup. Rumah? Kini ia berada didalamnya. Lagi-lagi bukan dari hasil kerja kerasnya. Oleh karenanya, warna catnya pun tidak sesuai keinginannya. Mobil sedan? Honda City keluaran terbaru. Cukup satu. Juga bukan dari hasil keringatnya sendiri. Rumah dan mobil adalah fasilitas yang diperolehnya dari sebuah kata terakhir yang ditulisnya di catatan kecilnya yaitu ‘menikah’.
Santi pindah dari depan cermin ke ranjang tempatnya tidur semalam. Anto belum juga bangun. Santi suka memandang Anto sewaktu tidur. Wajahnya damai. Santi berharap gairah yang mereka ciptakan berdua semalam dapat memberikan energy tersendiri untuk rencananya hari ini.
*
Anto menutup sarapannya dengan beberapa potong melon kesukaannya.
“Mau kemana kita hari ini?” tanyanya sambil mengunyah melon terakhir yang berada mangkuknya.
“Pertama ke bank yang ada di mal dulu buat bayar listrik. Sekarang kan weekend, bank yang buka hanya yang ada di mal. Mmm…maaf ya Say kemarin aku lupa…”
“Forget it! Aku rasa kita perlu pindahkan tagihan listrik ke kartu kredit yang aku bayar rutin tiap bulannya lewat internet banking. Jadi ngga kuatir terlambat. Untuk hari ini kita bayar seperti katamu tadi lewat bank yang buka di mal”
“Makasih ya, Say…” Santi mengecup pipi Anto. Kemudian dengan sigap membereskan perlengkapan makan Anto dan dirinya. Biasanya Ipah, pembantunya, yang melakukannya.
‘Kalau suami mau makan kita harus sigap menyediakan lauk pauk kesukaannya. Lalu mengambilkan piring lengkap dengan nasinya. Setelah selesai, kita juga yang membereskan segala perlengkapan makannya. Jangan dikasih ke pembantu. Pembantu itu tahu apa. Kitalah sebagai istri yang harus mengerti apa keinginan suami melalui kegiatan kita melayani keperluan hariannya. Begitu, Santi. Sampai sekarang, ayah Anto masih saja ibu yang siapkan makannya. Jangan sampai orang lain lebih mengerti kesukaan suami kita ketimbang kita sendiri. Ini dulu nasihat eyang kakung ayah ibu yang sampai sekarang masih ibu pegang dengan teguh. Ibu berharap istri Anto, anak laki-laki ibu satu-satunya ini juga begitu. Tidak susah kan, Santi?’
Santi tersenyum sendiri mengingat salah satu dari sekian banyak wejangan ibu Anto di bulan pertama pernikahannya.
“Kenapa senyum sendiri?”
“Nggak apa-apa. Jangan lupa nanti malam telpon ibu. Biasanya aku yang kena tegur kalau Mas lupa nggak telpon ibu”
Dalam percakapan sehari-hari, Santi biasa memanggil Anto dengan sebutan ‘say’ singkatan dari kata sayang. Tapi didepan anggota keluarga yang lain, panggilan ‘mas’ akan lebih diterima mengingat adat Jawa yang masih dipegang teguh oleh kedua orang tua Anto. Meski terkadang sebutan ‘kamu’ dan ‘saya’ terdengar cukup pantas di telinga Santi dan Anto. Biasanya, yang terakhir ini terucap kala keduanya sedang ingin melampiaskan emosinya.
Anto adalah anak lelaki kesayangan keluarganya. Ayah ibu Anto keduanya berdarah asli Jawa. Meski demikian, Anto lahir dan besar di Jakarta. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang memegang erat budaya Jawa yang dianggap benar. Sejak kecil Anto adalah anak yang introvert, sedikit bicara, dan lebih suka membaca buku di kamar. Hingga kini, jumlah buku yang memenuhi rumahnya belum ada separuh dari keseluruhan buku koleksinya. Anto sejak kecil bercita-cita menjadi penulis atau editor buku. Sejak SMP hingga lulus SMU, tidak sedikit tulisannya yang berhasil dimuat di majalah maupun koran lokal. Namun terbatasnya pengetahuan tentang profesi editor dan pandangan ‘rendahnya penghasilan’ seorang penulis, oleh orang tuanya Anto diminta untuk mengejar gelar sarjana di fakultas ekonomi. Gelar sarjana toh akhirnya teraih dengan nilai gemilang. Sederet perusahaan melamarnya untuk menjadi staf di bagian marketing maupun research and development setelah Anto lulus kuliah. Orang tuanya tersenyum bahagia. Anto berhasil membawa nama baik keluarganya dimana-mana. Memang sudah seharusnya anak menurut pada orang tua yang telah membesarkannya dan pada akhirnya menjadi orang yang bisa dibanggakan. Begitu menurut kedua orangtuanya.
Kakak perempuan Anto, bernama Putri, tinggal di Amerika selama hampir 5 tahun karena mengikuti  suaminya yang bertugas disana. Erna, adiknya, masih kuliah juga di fakultas ekonomi. Pak Wirya Atmadja, ayah Anto, seorang bekas pejabat bank swasta begitu percaya bahwa kemapanan hidup adalah bila seseorang dapat bekerja di sebuah perusahaan yang dapat menjamin kesejahteraan hidupnya. Menurut beliau, setiap perusahaan selalu membutuhkan sarjana ekonomi baik untuk posisi staf hingga CEO. Oleh karenanya, perusahaan besar, kehidupan mapan dan sarjana ekonomi adalah harga mati untuk keselamatan hidup anak-anaknya kelak.
Setelah membereskan buku-buku yang berserakan di jok mobil, Anto masuk ke rumah kembali untuk meletakkan beberapa buku yang baru dibelinya di rak buku yang terletak di ruang keluarga dengan rapi.
“Wow, banyak juga, Say, belanjaan bukunya minggu ini,” Santi kagum memandangi sejumlah buku yang dibawa Anto masuk.
“Kemarin ada diskon buku di bazar buku dekat kantor,”ujar Anto tenang.
Santi memandang sekilas judul buku yang sedang ditata suaminya di rak buku. Beberapa buku tentang manajemen perusahaan, satu buku tentang strategi marketing dan lebih dari 5 buah novel. Seingat Santi, dirinya belum lama melihat judul-judul novel yang dibeli Anto kali ini bertengger di jajaran novel terbaru di rubrik buku sebuah Koran ibu kota. Dan Anto barusan mengatakan bahwa ia membelinya di diskon bazar buku? Benarkah? Setahu Santi, buku baru tidak akan dibiarkan terjual dengan harga diskon. Di sebuah bazar buku lagi. Mungkinkah Anto khawatir dirinya akan menceritakan kegemaran Anto membeli novel ini ke orang tuanya? Bagi Santi tidak ada keberatan sedikitpun apabila Anto hingga saat ini ternyata masih gemar menulis fiksi dan menggunakan novel bacaannya sebagai bagian dari referensi. Dan Santi yakin Anto mengerti itu. Tapi sekali lagi, tidak pernah ada yang tahu sejauh apa masa lalu seseorang membentuk kepribadiannya kini. Tidak Santi, tidak juga Anto.
Perjalanan ke mal Sabtu ini akan menjadi sebuah perjalanan yang romantis pikir Santi. Gerimis yang turun sejak satu jam yang lalu seolah membaca kehendak hati Santi hari ini. Berdua, ya, hanya ia dengan Anto di perjalanan pergi dan pulang nanti. Ia akan memanfaatkan saat seperti ini untuk mencurahkan perasaannya selama menjadi ibu rumah tangga sebulan terakhir ini. Komunikasi dalam kehidupan berumah tangga itu penting, menurut banyak orang. Santi akan melakukannya secara intensif. Berharap segala duri yang menghalangi kedekatan perasaannya dengan Anto selama ini dapat terlalui dengan baik. ‘Ok, Santi, here we go!’ kata hatinya bersemangat.
Gerimis di Jakarta mempunyai efek yang berbeda tergantung pada hari dan jam gerimis itu turun. Lalu lintas di hari Sabtu yang anehnya menjadi hari termacet dibandingkan hari yang lain, ternyata dengan datangnya gerimis kepadatannya berkurang. Mungkin gerimis di pagi hari seperti ini membuat sebagian orang malas melakukan aktivitas di luar rumah.
Mobil yang dikendarai Santi dan Anto melaju di tengah gerimis Jakarta. Santi yang biasanya segera membunyikan tape mobil kali ini tidak. Tak banyak waktu dapat dimanfaatkan untuk bicara dari hati ke hati seperti ini. Anto kerap dihubungi kantornya di hari libur melalui blackberry. Maklum, berkecimpung di dunia pengiriman barang ke luar negeri mau tidak mau harus sedia setiap saat untuk berurusan dengan bea dan cukai yang bekerja 24 jam selama 7 hari penuh.
“Gimana kerjaan di kantor, Say? Target nggak berat kan?” Santi membuka pembicaraan.  
“Yaa…seperti biasa. Seberat apapun mesti dihadapi…,”jawab Anto datar.
“Perusahaan masih kurangi jumlah karyawan untuk cut cost?”
 “Masih. Secara berkala… banyak yang harus dipertimbangkan. Sejauh ini karyawan perempuan lebih banyak ditawari program pengunduran diri dengan pesangon. Mungkin karena sebagian besar dari mereka bukan tulang punggung keluarga. Tidak sedikit yang mampu menggunakan uang pesangonnya untuk merintis usaha home industry”
Krisis ekonomi yang menghantam Amerika Serikat di tahun 2007 telah membuat goncang sebagian industri manufaktur di Indonesia. Dengan berkurangnya daya beli untuk pangsa pasar Amerika, produksi barang berkurang dengan sendirinya. Oleh karenanya, tidak sedikit perusahaan manufaktur maupun jasa angkutan menyesuaikan jumlah karyawannya dengan beban pekerjaan yang ada.
Anto termasuk yang beruntung karena krisis tersebut tidak berdampak pada eksistensinya di tempat bekerja.
“Say, aku juga lagi kepikiran untuk berkarya dari rumah,” sahut Santi cepat membaca situasi.
“Maksudnya? Kerja sambilan? Emang mau kerja apa?”
“Terus terang saat ini belum tahu. Tapi kamu ngga apa-apa kan, Say, seandainya aku meninggalkan rumah lagi? Setidaknya aku berharap tidak akan sesering dulu”
“Kamu sesuaikan aja dengan kondisi rumah kita”
*
“Lalu apa dia bilang?”
“Ya, intinya dia tidak keberatan”
“Ok. Kalau begitu tunggu apa lagi? Mulai senin depan bakal ada handycraft expo di Senayan. Aku mau temani kamu kesana”
Irma terlihat antusias dengan jawaban Santi mengenai Anto yang tidak keberatan dengan rencananya untuk mempunyai pekerjaan sambilan di rumah.
“Baiklah. Aku hubungi dirimu lagi Senin pagi. Thank’s anyway!”
Santi menutup telpon dengan hati berbunga-bunga. Senyum dan tawanya selama sebulan semenjak ia berhenti bekerja adalah hasil kreasinya sendiri karena tidak ingin terlihat tertekan dengan keputusan yang dibuatnya sendiri. Irma, temannya, menyebutnya sebagai kepalsuan. Peduli apa Santi dengan sebutan itu. Irma tidak tahu tentang obsesinya, cita-citanya, yang didorong oleh seluk beluk masa lalunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar